Oleh: M. Hadiyan Ihkam
Diceritakan, ada seorang santri berkulit putih, tinggi, tidak
terlalu gemuk. Jika dipandang seperti anak polos, lugu, patuh, dan ta’dzim
kepada Abah Yai Pondok. Pertama kali dia datang ke pondok, sowan ke ndalem abah
bersama orang tuanya. Selesai sowan, si santri membawa semua
barang-barangnya: baju, sarung, songkok, kitab-kitab kuning yang agak sobek
karena sering di-muthola’ah dan lain-lain ke kamar pondok yang telah di
antarkan oleh pengurus pondok. Suatu ketika Abah Yai butuh seseorang untuk mencari makan
kudanya. Sontak si santri baru tadi langsung ke ndalem Abah Yai untuk
meminta izin mencarikan makan kuda. Abah yai mengizinkan dan Si Santri dengan
sigap dan semangat mencarikan makan kuda di hutan atau kebun yang mempunyai
rumput segar bagi kuda.
Sejak saat itu si santri setiap sore setelah sholat Ashar
berjamaah, mencari rumput untuk kudanya Abah Yai. Namun yang aneh, Abah Yai
tidak pernah menyuruh untuk si santri ngaji kepada beliau. Justru si
santri disuruh ini itu, hingga membuat si santri sangat lelah dan pernah telat
bangun sholat tahajud.
“Le, reneo. Aku butuh kowe” Abah Yai memanggil si
santri
“Nggeh, bah” Si santri menjawab dengan ta’dzim
“Kirimen panganan iki kanggo konco-koncomu”
“Nggeh, bah”
Abah Yai tahu bahwa si santri tersebut bukan seperti santri
biasannya. Setiap apa yang beliau suruh, pasti dilakukan dengan baik.
Pernah suatu saat disuruh mengantarkan makanan ke kamarnya.
Abah yai bermaksud, makanan itu untuk si santri namun beliau hanya dhawuh “kekno
panganan iki ndek kamarmu”
Betul saja, si santri hanya mengantarkan makanan tersebut ke
kamarnya dan meletakkan di sana tanpa dimakan siapapun. Karena menurutnya Abah
Yai hanya menyuruh mengantarkan makanan, bukan memakan.
Selama tiga hari berturut-turut, si santri disuruh
mengantarkan makanan ke kamarnya.
“Piye, le? Panganane enak po ra?” Abah Yai Tanya kepada
si santri dengan senyuman di wajah beliau.
“Ngapunten, bah. Kulo mboten semerep. Amergi kulo mboten
maem” jawab si santri dengan lembut.
“Loh piye to, le? Wes tak wenehi panganan kok ora dipangan.
Wes iki tak wenei eneh panganen yo kudu entek.” Abah Yai sengaja berkata
seperti ini dengan nada agak tinggi seperti orang marah.
“Nggeh, bah” Jawab si santri dengan nada agak sedih.
Si
santri kembali ke kamarnya. Dan memakan semua makanan yang pernah disuruh Abah
Yai untuk mengantarkan makanan ke kamarnya. Semua makanan, termasuk makanan
yang sudah basi karena tidak segera dimakan, pun ikut dimakan oleh si santri.
“Piye, le? Kowe mangan sego sing
wes mambu po ra?”
“Nggeh, bah. Sedoyo sampun kulo maem”
Dalam
hati Abah Yai, “Bener iki dugaanku. Yo wes arek iki ben dadi mantune koncoku
ndek pondok kono”
“Yo wes, le. Iki enek surat
kanggo koncoku ndek pondok kono. Kowe kudu namu rono langsung ngekekne surat
iki”
“Nggeh bah”
“gowonen jaranku kae”
“Nggeh, bah”
Si
santri butuh waktu 10 hari untuk sampai kepada pondok yang dimaksud Abah Yai.
Si
santri langsung sowan ke seorang kyai.
“Niki yai, kulo diutus Abah Yai marengaken surat niki kagem
panjenengan” ucap si santri dengan ke-ta’dziman-nya.
Kyai tersebut membuka surat dan langsung membaca. Isi surat
tersebut adalah Abah Yai menyuruh kyai tersebut untuk menjadikan si santri
sebagai menantunya. Sontak kyai tersebut bingung, apa maksudya.
Kyai lalu bertanya kepada si santri dari mana asalnya, siapa
dia sebenarnya, dan lain-lain.
Dalam surat tersebut tertulis, Abah Yai menyuruh nikahnya
tanggal 1 Februari namun ketika si santri sowan ke kyai pada saat itu
tanggal 10 Februari.
“Le, kowe nyapo kok telat ngewehne surat iki?” Tanya
kyai
“Ngapunten, kyai. Kulo mlampah mboten nitih jaran”
“Loh nyapo kowe ogak numpak jaran. Kowe nggowo jaran lho kae?”
Tanya Kyai dengan heran
“Nggeh, kyai. Leres. Abah yai ngutus kulo mbeto jaran
mboten nitih jaran”
Jawaban
dari si santri langsung membuat hati Kyai setuju jika dinikahkan dengan
putrinya.
Pondok Pesantren Darun Nun Malang
💯 semangat, semngat
BalasHapus