Nety
Novita Hariyani
Rendahnya
tingkat pendidikan serta terkungkung erat budaya setempat menjadi pemicu
kurangnya kualitas sumber daya manusia. Padahal, sumber daya alam jika tidak
dibarengi dengan sumber daya manusia yang
berkualitas maka hal tersebut akan timpang. Banyak dari kita kurang
menyadari akan pendidikan yang harus ditanamkan sejak dini. Terutama pendidikan
bagi perempuan yang menetap di daerah-daerah terpencil di seluruh pelosok
Indonesia. Mereka tidak mendapatkan pendidikan yang layak karena beberapa
alasan.
Faktor
yang paling mendominasi minimnya pendidikan perempuan di desa-desa yakni faktor
ekonomi. Penghasilan yang tidak mencukupi menjadikan mereka harus meninggalkan
pendidikan demi bekerja untuk mencukupi kebutuhan primer mereka. Fakta yang
dapat kita telusuri saat ini banyak sekali perempuan desa menikah diusia muda padahal ketika itu psikis
mereka belum siap untuk melangsungkan sebuah pernikahan. Tak jarang 'lembaga
perceraian' dipenuhi oleh berbagai pasangan yang hendak bercerai, karena pada
dasarnya orang-orang yang menikah pada usia muda masih labil dalam kehidupan
berumah tangga.
Faktor lain yakni sulitnya akses untuk
mendatangkan para pengajar yang berkualitas dari kota serta kurangnya kesadaran
akan pentingnya pendidikan. Padahal, seringkali pemerintah dalam hal ini
diwakili oleh pegawai pemerintah yang berwenang di daerah tersebut mengadakan
penyuluhan dalam bidang pendidikan untuk menyadarkan masyarakat betapa
pentingnya pendidikan formal. Namun, ada beberapa daerah dimana pejabat yang
berwenang kurang memperdulikan pendidikan masyarakatnya dan lebih cenderung
kepada pembangunan yang lain.
Ditambah lagi 'statement' yang beredar
ditengah masyarakat berpemikiran kuno bahwasanya perempuan tidak berhak
mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi daripada laki-laki karena pada
hakikatnya laki-lakilah yang akan menjadi pemimpin. Akan tetapi, lambat laun
'statement' tersebut tenggelam oleh pergantian masa. Perlahan tapi pasti,
masyarakat mulai terbuka untuk menerima pendidikan. Saat ini, mereka bukan
tidak ingin mengenyam pendidikan yang berkualitas melainkan keadaan yang
menolak mereka untuk memperolehnya.
Mengutip dari surat yang dikirimkan oleh
kartini pada 25 Mei 1899, ia berpesan kepada Nona Zeehandelaar "Jika saja
masih anak-anak ketika kata-kata 'Emansipasi' belum ada bunyinya, belum berarti
lagi bagi pendengaran saya, karangan dan kitab-kitab tentang kebangunan kaum
putri masih jauh dari angan-angan saja, tetapi dikala itu telah hidup didalam hati
sanubari saya satu keinginan yang kian lama kian kuat, ialah keinginan akan
bebas, merdeka, berdiri sendiri".
Pondok Pesantren Darun Nun Malang
0 komentar:
Posting Komentar