Oleh : M. Ikhsan Kamaluzaman
Semenjak
dilantiknya pada bulan Oktober, menteri-menteri Pakde Jokowi Part 2 saling
unjuk gigi dengan gebrakan yang bervariatif. Dunia maya pun terbagi 2 seperti
biasanya. Ada yang memuji, ada juga yang istiqomah menjadi netizen
julid. Setidaknya, ada 3 menteri yang tindak tanduknya akhir-akhir ini menjadi
perhatian publik. Pertama, pak jendral menteri agama yang barusan ini agak
”labil” tentang perpulangan WNI Eks
ISIS. Kedua, ada mas Erick Tohir yang babat abis penyakit (red. mafia) yang ada
di tubuh BUMN. Ketiga, mas menteri Nadiem Makarim yang mencetuskan berbagai
gagasan-gagasan “nekat” di kementerian Kemendikbuddikti.
Pada awalnya rame
meme bertebaran di sosial media kita perihal terpilihnya beliau menjadi Menteri
Pendidikan. Paling banyak meme tentang bayar SPP sekolah bisa menggunakan Go
Pay, kemudian bus sekolah diganti dengan Go Car, dan yang tak kalah lucu ada
fitur Go Sen untuk mahasiswa yang ingin titip absen, apakah anda termasuk yang
bahagia dengan fitur ini? Hayooo ngaku. Dasar masyarakat +62 ada-ada aja dah
becandaannya. Bagi saya selama meme meme tersebut tidak menghina pribadi
pejabat publik hal tersebut sah-sah saja, berbeda dengan kasus Bu Risma
Walikota Surabaya yang disebut kodok betina oleh salah satu ibu-ibu di Jawa
Barat. Ada yang bilang kalau gak kuat dikritik jangan jadi pejabat publik, ya
saya setuju banget dengan statement tersebut. Tapi, masa iya nyebut kodok
betina termasuk mengkritik?
Sejauh ini,
setidaknya ada 2 kebijakan beliau yang menuai kontroversi. Ya namanya juga
perubahan, bukan perubahan namanya kalau gak menuai kontroversi. Pertama,
kebijakan merdeka belajar untuk guru yang di launching 11 Desember lalu dan
yang terbaru kebijakan merdeka belajar untuk mahasiswa. Kebijakan kedua ini
saya sendiri masih belum membaca ulasannya secara lengkap, teman-teman pembaca
budiman yang tau infonya boleh kali dikasih linknya. Untuk sementara, yang bisa
difahami adalah bahwa mahasiswa boleh mengambil mata kuliah di jurusan apa saja
di kampus tersebut selama 3 semester. Jadi nih, jika anda adalah mahasiswa
sastra, anda bisa mengambil matkul di jurusan hukum keluarga, jadi nanti isi
puisi anda membahas tentang tata cara memilih pasangan misalnya. Wah, banyak
sekali kemungkinan-kemungkinan ‘nakal’ yang terjadi jika memang kebijakan ini
akan diberlakukan.
Kekhawatiran saya agak berbeda, yang
saya khawatirkan kebijakan ini menjadi ajang cari jodoh atau untuk
bucin-bucinan yang terselubung. Bagaimana tidak, sudah tidak asing di
pembicaraan antar mahasiswa kalau ternyata mahasiswi ekonomi itu lebih banyak
yang cantik dari mahasiswi pendidikan. Ini masih katanya ya, kalau mau protes
jangan ke saya ya. Tuh kan, bisa jadi 3 semester itu mereka gunakan bukan untuk
belajar tapi malah pacaran atau sekedar biar gak bosen sama temen cewek yang
itu itu aja. Tetapi kekhawatiran seperti ini diungkapkan oleh mahasiswa akhir
seperti saya, bisa jadi itu penyesalan saya karena tidak mengalami kebijakan
mas menteri.
Mas menteri
menganalogikan bahwa hidup ini seperti lautan, kampus seperti kolam besar,
sedangkan jurusan merupakan kolam kecil. Jadi, mahasiswa yang hanya belajar
satu jurusan itu saja ia akan kaget dan tenggelam ketika memasuki laut, lah
biasanya kolamnya segitu segitu aja. Ditambah beliau menjelaskan kalau di era
semaju ini mana ada sih pekerjaan yang hanya membutuhkan satu keahlian. Profesi
apapun merupakan kombinasi dari beberapa keilmuan yang diintegrasikan secara
harmoni untuk menyelesaikan problematika yang ada di masyarakat. Dengan dasar
itu, mas menteri berharap para rektor untuk tidak melarang mahasiswanya yang
mau belajar diluar jurusannya, pun beliau juga tidak memaksa seandainya ada
mahasiswanya yang tetap memilih istiqomah di jurusannya.
Ngomong-ngomong,
kalau saya mengalami era kebijakan ini, yang saya mau ambil itu mata kuliah
dari jurusan hukum keluarga khususnya mata kuliah fiqh pernikahan. Kenapa? Ya
supaya bisa jadi suami dan ayah yang baik lah. Biar semangat kita menikah
seimbang dengan semangat mempelajari apa yang ada dalam pernikahan. Emang anda
kira pernikahan enak-enaknya saja? Lagian, daripada ikut kelas-kelas online
yang ternyata harganya setara makan soto qonaah 500 kali itu, ya mending
dapetnya di kelas kuliah ya kan? Lagian kali aja ibu dari anak-anak saya itu
ada di kelas itu, sopo eroh ya kan? Ah, sudahlah itu Cuma angan-angan
saya saja, semoga adik-adik kelas saya nanti bisa memaksimalkan kebijakan ini
dengan baik bukan untuk gaya-gayaan biar story WA nya keren.
Oh ya, kalau
paragraf diatas kamu baca dan tafsirkan bahwa saya ini pelit uang untuk ilmu,
ya nggak apa apa. Namanya juga netizen, bebas menafsirkan. Saya pun berhak
menjawab: Alah, masa iya kamu juga gak pengen?
Pondok Pesantren Darun Nun Malang
0 komentar:
Posting Komentar