( Biografi ) KH. ABDUL WAHAB CHASBULLAH
Oleh : Ilman Mahbubillah
Beliau adalah sosok Kyai yang menjadi pilar Islam, pecinta zaman dan obor
semangat pemuda Islam.
Beliau lahir dari rahim seorang ibu yang bernama Latifah, istri dari Kyai
Kharismatik yang terkenal akan kekaya-rayaan dan kearifannya yakni KH.
Hasbulloh pada bulan Maret 1888, kelahirannya disambut dengan rekahan senyum
dan tangis bahagia. "Abdul Wahab" begitulah gelar nama yang
disandangnya. Dan dari rahim yang sama, lahir pula saudara-saudara Beliau,
antara lain: Abdul Hamid, Khodijah, Abdurrohim, Fatimah, Sholichah.
Sejak usia delapan tahun, Beliau telah mendapatkan pendidikan
intensif dan menjalani kehidupan sebagai santri pondok pesantren. Awal mulanya,
Beliau diasuh oleh ayah Beliau sendiri selama 6 tahun sampai tibalah saatnya
Beliau merambah ilmu ke wilayah seberang yang jauh dari tanah kelahiran. Meski
Beliau adalah putra dari Kyai yang ternama, Beliau tidak pernah bersikap
sombong, Beliau berlaku dan diperlakukan sama seperti para santri lainnya.
Beliau pernah mengenyam ilmu dibeberapa Pondok Pesantren, diantaranya adalah
Ponpes Langitan Tuban, Ponpes
Mojosari Nganjuk, Ponpes Cempaka, Ponpes
Tawang Sari Sepanjang, Ponpes
Kyai Kholil Bangkalan Madura, Ponpes
Branggahan Kediri dan berujung di Ponpes Tebuireng
dibawah asuhan KH. Hasyim Asy'ari.
Setelah Beliau menimba ilmu diberbagai pulau Jawa, beliau
memutuskan untuk menyempurnakan ilmunya dengan menuntut ilmu di tanah kelahiran
Nabi Muhammad SAW, Mekkah. Sekitar kurang lebih 5 tahun Beliau mengenyam
pendidikan, hingga akhirnya dalam usia 34 tahun, Beliau telah menjadi pemuda
yang tangguh dan mahir dalam berbagai ilmu agama seperti Tafsir, Hadits, Feqih,
Aqo'id, Tasawuf, Nahwu, Sorof, Balaghoh, Arudh dan Munadhoroh dari cabang ilmu
diskusi serta retorika.
Setelah beliau pulang
dari Mekkah, pada tahun 1916, beliau mulai berkiprah di Pesantren yang dikelola
ayah beliau. Beliaulah orang pertama yang memperbaharui system pendidikan
yang ada di Tambakberas, yang semula belajarnya menggunakan system halaqoh,
kemudian mulai diperkenalkan dengan system Madrasah. Namun usaha beliau tak lepas dari aral yang harus beliau lewati, terutama hambatan yang datang dari ayah beliau sendiri. Beliau menganggap system ini mirip dengan cara yang
dilakukan Belanda yang waktu itu masih menjadi musuh bangsa Indonesia.
Karena begitu kerasnya reaksi yang datang dari ayah beliau sendiri, maka dengan rasa terpaksa beliau memindahkan madrasah yang semula
bertempat di serambi masjid ke langgar seberang barat desa Tambak beras
yang letaknya dipinggir sungai. Lama-lama terlintas dalam benak Kyai Hasbullah
rasa kasih serta seolah-olah telah mendapatkan ilham dari Allah untuk mendukung
system yang di inginkan putranya. Hal ini dibuktikan dengan didirikannya lokal
yang sampai sekarang masih ada dan kini tempatnya dibangun menjadi kantor
Yayasan PPBU.
Melalui pengalaman ilmu beliau
dalam hidup bermasyarakat yang cukup panjang, maka beliau pada tahun 1914 mendirikan "Tashwirul Afkar"
atau semacam grup diskusi bersama KH. Mas Mansyur. Sementara itu dari kampung Beliau
di Kertopaten Surabaya, beliau
menghimpun 'ulama dalam suatu perhimpunan "Nahdlotul Wathon".
Pada tanggal 31 Januari 1926, para 'Ulama tradisional adalah Kyai
pesantren-pesantren seluruh Jawa dan Madura yang merupakan eksponen dari Tashwirul
Afkar dan Nahdlotul Wathon berkumpul di rumah Beliau di Surabaya.
Dalam pertemuan itu diambil dua keputusan penting sebagai berikut:
Meresmikan dan mengukuhkan Komite Hijas sebagai delegasi ke kongres
dunia Islam di Mekkah.
Membentuk suatu jam'iyyah bernama Nahdlotul 'Ulama
atau NU sebagai wadah persatuan para 'Ulama dalam tugasnya memimpin umat menuju
terwujutnya cita-cita Izzul Islam wal Muslimin.
PELITA YANG PADAM
Tak ada yang abadi di dunia ini, begitu juga dengan perjalanan
hidup Beliau. Sosok Beliau dalam organisasi membuat kehadiran Islam lebih
diperhitungkan. Tapi semua itu ada batasnya. Pelita purnama cemerlang itu telah
redup dan akhirnya padam, namun sinarnya tetap mampu menerangi kegelapan,
tepatnya pada hari Rabu, 12 Dzulqo'dah 1391 H. atau 1971 M, bersamaan dengan
dentingan jarum jam yang menunjukkan pukul 10 WIB. Beliau menghembuskan nafas
terakhirnya.
Ribuan duka bergelayut sepadan dengan mendung yang menunduk. Air
mata seolah menjadi keharusan sebagai ungkapan duka cita yang begitu
menyesakkan dada dan rasa kehilangan yang begitu menorah. Beliau laksana intan
persada yang mengukir kecintaan dan gairah anak manusia pada semangat Islam.
Serasa kurang, air ilmu yang kami peroleh dari pancaran lautan
ini, serasa hanya setetes dari sekian banyak tetes yang bisa kami ungkap dari
rahasia ilmu. Semoga kami bisa tegak berdiri setegak semangat namamu. Kini kami
harus pamit meninggalkan tanahmu yang sekian tahun kami pijak, karena harus
kami berikan kepada penerus jejak kami. Ridlo-Mu Gusti, barokahmu Kyai,
berikanlah petunjuk sebagai penuntun langkah kami, sebagai pengingat bahwa kami
punya tugas. Semoga rahmat-Nya senantiasa atas dirimu. Rohimahumullohu
Tahun'ala 'Anhu.
Pondok Pesantren Darun Nun Malang
0 komentar:
Posting Komentar