Oleh: Ahmad Nasrul
Maulana
Tepat di pertigaan tusuk sate samping rumahku,
tumbuh meninggi puluhan jenis pohon yang nampak sesak dilihat jika berjalan dari
arah rumahku lantas berbelok ke arah kiri menuju jalan besar desaku yang baru
beberapa bulan lalu diaspal hitam memanjang. Se-bidang
tanah terbengkalai tak terawat itu dikerumuni pohon liar menjamur di setiap
sudut tanahnya. Selain banyak tumbuhan liarnya, tempat itu juga menyimpan
puluhan peristiwa naif yang terjadi di setiap bulannya. Tak ada yang tahu ihwal
musabab rentetan peristiwa miris itu terjadi, namun jika kita melintasi wilayah
tersebut dengan pelan maka tatapan kita tak akan luput menerjap sebatang pohon
jambu yang mana orang-orang berpendapat bahwa kejadian-kejadian ganjil di pertigaan
itu dikaitkan dengan keberadaan pohon jambu yang tumbuh kian menjamu itu.
Banyak masyarakat
mengeramatkan pohon yang menjulang paling tinggi besar dan sudah hampir tiga dasawarsa
tak pernah berbuah, hanya goyangan barisan pateranya saja yang berderet melebat
menyelimuti ranting kerontang kala pawana menghantam. Selain itu tak ada satupun
pipit maupun camar yang sudi mengengkrami telur hangatnya di pohon malang itu, tupai
yang meloncat riang di pepohonan lain nampak enggan menggoreskan cakar di dahan
keringnya. Sepi. Seakan ia diciptakan hanya untuk sekedar tumbuh, layu lalu lipu,
tanpa ada manfaat yang diberikannya.
Sebulan lalu, menurut pengakuan Pak Soib, tukang
bakso yang biasa melewati pertigaan pohon jambu itu pada malam hari usai berkeliling
menjajakan dagangannya, ia pernah mendengar suara desisan nyaring mengerikan yang
beradu dengan jeritan tokek liar bersahutan. Suara yang dihasilkannya sangat memekikkan
telinga lantaran utaran roda depan gerobaknya mendekati pertigaan itu-terdengar
semakin jelas. Dengan keberanian yang ia miliki, tanpa berujar sepatah kata pun,
ia berusaha untuk berjalan santai sembari mendorong gerobaknya tanpa menatap sekelilingnya
yang memang telah bersih dari lalangan pengendara.
Sebulan
lalunya lagi, Pak Juki bersama istrinya terpaksa harus menelan ludah pahit yang
memaksa peluh dinginnya bercucuran deras dari ujung rambut hingga tengkuknya tatkala
mendapati sosok hitam besar dengan juluran lidah panjang bergelayut di dahan pohon
jambu itu, ia dan istrinya terbirit sembari menuntun motor meticnya yang kebetulan
kempis bannya. Kasihan.
Sebulan
lalunya lagi, tepat di bibir jalan dekat pohon jambu itu, terjadi laka lintas yang
merenggut satu pengendara motor dan orang yang diboncengnya terluka parah. Menurut
isu yang beredar, sebelum peristiwa itu terjadi yakni sebelum mereka melintasi pohon
jambu itu, mereka sempat mencium aroma anyir bercampur amis menyeruak tajam menembus
pembau mereka, karena itulah sang pengendara kehilangan konsentrasi dan kesimbangan
lalu dilalap cepat sebuah mini bus dari arah yang berbeda.
"Rin, ayahmu dimana ??." Teriak ibu
membuyarkan lamunanku. Hendak saja aku menjawabi ibu, Kak Sari lebih dahulu menyahutinya.
"Ayah keluar bu, katanya sih ikut
membantu proses evakuasi di pertigaan pohon jambu." Tuturnya.
Aku tercengang bukan main, baru saja aku bersikeras melamunkan rentetan peristiwa
aneh yang konon disebabkan oleh pohon jambu keramat itu, sekarang kembali
melukis peristiwa besar lagi, apa yang terjadi lagi disana ?, ingin hati menyusul
ayah pergi ke sana, tapi kondisiku belum sepenuhnya pulih dari demam semenjak
dua hari lalu, ditambah hujan di luar rumah yang tak henti-hentinya jatuh
merinai. Sudahlah, mungkin aku bisa menunggu ayah lalu mendengar klarifikasinya
nanti.
