Cerita sebelumnya: Kedelapan
kerajaan yang hadir di pesta telah menunjukkan kesohorannya masing-masing serta
meminang kedelapan putra mahkota Raja Burhan. Hanya Yazid seorang yang belum
mendapatkan pasangan. Sebenarnya ia tak berharap lebih dengan pesta perjodohan
itu, sebab hatinya telah tertawan oleh gadis desa sejak lama. Karena itu ia bergegas pergi untuk menemuinya
sebelum kerajaan yang tertinggal itu datang lalu meminangnya.
Oleh: Ahmad Nasrul Maulana
Agar dapat tiba di kediaman
gadis itu, aku membtuhkan waktu untuk menempuh jarak sekitar dua setengah
kilometer dari gerbang istana. Rumahnya berada di ujung barat tepat di samping
tugu monumen pembatas wilayah kerajaan ini dengan kerajaan Nun. Aku tidak yakin
jika aku akan kembali ke istana tepat waktu nantinya serta melaksanakan apa
yang telah dipinta oleh Raja yaitu menjemput rombongan kerajaan yang masih
berada di perjalanan. Tak dapat dipungkiri bahwa aku kerap tak tahu waktu jika
sedang berdua dengan gadis itu, mendadak aku lupa daratan oleh senyumnya,
sipunya juga lugunya yang melenakan hasratku. Matanya yang menyipit tatkala
kedua pipinya terangkat lantas membentuk lesung manis diatasnya, menjadi
keindahan haqiqi untuk terus ku pandangi. Dunia serasa berada di pelukan kita
berdua, indah dan penuh romansa. Entah kenapa aku merasa begitu nyaman setiap
kali berada di sisinya. Namun semua kenikmatan itu akan sirna, tak dapat ku
bayangkan bagaimana jadinya asmara yang telah lama kita rajut akan raib sebab
pesta perjodohan di istana. Aku tak tega, tapi juga tak bisa berbuat apa-apa.
Rumah kecil di sudut desa
itu nampak sepi seperti tak berpenghuni. Ku langkahkan diriku menapaki jalan
berkoral mengarah ke halamannya. Aku masih ingat betul ayunan yang terbuat dari
batang pinus yang dibelah mendatar itu, kedua ujungnya diikat memanjang dengan
tali pintalan sebagai penguat saat diduduki. Di tempat itulah awal pertama
pandanganku beradu dengan gadis sederhana yang berhasil menawan hatiku. Kala
itu aku turut serta membagikan sandang pangan dan tetekbengek lainnya bersama paman
Hadiyan atas nama perdana menteri istana di bidang kesejahteraan rakyat.
Dengan penuh semangat ku ketuk
pintu-pintu rumah lantas memberikan bagian yang menjadi hak mereka setiap
minggunya. Hingga tiba pada salah satu rumah di sudut desa yang dihuni oleh dua
pasangan tua bersama dua buah hatinya. Saat itu ku lihat si gadis sedang duduk
santai di ayunan depan rumahnya sedang adiknya mendorongi ayunanya lalu berlari
menuju kedua orang tuanya tatkala menyadari kedatanganku. Mulanya gadis itu
amatlah dingin terhadapku, ia berfikiran bahwa keluarga istana semuanya jahat,
namun hal itu ku lerai dengan selalu menemuinya di setiap pagi pada hari Minggu
untuk bersenang-senang berdua bersamanya. Meski hanya sekedar bermain di bibir
sungai Gangga, berjalan-jalan di hutan serta duduk sembari menikmati keindahan
kota dari atas bukit Istima' , hal sekecil itulah yang selalu membawaku terbuai
dalam rasa suka dan cinta kepadanya.
"Pangeran Yazid, kau kah itu ??" suara
lirih rentah mengejutkanku lantaran tengah melihatku terpaku seorang diri
menatap ayunan yang dimainkan oleh angin musim panas.
"Oh ibu Robi'ah, iya bu saya Yazid. Kalau boleh tahu dimana
Putri Sabila berada bu ??".
Tanyaku.
"Maafkan aku pangeran, aku tak tahu dimana putriku sekarang,
tapi yang pasti usai membelikan obat adiknya di Tabib dia izin untuk pergi ke
bibir sungai Gangga"
"Haqi sakit bu ??"
"Iya pangeran, tapi syukurlah kini keadaanya sudah
membaik."
Setelah
bercakap singkat dengan ibu kandungnya, bergegas aku berlari menuju ke bibir
sungai Gangga. Hal ini sudah ku duga, kalau pun aku tadi tidak bertemu dengan
ibu Robi'ah, aku pasti akan pergi ke sungai Gangga, karena biasanya di tengah
hari macam ini, kita berdua sedang menghabiskan waktu untuk menikmati udara
segar yang berhembus juga sesekali berbincang mesra menghadap sungai Gangga
disana, alirannya yang deras dan jernih menjadi saksi atas dua insan yang
sedang memadu kasih.
