Oleh :
Thibbiatul Mirza Amalya
Segenggam koin masih tergenggam erat
dalam dekap tangan. Saat aku mencoba membuat tantangan pada diriku. Kutemui si
mungil lucu dengan baju lusuhnya disebelah trotoar. Tampak memegang sebatang
coklat dengan erat. Pandangannya kosong. Tak diperdulikannya bunyi klakson dan
rame knalpot yang begitu bising. Pandangan akan dunianya sendiri tampak lebih
menggoda. Angannya menaiki pesawat terbang sebagaimana teman sebayanya sebatas
impian.
Sorot mata tajamnya seolah
beranalogi. “Aku suka orang menyakitiku dari kejauhan. Mereka mengabaikanku
dengan sengaja. Bagi mereka aku hanyalah benalu yang rumpang. Tak lebih sebuah
titik hitam yang tak memiliki peran. Jeda tangisan dalam kebahagiaan setiap
orang. Bertemankan terik matahari dan angin malam. Apa hakku untuk memiliki
kebahagiaan hidup. Gelisah tak seharusnya ku lakukan. Ingin bicara tapi tak ku
ketahui apapun. Bagaimana kata dirangkai hingga bisa mewakili rasa yang ku
alami”. Bibirnya membisu hingga di akhir malam.
Topi tak berwarnanya terjatuh tepat
dikaki ku. Tangannya lebih dahulu mendarat dibanding tanganku. Senyum yang tak
kulihat sebelumnya terulum manja dari bibir manisnya. Menyihir duniaku perlahan.
Menarik paksa hati ku kedalam dunia sederhananya. Ada kalanya hati yang saling
berbicara. Berbicara apa yang tak seharusnya. Ia tampak bergegas sehingga
mengakhiri perjumpaan kami di sore hari itu. Hingga tak sempat kuberikan
segenggam koin yang sedari tadi ku genggam.
Otakku terus berputar memikirkan
coklat yang ia genggam. Raut wajah ceria yang ia paksakan demi mendapat
perhatian. Akankah sesuap nasi telah ia berikan pada perutnya. Minimal segelas
air sebagai penghargaan untuk lambungnya. Teriakan seorang teman membuyarkan
lamunanku dan melupakan apa yang baru saja terjadi. Ku langkahkan kaki kesebuah
kedai dipinggir jalan. Begitu ramai dan berdesak-desakkan membuat pengunjung
sedikit tidak nyaman. Akhirnya ku putuskan untuk berpindah ke kedai samping.
Meski sepi tak dikunjungi namun kenyamanan yang ditawarkan begitu menggiurkan.
Sesaat sebelum ku teguk segelas
coklat panas, bunyi dentuman begitu keras dijalan depan terdengar begitu
mengagetkan. Memaksa badanku untuk bergerak melihatnya. Penampakan yang
membuatku terbelalak sekaligus menganga mengagung. Sekelibat rasa bersalah
begitu menghantui. Menjerit parah dalam lubuk hati. Kenapa tak kuberikan
segenggam koin yang seharusnya ia miliki. Bukan mengenai jumlah yang diberi,
tapi bagaimana kesadaran setiap pribadi untuk saling peduli. Hatiku makin
menjerit tak karuan. Andai semua orang bersikap seperti ku, apa yang sesungguhnya
akan terjadi.
Pondok Pesantren Darun Nun Malang
0 komentar:
Posting Komentar