Pohon jambu di pertigaan itu sangatlah aneh
dibandingkan pohon jambu pada umumnya. Batangnya yang berukuran dua kali lipat
pelukan orang dewasa juga daun lebatnya yang menutupi bagian dahan atas
sepenuhnya, sangatlah mengganggu cahaya
yang mencoba menelisik masuk menyinarinya. Hal itulah yang mendasari
retina manusia tak sanggup
menjangkaunya.
Hampir tiga jam bergelut dengan vidio game
di atas shofa, suara ringkikan mesin motor ayah akhirnya menggema di telinga
bersamaan dengan rintikan hujan yang perlahan mereda.
"Bu, tolong ambilkan ayah handuk
!!." Perintah ayah terbata-bata dari luar rumah sebab menggigil kedinginan.
Tak ada jawaban dari ibu, berkali-kali teriakan ayah diulanginya, namun tetap
sama, tiada sahutan dari istrinya. Tak tega mendengar suara ayah yang semakin
parau mengecil, beranjak aku menyusuri tumpukan kain berjait di dalam lemari
untuk mengambil kain pengering di sela-selanya.
"Ini yah handuknya."
"Loh kamu rin ?, ibumu mana ??"
"Di dapur yah". Tubuh
ayah memucat, rambutnya terurai berantakan lantaran bersentuhan dengan tetesan
hujan yang menghujaminya selama lima jam. Tak kuasa menumpahkan rasa
penasaranku tatkala mendapati kondisi ayah yang meringkuk keanginan. Aku
menahan pertanyaanku.
"Pohon jambu itu hampir tumbang ke
arah jalan sebab tersapu angin kencang, oleh Pak RT diperintahkannya merobohkan
sekalian dari pada meresahkan pengguna jalan yang setiap waktu
menimpainya". Ayah berujar tanpa ku pinta. Kini tubuhnya terbungkus
penuh oleh handuk, mata sayunya perlahan menerang, menambah sedikit energi
untuk bercerita ihwal balada pohon keramat di samping rumah. Seakan mengerti
isi hati dari suaminya, ibu berjalan keluar sembari menyeimbangkan nampan yang
tertengger secangkir seduhan teh alami buatannya.
"Maaf Yah, Ibu tadi di dapur hehehe
!!". Ucap ibu sebelum berlalu kembali masuk menuju wajan panas yang
sedari tadi tercium aroma tumisan sayur beramu dengan resep rahasia khas
masakannya.
"Ayah benar-benar tidak menduga Rin,
saat pohon besar itu berhasil dijatuhkan". Alisku terangkat,
tanda bahwa aku sedang memperhatikan sesuatu dengan seksama. AkuTak ingin
melewatkan obrolan ayah. Sedikit saja tidak. Karena menurutku cerita tentang
mitos-mitos di desaku jauh lebih menarik dibanding cerita fiksi yang berkedok
imajinasi.
"Apa yang terjadi Yah ??".
"Seekor ular besar seukuran pohon kelapa
mudah keluar menggeliat dari dalam batang pohon jambu itu, tak ada satu pun
dari kami yang berani mendekatinya. Bersyukur ular itu tidak buas sehingga
dengan mudah petugas damkar mengevakuasi tubuh besarnya". Ayah
menegguk teh hangat lantas menggigit giginya membayangkan tubuh besar ular itu
yang pasti telah bersinggah lama di dalam batang pohon jambu itu sehingga
membuat pohon jambu itu enggan ditandangi hewan kecil yang bisa saja menjadi
santapan lezat baginya. Bukan hanya itu, rangkaian peristiwa naif yang telah
lama dikaitkan dengan pohon jambu besar di pertigaan samping rumahku kini
terpatahkan sudah. Mulai dari desisan nyaring dari Pak Soib, Sosok hitam besar
dengan juluran lidah panjang yang menghantui Pak Juki dan istri serta bau anyir
darah sebelum laka lintas tiga bulan lalu terjadi, terrnyata berasal dari ular
besar yang sedang melahirkan. Sangat menjijikkan.
Semenjak pohon jambu itu tiada, pertigaan
samping rumahku terlihat lebih terang. Para warga sepakat untuk membabati
tumbuhan-tumbuhan liar lantas menggantinya dengan tanaman berbunga yang lebih
segar dilirik mata.
Pondok Pesantren Darun Nun Malang
0 komentar:
Posting Komentar