Dari kejauhan nampak seorang gadis berjubah
kuning telur dengan khimar yang tersanggul di kepalanya, ia terduduk tenang di
atas batu besar yang mengarah ke sungai Gangga. Lengannya memeluk erat kedua
lututnya, wajahnya tenggelam penuh diantara khimar cerahnya. Naluriku berkata
bahwa itu adalah putri Sabila dan ternyata benar, sepertinya ia tak menyadari
keberadaanku karena aku datang dari arah belakangnya.
"Selamat siang Tuan Putri !!" Sapaku lembut. Sejurus kemudian ia memalingkan tubuhnya ke arahku,
dengan cepat ia menyeka air matanya berharap aku tak mengetahuinya.
"Pangeran
Yazid ?? Bagaimana kau ada disini ? Bukankah kau tengah berpesta di istanamu ??
Kembalilah !!". Ku lihat ia begitu cemas atas keberadaanku, berulang
kali ia bersikeras menyeruku untuk kembali ke istana. Ternyata pesta ini telah
diketahui oleh khalayak luas penduduk desa ini. Mataku memerah pun dengan
matanya yang telah dahulu pecah berlinang air mata. Dengan hati yang paling
dalam, kuutarakan segenap rasa yang telah lama meranum di kalbu namun kini
harus berakhir di ujung kuku. Dengan menggengam ke dua tangannya aku berujar,
"Maafkan
aku Tuan Putri, aku tidak bisa menepati janjiku. Kau boleh membenciku sebesar
jagat raya, karena aku pantas untuk mendapatkannya." Dari dulu memang
Putri Sabilla tidak pernah yakin akan hubungan ini, sebab dia tahu bahwa Raja
tak akan pernah sudi untuk merestui dan menyetujui percintaan kami. Tapi aku
begitu keras kepala, seakan mata hatiku bergumam bahwa Putri Sabila adalah
gadis yang layak untuk menemani hari-hariku. Aku merasa telah melihat masa
depanku di matanya, aku sungguh mencintainya.
"Kau tak perlu mengutuki dirimu sendiri pangeran, kau tak
salah. Meski rasa cinta di hatiku telah membatu dan butuh cukup lama waktu
untuk meruntuhkannya, aku tak apa. Selama ini suara hati kecilkulah yang menahanku
untuk tidak terjerumus dalam mencintaimu terlalu berlebihan, karena aku sadar,
kita tidak akan mungkin bersatu." Aku tak tahan melihat wajah pasinya yang kuyup oleh air mata,
namun ia menolak saat hendak ku seka tetesannya.
"Sudahlah pangeran, sekarang kembalilah !! Lupakan aku,
lupakan pula segala kenangan yang telah lama kita rangkai, karena masa depan
Ad-du'ali berada di genggamanmu. Jangan kau buat ayahmu kecewa, juga putri
cantik yang sudah jauh-jauh datang untuk menemuimu". Dengan cepat ia membalikkan badan membuang tatapan lalu hendak
berlari pergi meninggalkanku. Sontak aku menarik tangannya hingga ia kehilangan
keseimbangan lalu jatuh ke dalam pelukanku. Wajahku beradu, mata indahnya yang
menyimpan banyak harapan manis dariku seakan tak pernah bosan untuk terus ku
pandangi, bibirnya yang merona teramat lugu untuk menerima tamparan-tamparan
syahdu dari kata-kataku yang hanya berujung pilu. Aku telah melukainya.
"Sekali lagi maafkan aku Tuan Putri !! Aku telah menghancurkan
semua mimpi-mimpimu". Ku dekap dia
dengan kuat, aku benar-benar takut kehilangan dia.
"Satu hal penting yang harus Pangeran ketahui. Pangeran harus
yakin jika memang kita berdua benar-benar berjodoh, Tuhan akan mempersatukan
kita kembali, percayalah !!"
Balasnya.
Baru
saja aku hendak melandaskan ciuman pertamaku, mendadak tangan gempal besar
menarikku juga Putri Sabila. Sialan, ternyata itu pengawal istana utusan Raja
untuk mencariku yang telah melanggar batas waktu yang diberikannya. Aku hanya
bisa berjalan tertunduk pasrah lantaran tanganku terkunci rapat oleh pengawal
istana. Selamat tinggal putri Sabilla, salam hormat untuk ibu
Robi'ah dan ayah Asror serta si mungil yang sedang terbaring sakit, Baihaqi.
Maafkan aku yang telah melukis lara.
Coming soon: Berpisahnya sembilan saudara
Pondok Pesantren Darun Nun Malang
0 komentar:
Posting Komentar