Oleh: Dyah Ayu Fitriana
Wanita itu
berjalan, menerobos rintik hujan yang menyakitkan. Tak pernah disangkanya
gerimis bisa semenyiksa itu. Kaki itu terhuyung, melewati sebuah jalan panjang
menurun dengan pepohonan yang rimbun di kiri kanan. Ia ingin bertanya, tapi tak
menemukan sesiapa. Segala yang ada di hadapannya seakan memang dihamparkan
untuk menyempurnakan rongga hatinya dengan kesepian. Apa yang harus dilakukan,
untuk apa dan siapa, seakan semua pertanyaan itu tiba-tiba mengeroyok kepalanya
yang bahkan sudah sesak dengan penyesalan.
Hujan itu
semakin deras, menghujam badannya dengan rasa dingin yang menembus tulang.
Bibirnya telah membiru melengkapi hari-hari yang dihadapinya dengan bisu.
Adakah yang lebih menyakitkan daripada mengecewakan? Sesuatu yang membuatnya
tak berani untuk membuka mata dan menyadari bahwa apa yang terjadi adalah
kenyataan.
Kaki itu
berhenti, di ujung jembatan yang sedang merayakan kebersamaan dengan hujan.
Tangan itu berpegangan pada pinggiran jembatan yang catnya sudah mengelupas.
Ada tawa kecil yang mampir di sudut bibirnya, ternyata tak hanya dirinya yang
tercampakan, batinnya. Wanita itu memejamkan mata, membiarkan air matanya
beradu dengan kecepatan air hujan di atas pipinya. Segala yang menyakitkan
ingin ia buang. Segala yang menyesakkan ingin ia tumpahkan. Tapi mana bisa?
Kakinya tercekat ketakutan hanya untuk melangkah. Kemudian ia pasrah,
menyerahkan badannya pada hembusan angin yang dikirim Tuhan untuk mengobati
patahnya. Ia dengarkan deruan air sungai seakan alirannya itu tumpah dan
bermuara pada hatinya.
Pada Tuhan ia
berserah. Sampai lamat-lamat hujan itu mereda, dan matahari mengintip di ujung
arah kiblat. Ia berjalan, meninggalkan penyesalan. Ia ingin pulang dan dipeluk
dalam naungan kasih sayang-Nya.
Pondok Pesantren Darun Nun Malang
0 komentar:
Posting Komentar