Kaktus Milik Karin
Oleh : Fahimatus Yusro
Siapa yang akan mengira bahwa hari
ini Tuhan masih memberi kesempatan untuk hidup, untuk memperbanyak istighfar,
untuk segera bertaubat dan memperbaiki diri dari kesalahan, kealpaan,
kelalaian, dan keangkuhan diri? Ternyata hari baru masih berkehendak mengetok
pintu-pintu kesadaran yang terkunci. Ashfa menggeliat. Di samping kirinya
tergeletak handphone dengan alarm yang berbunyi, mungkin sudah selama
lima menit. Alarm tersebut ia namai dengan “Tetap terus menanti”. Cukup
panjang, dan maknanya, tentu saja hanya Ashfa yang mengerti. Bukan seperti
biasa orang menamai alarm mereka, misalnya Qiyamullail, sahur, bangun,
shubuh, dan masih banyak lagi yang sefrekuensi. Alarm kemudian ia matikan.
Lantas, ia duduk sambil mengumpulkan beberapa serpih nyawa yang belum menyatu
utuh.
“As, jam berapa
sih berisik tau!”
“Oh iya udah
aku matikan kok, alarmnya”
“Aih, masih jam
satu gitu, kirain udah mau shubuh. Bikin alarm ga bener!”
“Yaudah,
sorry.. sok atuh tidur lagi”
“Gamau tau,
besok beliin kaktus buat aku”
Karin sebal. Teman sekamar Ashfa
yang terkenal rajin itu pastilah baru tidur kurang lebih satu jam sebelumnya,
sudah barang tentu ia kesal saat mendengar alarm Ashfa. Ashfa kemudian bangkit
dari ranjang kamar kostnya, dan melangkah sambil berjinjit dengan sangat
berhati-hati agar tiada terdengar suara-suara yang dapat membangunkan temannya.
Karin merupakan seorang penyabar, sangat jarang ditemui ia marah. Dan apabila
seseorang berhasil membuat Karin marah ataupun kesal, sangatlah sulit untuk
mendapatkan maaf dari Karin.
Ashfa menuju meja belajar di dekat
jendela, kemudian ia sibak tirainya. Dari balik jendela, tampak bulan bersinar
terang. Para asterik juga memancarkan kilaunya walaupun setelah isya’ sepulang
aku dari musholla, mereka tak satupun yang keluar dari tempat persembunyiannya.
Sorot mata Ashfa lalu mengarah pada kalender meja dekat tumpukan buku yang
belum sempat ia bereskan semalam. Karna hari ini merupakan hari baru di bulan baru,
ia membalik kalender tersebut. 1 Februari 2020. Begitulah pembaruan tanggal
daripada hari sebelumnya. Buku-buku ia rapikan, kemudian ia hanya duduk
bersandarkan kursi plastik, tempat duduk yang biasa ia pakai belajar.
Seperti biasa, ia selalu berfikir
tentang vonis dokter akan sakit yang dideranya. Ia selalu menghitung hari demi hari yang kian berganti.
Dan ia menangis setelahnya. Terus saja begitu semenjak ia mendadak pingsan di
tengah gurauannya dengan teman-teman dan tahu akan penyakit yang kini menyatu
dengan jasad yang disandang ruhnya. Tapi kemudian ia bersyukur untuk hari ini
yang masih menjadi rezeki untuknya. Tangisan reda, dan Karin tak menyadari isak
tangis yang menjadi satu-satunya bunyi yang pemenuh kamar mereka berdua.
Diam cukup lama, hingga suara-suara
lonceng, antrian mandi, gebrakan pintu kamar mandi yang terbuat dari seng
alumunium itu terdengar sampai sini. Maklum, di sebrang kost adalah masjid
daripada pondok Darul Falah, sebuah pondok semi modern yang sudah dibangun
sekitar sepuluh tahun yang lalu. Pondoknya sendiri berada di samping masjid.
Ashfa melirik jam dinding, dilihatnya dua jarum yang saling memadu gerak untuk
menciptakan detik, menit, dan jam yang kian berganti. “Oh, masih jam dua
dini hari”, batinnya. Ashfa tersenyum, ada kedamaian tersendiri ketika
menyaksikan keriweuhan santri-santri di sebrang. Ashfa kemudian
mengambil air wudhu, dan menenggelamkan diri dalam dialog dengan Tuhannya.
****
“Karin, udah
shubuh. Ke masjid yuk, prepare gih”
“Ashfa ih
ngagetin! Aku ntar masuk kuliahnya siangan kok. Tugas-tugasku udah kelar juga semalam
pas kamu tidur”
“Iya tau,
shubuh dulu yuk ke masjid!”
