oleh; Siti Fathimatuz Zahro'
Nama ku Radika. Saat ini
aku sedang menempuh pendidikan di taman kanak-kanak. Tanpa ku jelaskan,
pastinya semua sudah tahu kira-kira berapa usia ku. Aku masih belum mengenal
tugas di rumah. Semua aku selesaikan di sekolah. Bahkan ibu guru berkata, bahwa
tugas anak-anak diusia ku hanyalah bermain dan tugas orang tua mencari uang
untuk memenuhi kebutuhan ku. Enak bukan?
Aku berangkat sekolah jam
berapa pun, tidak akan memengaruhi apa pun juga. Tidak ada batas minimal atau
maksimal, yang penting aku datang. Ayah tidak marah pun Ibu tidak menuntut.
Semua ku lakukan sesuka ku. Datang terlambat dan aku tetap pulang ketika
teman-teman ku yang berangkat lebih awal pulang. Ketika aku salim kepada ibi guru,
beliau hanya pesan 'besok bangun lebih pagi ya Dik. Biar nggak terlambat'.
Semua ku iya-kan dan bisa jadi besok berulang kembali.
Ibu ku pekerja. Berangkat
jam 7 dan kembali ke rumah pukul 4 sore. Bahkan ketika aku bangun tidur,
seringkali sudah tak ku jumpai ibu di dapur. Bagaimana dengan ayah? Ayah ku
lebih mengalah sedikit. Beliau berangkat setelah mengantar ku ke sekolah. Jika
aku tak kunjung selesai, aku dititipkan ke tetangga untuk diantar bersama
anaknya ke sekolah. Rupiah demi rupiah dikumpulkan keduanya untuk memenuhi
kebutuhan 'bermain' ku. Layaknya raja saja aku di rumah. Ibu memiliki jam penuh
di rumah hanya waktu aku masih kecil. Ketika aku memang masih harus dalam masa
dekapannya.
Aku berbeda dengan
teman-teman ku. Setiap pulang sekolah mereka bermain di kubangan lumpur atau
pasir. Membuat lubang yang mereka ibaratkan sebuah terowongan. Mengaduk cairan
coklat didalam gelas bekas yang diumpamakan segelas kopi. Belum lagi dedaunan
hijau dan mereka berperan selayaknya koki handal. Bagaimana dengan aku? Aku
selalu bersih. Kuku jari ku tak pernah menghitam. Semua yang mereka lakukan
diluaran sana, semua sudah tersedia didalam rumah ku. Aku tinggal ganti baju,
makan, dan bermain hingga jam berapa pun. Ayah dan Ibu tidak akan marah.
Kata tetangga, ketika
usia 1 tahunan aku termasuk anak yang tidak pernah rewel. Suara pecah tangis
jarang sekali terdengar. Justru yang terdengar adalah suara televisi yang tidak
pernah berhenti. Televisi itu berhenti bersuara hanya ketika aku tidur. Jangan
ditanya berapa tagihan listriknya. Asalkan aku tidak rewel semua aman. Ayah dan
ibu akan tentram. Toh aku juga anak tunggal. Semua memang hanya untuk ku. Bisa
dihitung berapa banyak jam yang aku gunakan untuk menonton televisi dengan
diam. Melihat gambar warna-warni yang bergerak dan mendengar suara lirih yang
memang hanya disetel minimal. Ibu takut suara itu membuat aku bising dan
mengganggu kediaman ku.
Hingga kini aku merasa
berbeda dengan teman-teman. Teman-teman saling memanggil temannya dengan namanya.
Sekali pun terdengar salah-salah. Lalu memanggil ayah dan ibunya dengan jelas,
mengucapkan selamat pagi kepada ibu guru di sekolah dengan pas, dan saling
memamerkan mainan baru yang baru dibelikan orang tuanya. Bagaimana dengan aku?
Ibu guru di sekolah aku panggil dengan kata 'aaaaak', memanggil teman saja aku
tak mampu meskipun aku tau namanya, atau sekedar mengatakan bahwa aku lapar itu
sulit sekali. Jika lapar aku akan menarik baju ibu dan mengajaknya ke dapur.
*Kisah nyata dari hasil wawancara dengan
guru PAUD disalah satu sekolah Kabupaten Malang
Pondok Pesantren Darun Nun Malang
0 komentar:
Posting Komentar