Oleh: Nur Sholikhah
"Jangan pernah berpikir akhir dari
cerita seorang perempuan adalah menikah dengan seorang lelaki, mempunyai anak
lalu sibuk dengan urusan rumah tangga saja."
Perempuan,
entah makhluk yang bernama perempuan itu selalu asyik untuk dibahas dan
didiskusikan. Perempuan memang unik, Tuhan menciptakan perempuan dengan
sifatnya masing-masing. Dengan penuh kelembutan, dengan rasa sabar untuk
mendidik anak-anaknya, dengan rasa tulus mencintai keluarganya, dan dengan rasa
ikhlas menahan luka dalam hatinya.
Perempuan,
hidupnya banyak dihadapkan dengan pilihan, dengan banyak dilema dan
keputusan-keputusan yang memberatkan. Tidak berhenti di situ saja, perempuan
juga dihadapkan dengan berbagai batasan-batasan yang membuatnya menunda untuk
meraih impian. Bahkan ada yang sampai membiaskan mimpinya demi sebuah keputusan,
demi menghindari stigma negatif yang terlanjur diberikan.
Perempuan tidak boleh mengakhiri mimpinya, membunuh
cita-citanya hanya karena sudah terikat dengan komitmen yang disebut
pernikahan. Justru karena pernikahan itu seharusnya bisa lebih memperkuat
dorongan untuk terus berkembang. Perempuan boleh tetap menjadi guru meski
statusnya sudah menjadi ibu. Perempuan boleh tetap menjadi pegawai meski sudah
mempunyai gelar ibu yang pawai. Perempuan boleh tetap menjadi bidan meski sudah
menjadi ibu yang cekatan. Perempuan boleh tetap menjadi pengusaha meski sudah
menjadi penjaga bagi anak-anaknya. Intinya perempuan boleh tetap menjadi
pekerja kantoran, penggiat bisnis dan aneka macam profesi lainnya meski sudah
berumah tangga.
Apa salahnya jika perempuan juga merangkap menjadi
pekerja juga ibu rumah tangga? Perempuan juga punya hak untuk mengatur hidupnya
sendiri. Tapi sayangnya, masyarakat sudah terlanjur terpesona dengan stigma
negatif pada perempuan yang juga mengembangkan karirnya.
Apa salahnya jika perempuan memilih dan menetapkan
keputusannya menjadi ibu rumah tangga sekaligus aktivis di masyarakat?
Perempuan juga punya kemampuan, kecerdasan. Semua peran sah-sah saja dimainkan
asal bisa seimbang dan tidak berantakan.
Apa salahnya jika perempuan merangkap menjadi ibu
sekaligus mahasiswa di sebuah kampus tengah kota? Perempuan juga punya hak
mengasah otaknya dan berpikir tentang perkembangan ilmu pengetahuan. Tapi
sayangnya, masih banyak yang mempertanyakan bagaimana nasib anak-anaknya.
Perempuan, kehadiranmu
selalu mengundang banyak tanya.
Mau kuliah apa nikah?
Lanjut kerja apa langsung nikah?
Udah umur segini kok masih tetap lanjut kuliah, apa nggak nikah dulu?
Kalau dia kerja gimana nasib anak-anaknya?
Nggak rugi apa kuliah jauh-jauh cuman jadi ibu rumah tangga?
Dia pulangnya kok malam-malam, apa ya kerjanya?
Apa nggak takut jauh dari keluarga, kamu kan perempuan?
Mau kuliah apa nikah?
Lanjut kerja apa langsung nikah?
Udah umur segini kok masih tetap lanjut kuliah, apa nggak nikah dulu?
Kalau dia kerja gimana nasib anak-anaknya?
Nggak rugi apa kuliah jauh-jauh cuman jadi ibu rumah tangga?
Dia pulangnya kok malam-malam, apa ya kerjanya?
Apa nggak takut jauh dari keluarga, kamu kan perempuan?
Dan begitulah, masih banyak hal yang dipertanyakan
tentang apa-apa yang dilakukan perempuan. Seolah perempuan punya
batasan-batasan yang jika dilanggar maka namanya akan dimiringkan. Memang
perempuan berbeda dengan kaum Adam, tapi apa itu juga berlaku untuk masalah
pendidikan dan hak kehidupan?
Banyak perempuan yang merasa tertekan akibat batasan
dan label yang sudah terlanjur ditanamkan. Pada akhirnya mereka merasa
terdiskriminasi dan perlahan-lahan mengubur dalam mimpi-mimpi. Mimpi yang ia
bangun bertahun-tahun harus kandas sebelum tuntas. Perjuangan seolah-olah tiada
arti jika sudah dihadapkan untuk memilih, memilih menuruti hati nurani atau
omongan orang kanan kiri.
Perempuan
juga tak boleh menyerah karena stigma negatif akibat belum melaksanakan
pernikahan. Jangan sampai membunuh angan-angan hanya karena mereka bilang
usiamu sudah terlalu sore untuk menjalin hubungan. Perempuan, akhir ceritamu
bukan hanya sampai di pelaminan. Kita sama dengan kaum Adam, ketika nafas sudah
memburu maut, itulah akhir dari cerita perjalanan kita di dunia yang semakin
menyesakkan. Pondok Pesantren Darun Nun Malang
0 komentar:
Posting Komentar