SEJATINE
BAHASA JAWA
Oleh: Roychan
Bahasa jawa, bagi masyarakat yang
tinggal di pulau jawa, khususnya pada provinsi jawa tengah dan jawa timur
merupakan bahasa ibu yang masih digunakan seantero pulau jawa. Bahasa jawa
tercipta karena adanya akulturasi budaya antara hindu-budha dan pada masyarakat
pribumi saat itu. Kemudian diwariskan kepada generasi penerusnya. Akan tetapi
pada saat ini bahasa jawa dianggap sebagai sebagai bahasa yang berkonotasi
buruk (kampungan, jadul, kuno, dll) sehingga banyak orangtua yang notabenya
bahasa jawa menjadikan bahasa indonesia bahkan bahasa asing menjadi bahasa ibu.
Padahal, bahasa jawa adalah bahasa
sarat akan kelebihan. Diantara kelebihanya itu adalah bahasa jawa kaya akan
perbendaharaan akan kosa katanya. Seperti, kata makan dalam bahasa jawa dapat
diungkapkan dengan kata “nedha, dhahar, madang, maem, mangan”. Dan
bahasa jawa juga mempunyai banyak tingkatan seperti, krama inggil, krama alus,
ngoko alus, dan ngoko lugu. Serta banyak masyarakat asing yang ingin mempelajari
bahasa jawa sehingga terdapat fakultas bahasa jawa di jepang.
Ternyata, bahasa jawa mempunyai
filosofi tentang penyimpangan pola penamaan bilangan. Falsafah tersebut amat mendalam jika
dikaitkan dengan penyebutan usia seseorang. Penyimpangan bilangan-bilangan
tersebut terjadi mulai beberapa angka belasan hingga 60 saja.
Dalam bahasa jawa angka 11 tidak
disebut sebagai “sepuluh siji”, 12 bukan “sepuluh loro”, dan
seterusnya hingga angka 19 yang tidak disebut sebagai “sepuluh sanga”.
Namun, angka 11 disebut sebagai “sewelas”,12 disebut “rolas” dan
seterusnya hingga 19 disebut sebagai “sangalas”. Mengapa sepuluhan
diganti welasan ? Filosofinya bahwa pada usia 11 hingga 19 tahun adalah
saat-saat berseminya rasa welas asih (belas kasih) pada jiwa seseorang,
terutama terhadap lawan jenis.
Demikian pula angka 21 tidak disebut
sebagai “rong puluh siji”, 22 tidak disebut sebagai “rong puluh loro”
dan seterusnya. Melainkan 21 disebut “selikur”, 22 disebut”rolikur”
dan seterusnya, hingga 29 yang disebut “sanga likur” kecuali angka 25
yang disebut sebagai “selawe”. Disini terdapat satuan likur yang
merupakan kependekan dari lingguh kursi, artinya duduk di kursi. Mengapa
demikian ?..
Bahwa pada usia 21 hingga 29 itulah
umumya manusia mendapatkan “tempat duduknya”, baik itu berupa
pekerjaanya ataupun profesi yang akan ditekuni dalam kehidupan. Bahkan yang
lebih menarik tidak disebut dengan “limang likur”, melainkan “selawe”.
Apa maksudnya ? selawe konon merupakan singkatan dari seneng-seneng lanang
wedok. Itulah puncak asmaranya seorang laki-laki dan perempuan yang ditandai
oleh pernikahan. Memang tidak semua orang menikah pada usia tersebut. Tetapi
jika dari rata-rata memang diantara usia 21 sampai 29.
Dari angka 30 hingga 49, penamaan
angka dibaca normal sesuai pola urutan. Tapi ada penyimpangan lagi pada
bilangan 50. Mestinya angka ini disebut sebagai “limang puluh”, namun
sebutan populernya itu “seket”. Apa maknanya ?. Konon “seket”
merupakan kependekan dari “seneng kethonan” artinya suka memakai kethu
atau kopyah dan sebagainya. Hal ini menandakan umur seseorang semakin lanjut
dan tutup kepala merupakan lambang dari semua itu.
Lain 50 lain pula 60. Angka ini
lebih sering disebut sewidak atau suwidak. Usut punya usut, konon
suwidak merupakan kependekan dari “sejatine wis wayahe tindhak”, makna
sesungguhnya pada usia tersebut sudah saatnya seseorang bersiap-siap untuk
pergi meninggalkan dunia fana ini. Maka kalau usia kita sudah mencapai 60,
lebih berhati-hatilah dan tentu saja semakin banyaklah bersyukur karena usia
selebihnya adalah bonus dari Yang Maha Kuasa.
Setelah
kita mengetahui kelebihan-kelebihan bahasa jawa diatas, masihkah kalian gengsi
untuk melestarikan bahasa jawa ?.....
Pondok Pesantren Darun Nun Malang
0 komentar:
Posting Komentar