Oleh:
Ahmad Nasrul Maulana
Hari
ini ada yang berbeda dengan perpustakaan sekolahku. Ruangan yang sesak oleh
deretan rak besi besar dengan jutaan buku tertengger di atasnya, terbilang
cukup sepi dan jarang dikunjungi oleh kalangan siswa di saat jam istirahat tiba.
Hanya beberapa kepala saja yang bertandang masuk ke dalamnya, entah sekedar
mencari buku referensi, mengerjakan tugas, membaca tabloid harian yang acap
kali dipesan oleh pustakawan saban pagi, hingga ada yang hanya menuliskan nama mereka
di buku absensi yang mana di setiap akhir pekannya akan mendapatkan penghargaan
bagi mereka yang rajin berkunjung ke perpustakaan.
Bangunan yang berdiri
meninggi di ujung utara sekolahan itu, juga kerap menjadi destinasi pilihan
bagi siswa yang sedang merajut asmara dengan pasangannya. Anak semacam inilah
yang menjatuhkan citra perpustakaan maupun sekolahan. Mereka mengemas rapi
hasrat kotor mereka dengan berkedok membaca buku. Cukup mudah untuk menemukan
siswa seperti ini, sebab mereka yang datang dengan maksud demikian, biasanya
memilih duduk berdua di bangku paling pojok ruangan yang tertutup oleh rak
besar perpustakaan.
“Hari
ini ramai sekali kak, ada apa ??” aku membuka
percakapan dengan pustakawan siang ini.
“Loh,
baguslah Suf, kan kalau ramai berarti minat literasi siswa semakin tinggi”.
Tuturnya sembari menyiapkan buku absensi pengunjung perpustakaan. Mataku tak
hentinya menerjap fenomena langka di dalam perpustakaan siang ini. Jawaban dari
kak Inayah tak bisa ku
terima begitu saja, meski terdengar bagus bagiku.
Sejauh
ini memang tak ada yang aneh, mereka membacai buku dengan serius. Wajahnya
tenggelam penuh oleh buku bacaannya. Aku memilih duduk di sudut baca
perpustakaan, karena memang tempat itu intens bagi siswa yang butuh konsentrasi
penuh dalam membaca sepertiku. Ruangan ini beralas karpet hijau lembut yang
akan menimbulkan rasa dingin di kaki, belum lagi Air Conditioner yang
menyeruakan hawa dingin setiap detiknya
semakin membuai setiap siswa untuk terlelap dihadapan buku bacaannya.
Kaca
tebal bermotif bunga matahari menjadi
satu-satunya penyekat antara ruang baca umum dengan sudut baca ini. Aku akan
kembali melanjutkan petualangan erotis seorang pangeran dalam buku tebal yang
sudah tiga hari ini ku baca. Tak berselang lama, usai mengabiskan tiga halaman
dari buku yang kubaca, mendadak rasa kantukku menyergap. Aku terpulas beralas
kedua lenganku. Ternyata rasa lelahku setelah bermain voli di lapangan saat jam
olahraga tadi, benar-benar memaksaku untuk merebahkan tubuh.
“Lihatlah,
tak ada yang sudi menjamahku, padahal mereka tahu bahwa kita adalah jembatan
ilmu”. Tutur buku merah besar kepada empat buku
yang mengerumuninya. Menatap aku dari kejauhan sembari mengupingi dialog
buku-buku itu.
“Kau
benar, Ensik. Aku adalah satu-satunya buku yang tak pernah dibaca. Terlebih
lagi, posisiku berada di rak paling atas perpustakaan. Dulu aku sering dibuka
oleh siswa yang sedang menggarap kompetisi karya tulis ilmiah hingga dia juara.
Tapi semenjak siswa itu lulus, aku terbuang didalam kesepian. Hingga kini,
berita kompetisi itu tak lagi ku dengar”.
