Oleh: Nurmiati Habib
Problematika Islam Nusantara saat ini menjadi wacana baru di
kalangan masyarakat Indonesia.Isu ini berkembang begitu pesat, dengan begitu
banyaknya orang yang berkomentar mengenai hal itu. Namun permasalahannya hingga
kini belum ada konsep secara jelas mengenai hal itu. Misalnya saja, Said Aqil
Siradj, sebagai salah satu tokoh yang mendukung penggunaan istilah ini,
mendefinisikannya sebagai Islam yang merangkul budaya, melestarikan budaya, menghormati
budaya; “Berbeda dengan model Islam Arab yang selalu konflik dengan sesama Islam
dan perang saudara”, Ujarnya (bbc.com). Begitu pula dengan Presiden Indonesia,
Joko Widodo, juga mengusung istilah ini dengan mengatakan; “Islam kita
(Indonesia) adalah Islam Nusantara, Islam yang penuh sopan santun, Islam yang
penuh tata krama”.
Dari segi terminologi, istilah “Islam Nusantara” sebenarnya kurang
tepat. Karena bisa membawa pada pengertian bahwa Islam Nusantara merupakan
bagian dari jenis-jenis Islam yang banyak. Kita harus menyatakan bahwa Islam
itu satu dan tidak plural (banyak). Adapun yang tampak banyak, sebenarnya
adalah ‘madzhab’, aliran pemikiran, pemeluk dan lain-lain, bukan Islam itu
sendiri.Menyematkan sifat pada kata Islam perlu hati-hati. Pengggunaan kata
sifat yang ditempelkan kepada Islam, misalnya “Islam Jawa”, Islam Bali”, “Islam
Arab”, “Islam China”, “Islam Toleran”, “Islam Pluralis” “Islam Sekular” dan
lain-lain akan membuat kesan bahwa Islam itu plural, dan menyempitkan makna
Islam.
Definisi yang timpang tersebut pada akhirnya berhadapan dengan dua
masalah. Pertama, dari segi definisi, banyak tokoh Muslim yang menolak
pengistilahan tersebut. Sebut saja Ismail Yusanto menolak pengistilahan
tersebut dengan alasan bahwa tidak fair membandingkan Timur Tengah sekarang
dengan Indonesia pada tahun 2015. Sebab
dalam inti ajarannya, dari dulu hingga sekarang antara Islam di Indonesia dan
di Timur Tengah banyak memiliki kesamaan, contohnya kerangka “melawan penguasa
diktator”. Masalah kedua adalah istilah Islam Nusantara ini ternyata dibangun
atas pemahaman yang kurang tepat atas dakwah ulama Indonesia masa lalu. Bagi
para pengusung Islam Nusantara, metode dakwah para ulama dahulu seperti
Walisongo adalah bukti nyata bagaimana Islam Nusantara diterapkan. Lestarinya
slametan, tahlilan, gamelan, wayang, ziarah ala jawa merupakan produk nilai
Islam yang dinusantarakan dan menjadi bentuk keberislaman masyarakat Indonesia
hingga sekarang. (nu.or.id)
Wakil Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)
KH A Mustofa Bisri kembali menegaskan perbedaan antara muslimin Indonesia dan
Arab Saudi. Meski keduanya menganut agama yang sama tapi masing-masing memiliki
kekhasan budaya.
“Islam kita itu ya Islam Indonesia bukan Islam Saudi Arabia, bukan berarti kalau tidak pakai jubah dan sorban Islam kita tidak diterima,” katanya saat membuka Pameran Seni Rupa Nasirun di Bentara Budaya Yogyakarta, Selasa (2/10). Kiai yang akrab disapa Gus Mus ini berpesan kepada umat Islam di Indonesia untuk meneladani Nabi Muhammad SAW secara tepat. Menurut dia, Nabi termasuk pribadi yang menghargai tradisi setempat dan berperangai menyenangkan.“Rasulallah SAW memakai jubah, sorban dan berjenggot ya karena tradisi orang Arab seperti itu. Abu Jahal juga berpakaian yang sama, berjenggot pula. Bedanya kalau Rasul wajahnya mesem (sarat senyum) karena menghargai tradisi setempat. Nah, kalau Abu Jahal wajahnya kereng (pemarah). Silakan mau pilih yang mana?” katanya disambut gelak tawa hadirin. Gus Mus membuka pameran yang hadir dalam bentuk tabligh seni Rubuh Rubuh Gedhang itu dengan menabuh beduk. Ia menilai, acara sejenis seharusnya diadakan bukan hanya di Yogyakarta namun juga di seluruh penjuru Nusantara. Hal ini sebagai wujud kecintaan masyarakat pribumi terhadap tradisi dan budaya di Tanah Air.