“Eh apa? Udah
shubuh? Ah kok Ndak bangunin tahajud sih”
“Udah aku
bangunin, kamunya malah ngigo tadi. Mungkin kamunya kecapekan banget!! Makanya
jangan begadang mulu! Rajin sih iya, tapi kan jadinya.... “
“Iya deh iya..”
Ashfa dan Karin berangkat bersama ke
masjid. Udara dingin fajar itu mengiringi langkah mereka yang hanya beberapa
langkah menuju masjid. Shubuh berjama’ah dimulai, kebetulan imam sholat kali
ini adalah pimpinan pondok Darul Falah. Beliau sosok yang sangat sederhana.
Beberapa hari lalu beliau telah menjalankan operasi amputasi dua jari kakinya
karena penyakit diabetas. Maklum jika beliau mengimami sambil duduk di
kursi kayu, kursi yang sama dengan yang digunakan santri-santri beliau belajar.
Usai sholat, seperti biasa, beliau
memberikan taushiyah dan tau’iyah kepada santri-santrinya. Ashfa dan
Karin mengikut saja, bertindak layaknya santri pondok tersebut. Mereka berdua
menyimak setiap kata yang terlontar dari sosok sepuh pimpinan pondok tersebut.
Semua yang beliau nasihatkan selalu menjadi aspirin bagi kegundahan, dan
menjadi api yang membakar kembali semangat yang sempat padam.
***
“Karin, aku
berangkat duluan ya. Ada matkul susulan, jadi digantikan pagi ini”
“Iya, pakek aja
motor aku. Aku libur jadinya”
“Beneran? Oke
deh, makasih yah”
“Iya, ati-ati,
jangan lupa do’a!”
“Oyi, pasti”
“Eh, boleh
nitip sesuatu? Belikan kaktus ya! Oh iya, kan hukuman kamu emang aku suruh
beliin kaktus, haha..”
“Kaktus lagi
nih? Nanti mati lagi gimana?”
“Kan ada kamu
yang ngurusin kaktusnya kalau aku terlanjur sibuk”
“Aih, dasar”
Sepulang kuliah, Ashfa membelikan
titipan Karin. Saat itu adzan ashar berkumandang dan kebetulan tempat pedagang
kaktus dan semacamnya bersebelahan dengan masjid. Ashfa kemudian mengikuti
sholat ashar berjamaah. Sedangkan kaktus untuk Karin ia letakkan di dekat
tangga masjid, di atas tumpukan keramik baru untuk renovasi masjid.
“Karin mau ke
mana sih, cantik amat?”
“Eh, emang
cantik dari lahir”
“Tapi kali ini
beda eh, hayo mau kemana?”
“Beda apanya
Ashfa? Dandan juga enggak sih, oh iya aku udah masak tadi, sayur sup tanpa
kubis kesukaan kamu. Kamu kalau lapar langsung makan aja yah”
“Astaga Karin,
aku lupa”
“Kenapa? Lupa
belum sholat?”
“Yee, udah
dong. Kaktus kamu, tadi aku taruh di dekat tangga masjid”
“Masjid Al-Hikmah?”
“Iya, astaga.
Aku ambil deh ya”
“Kebetulan
mulai hari ini aku mau ngajar ngaji di masjid itu, jadi sekalian aja deh”
“Gapapa?”
“Iyya, gapapa”
“Maaf banget
Kariin..”
***
“Iya, halo?”
“Rekan ustadzah
Karin?”
“Iya, saya..”
“Innalillahi
wainna ilaihi roji’un, Ustadzah Karin kecelakaan setelah mengajar, beliau
meninggal seketika akibat benturan di kepala”
===
Dunia kini terasa sangat sesak bagi
Ashfa. Siapa yang sangka Karin akan mendahului Ashfa yang bahkan tinggal
menanti hari yang tak perlu ia menanti lagi seperti yang dikatakan dokter.
Ashfa memeluk Nahla, sosok kecil yang sangat mirip dengan Karin yang kini
menangis tersedu-sedu. Kedua orang tua Karin juga sangat sedih kehilangan satu
dari dua putri mereka. Saat semua orang pergi, tinggallah mereka berempat yang
masih terus memanjatkan do’a untuk Karin.
***
“Karin, ini
kaktus kamu. Seperti yang kamu bilang, aku yang akan merawat kaktus ini kala
kamu tak sanggup. Dan aku berjanji akan berusaha tetap hidup walau banyak yang
bilang tidak mungkin aku hidup lebih lama lagi. Semoga aku seperti kaktus itu,
tak pernah mengeluh walau hidup di padang tandus. Terus ikhlas, sabar, dan bertahan,
hingga akhir hidupnya ia berbunga. ---Kita, tak pernah tahu akhir cerita
kita---”
--Ashfa, 1
Februari 2020--
Pondok Pesantren Darun Nun Malang
0 komentar:
Posting Komentar