Buku bersampul lapuk itu menutup ujarannya dengan tangisan. Aku terpukul
mendengar celotehan buku-buku itu. Ternyata mereka bersedih jika dicampakkan
dan hanya dipajang di rak-rak perpustakaan. Mereka layaknya manusia, yang akan
dirundung kekecewaan jika tak ada yang menghiraukannya, sementara itu
mereka memiliki peran penting dalam pendidikan para siswa. Indeks pendidikan
Indonesia berada di ambang keresahan, ini karena minat literasi warga garuda
yang rendah.
“Aku
dan teman-temanku adalah buku yang paling sering digemari para siswa. Selain
aku bergambar dan penuh warna, aku termasuk buku yang bisa habis dibaca dalam
sekali duduk. Namun, sejak adanya fitur android yang menyediakan bacaan
sepertiku. Sejak itu pula aku tersingkir dari tangan-tangan mereka.”
Ujar buku kecil yang nampak berwarna dibanding lainnya.
“Tak
hanya sampai itu kawan, kini para siswa menjadikan tempat kita sebagai markas
kemaksiatan. Mereka tidak membaca di rumah kita, tapi berbuat menyimpang dari
peraturan sekolah. Sebab itu, perpustakaan menjadi lokasi teraman dan paling
banyak didatangi akhir-akhir ini”. Kembali aku
tertegun oleh dialog mereka. Tenggorokanku kering juga mataku yang perlahan
membasah. Apa yang mereka tuturkan benar-benar sesuai dengan fakta. Andai saja
para siswa mengetahui kemalangan mereka, tingkat kesadaran pendidikan dan
literasi sekolah pasti akan memuncak paling tinggi.
“Sudahlah
Ensik, Mik, Nov. Semoga para siswa di sekolah ini terketuk hatinya.” Sahut
Atlas yang dari tadi mengunci lisannya.
“Dan
segara tersadar akan urgensi literasi bagi kaum terpelajar untuk menempuh
pendidikan. Sehingga negara ini tak lagi berada di ambang keruntuhan”.
Tukas Ensiklopedia
menutup percakapan. Selama ini ada banyak buku yang terasingkan di perpustakaan
ini. Sekolahku memang paling masyhur di kota ini. Tak
sedikit pula anak pejabat tinggi menyekolahkan anaknya disini. Hal ini dibuktikan dengan tiga
tahun perpustakaan sekolahku menoreh penghargaan dalam nominasi perpustakaan
terlengkap dalam malam penganugrahan apresiasi pejuang literasi. Ku pikir
dengan disabetnya juara tersebut, semangat para siswa semakin menggebu seperti
mengangkat tropy malam itu di balai pendidikan kota.
“Suf,
bangunlah !! ada pemeriksaan.” Suara Angga memekikkan telingaku. Aku
terbangun.
“Pemeriksaan
apa ??”
“Kau
tak membawa alat komunikasi ke sekolah kan ??”.
Ia berujar bersamaan dengan tangannya yang menjelajahi sakuku.
“Buat
apa aku membawanya ke sekolah. Kau tahu sendiri kan, bahwa ponsel tidak boleh
dibawa ke sekolah”.
“Nahh
itu, banyak siswa tertangkap mengoprasikan alat komunikasi di perpustakaan
ini.” Aku terkejut. Pantas saja tempat ini
selalu ramai dikunjungi oleh para siswa. Aku tak habis pikir atas perbuatan
mereka. Mereka adalah anak terdidik, setiap hari dijejali banyak ilmu dari
pendidiknya. Namun otak mereka bagaikan daun talas yang selalu menolak air
sebagai ilmunya. Aku berharap, bahwa semua siswa saat tidur nanti, dalam
mimpinya akan dihadiri buku-buku perpus yang berdialog ihwal kemirisan
pendidikan dan literasi siswa seperti dalam mimpiku tadi. Sehingga semuanya
tersadar akan pentingnya edukasi dijenjang mereka.
Pondok Pesantren Darun Nun Malang
0 komentar:
Posting Komentar