Beberapa bulan terakhir dunia diguncangkan oleh wabah virus yang
biasa dikenal Covid-19 atau
korona (corona). Hura huru penyebaran virus telah masuk ke negara kita
tercinta. Indonesia menjadi negara kesekian setelah beberapa negara yang lain
terjangkit terlebih dahulu.
Banyak bermunculan berbagai pendapat maupun konspirasi mengenai
virus tersebut. Begitu juga para penulis ikut berlomba-lomba menuangkan segala
ide pikiran mereka, para ulama yang ikut serta menyebarkan ijazah atau
amalan-amalan yang dipunya, berbagai media online menyebarkan konten kreatifnya
untuk menjaga kesehatan dan keamanan antara satu sama lain, dan lain
sebagainya.
Tak terlepas dari itu semua, berbagai pendapat bermunculan dari
aspek politik, budaya, kesehatan, hingga mengenai syariat agama, terutama
syariat islam.
Virus ini mengingatkan kita kepada sejarah khulafaur rosyidin, Umar
nin Khattab. Ketika beliau hendak melakukan perjalanan ke Damaskus terdapat wabah penyakit taun dari Palestina
hingga menjalar ke seluruh negeri. Beliau kebingungan untuk memili melanjutkan
perjalanan atau kembali ke Madinah.
Kemudian salah satu sahabat menegaskan, bahwa ia pernah mendengar
Rasulullah bersabda “jika kalian mendengar tentang negeri yang dijangkiti suatu
wabah maka janganlah kalian mengunjunginya, dan jika kalian terjebak di
dalamnya janganlah kalian keluar darinya”.
Setelah mendengarnya, Umar bin Khattab pun langsung memilih untuk
kembali ke Madinah. Padahal Umar bin Khattab terkenal dengan keberaniannya,
derap langkah kakinya saja membuat jin kabur bertebaran, tapi beliau memilih
kembali.
Dengan keadaan seperti ini, para ulama dan cendiakawan muslim
mengeluarkan fatwa untuk pencegahan virus. Karena Allah SWT juga memberi
rukhsoh atau keringanan dalam setiap ibadah pada kondisi-kondisi tertentu.
Fatwa tersebut di antaranya anjuran untuk mendirikan shalat di
rumah masing-masing, dengan tujuan kemaslahatan agar tidak berkumpul dengan
banyak orang.
Para ulama juga memberi himbauan terhadap para muadzin untuk
mengganti lafal “hayya ala sholah” menjadi “shollu fii rihalikum atau
buyutikum” (sholatlah kalian semua di rumah kalian”. Mungkin sebagian orang
awam seperti penulis juga bertanya-tanya apakah itu diperbolehkan atau tidak.
Pandi Ahmd menyatakan, ternyata jawaban tersebut tertulis
dalam Kitab Sunan Abi Daud juz 2 halaman
291, hadits no. 1061 dan Kitab Shahib Bukhori pada juz 2, halaman 2, hadits no.
901. Bisa dicek jika penulis terdapat kesalahan dalam pencarian referensi
bacaan.
Kedua hadits tersebut memaparkan bagaimana syariat islam mampu
memberikan solusi atas keadaan darurat dan bisa dicari kemaslahatannya serta
menghindari suatu hal yang berbahaya.Hal di sini juga terjadi pada
diperbolehkannya untuk meninggalkan sholat jumat dan jamaah yang sempat ramai
di bahas.
Menurut Maulana Faik, terdapat hadits yang diriwayatkan oleh
sahabat Jabir dalam Sunan Abu Daud. Dalam hadits terseut diceritakan bahwa
Rasulullah SAW marah kepada beberapa sahabat yang berfatwa tanpa ilmu.
Mereka mewajibkan seseorang yang setelah bermimpi junub untuk mandi
besar, padahal kepalanya sedang terluka serius, lalu ia meninggal sebab
mandinya. Lalu Rasulullah menegur “ mereka telah membunuhnya semoga Allah tidak
membunuh mereka. Bukankah obat dari kebodohan adalah bertanya?”
Habib Ali Alkaff juga berkata, bahwa
bagi mereka yang faham, mereka akan tahu, sunnah tidak selamanya sunnah, wajib
tidak selamanya wajib. Bahkan mereka tahu terkadang yang haram malah berubah
menjadi wajib dan yang wajib bisa berubah menjadi haram, hanya kita yan masih
awam saja, terasa aneh jika ada perubahan.
Semoga wabah ini akan segera
berakhir, dan mari kita bersama-sama menjemput bulan nan mulia, Bulan Ramadhan.
Berikhtiar secara raga saja tidak akan cukup, tapi juga diiringi dengan ikhtiar
batin. Semoga Allah senantiasa melindungi kita semua. Aamiin
Pondok Pesantren Darun Nun Malang
0 komentar:
Posting Komentar