“Islam kita itu ya Islam Indonesia bukan Islam Saudi Arabia, bukan berarti kalau tidak pakai jubah dan sorban Islam kita tidak diterima,” katanya saat membuka Pameran Seni Rupa Nasirun di Bentara Budaya Yogyakarta, Selasa (2/10). Kiai yang akrab disapa Gus Mus ini berpesan kepada umat Islam di Indonesia untuk meneladani Nabi Muhammad SAW secara tepat. Menurut dia, Nabi termasuk pribadi yang menghargai tradisi setempat dan berperangai menyenangkan.“Rasulallah SAW memakai jubah, sorban dan berjenggot ya karena tradisi orang Arab seperti itu. Abu Jahal juga berpakaian yang sama, berjenggot pula. Bedanya kalau Rasul wajahnya mesem (sarat senyum) karena menghargai tradisi setempat. Nah, kalau Abu Jahal wajahnya kereng (pemarah). Silakan mau pilih yang mana?” katanya disambut gelak tawa hadirin. Gus Mus membuka pameran yang hadir dalam bentuk tabligh seni Rubuh Rubuh Gedhang itu dengan menabuh beduk. Ia menilai, acara sejenis seharusnya diadakan bukan hanya di Yogyakarta namun juga di seluruh penjuru Nusantara. Hal ini sebagai wujud kecintaan masyarakat pribumi terhadap tradisi dan budaya di Tanah Air.
Mahasiswa muslim merupakan sumber daya manusia yang dipersiapkan
untuk mengabdi kepada masyarakat di kemudian hari. Tujuan para mahasiswa
menempuh pendidikan di perguruan tinggi adalah untuk mengembangkan dan
menerapkan ilmu yang telah diperoleh dalam masa belajarnya. Dalam menuntut dan
mengembangkan ilmunya tentu saja para mahasiswa juga harus patuh dengan
peraturan-peraturan yang di terpakan dalam perkuliahan, dan mahasiswa
harus mampu menyesuaikan diri berprilaku sesuai dengan peraturan yang ada.
Peraturan tersebut bukan hanya yang bersifat tertulis yang biasa ditulis dalam
sebuah tata tertib perguruan tinggi, tetapi juga meliputi adat kebiasaan
(moral), serta tidak lepas dari segi etika dan agama (akhlak).
Seorang mahasiswa harus bisa menjadi motor penggerak bagi rakyat Indonesia agar
lebih memiliki rasa cinta tanah air dan meresapi mengenai proses islam
nusantara di Indonesia. Ketika di dalam hati rakyat Indonesia sudah tertanam
kuat rasa nasionalisme dan patriotism serta cinta akan islam maka bangsa
Indoesia tidak akan mudah untuk di jajah secara tidak langsung. Bahkan ada
sebuah pepatah yang berbunyi “Hubbul Wathon Minal Iman”. (Cinta Tanah air
sebagian dari Iman). Ini adalah sebuah konsep yang di ciptakan atau digagas
oleh Ulama Nusantara sebelum merdeka. Konsep inilah yang menjadi induk dari
rasa nasionalisme cinta agama yang harus di terapkan dalam pendidikan islam di
Indoensia. Dengan demikian, cita cita bangsa indonesia untuk memaknai istilah
Islam Nusantara akan lebih kontekstual dan membumi.
Pondok Pesantren Darun Nun Malang
0 komentar:
Posting Komentar