Oleh: Ahmad Nasrul Maulana
Kau boleh memilih untuk berhenti atau terus
membaca tulisan ini. Karena seutuhnya hanya berisi keluhan hidupku selama
delapan belas tahun hingga kini. Bukan maksud hati menyesal atau tak mensyukuri
atas apa yang telah ku miliki sejauh ini. Tidak. Tapi ini perihal rasa yang
semakin hari semakin kuat ikatannya. Baiklah, aku tak memaksamu untuk terus
mengeja kata dalam kalimat yang sepatutnya untuk tak kau ikut campuri. Namun
aku tak menutup ruang untuk kalian memberi solusi atau motivasi usai memahami.
Apa pun itu, siapa pun itu aku tak pernah memberi jarak antar sesama.
Jadi selama hidup ini, aku sering
berfikir bahwa tuhan tidaklah adil, sekali lagi bukan maksudku mengkufuri atas
segala sesuatu yang telah diberikan tuhan. Tapi aku hanya ingin tahu, apa yang
membedakan mereka dengan ku hingga aku melihat bahwa seakan mereka tak ada
masalah, tak ada keluhan yang terbesit dari mulutnya, toh kalaupun dipendam
dalam hati, aku tak tahu. Namun, mana mungkin sosok manusia mampu bergeming di
atas kepedihan tanpa mencurahkannya kepada yang lain. Sudahlah, bodoh membahas
hal tak guna semacam itu.
Rasa ketidakadilan itu bukanlah hal keji
yang mengikat fikiranku, namun aku hanya mencoba berfikir selangkah lebih dalam
terhadap semua hal yang perlahan menghujamiku. Aku juga sering berangan, coba
saja aku sehari jadi dia dan dia jadi aku. Seberapa ia mampu menyangga bebanku
dan seberapa kuat aku menyangga hidupnya. Sebab semua orang punya masalah dan semua
punya cara untuk menyelesaikannya. Berbicara ihwal masalah, mungkin jika
dinominalkan seluruh masalahku bisa membeli tanah Jawa. Haha. . .Hiperbola dah.
Ini sebab aku kadang-kadang sering tersulut oleh kerasnya mainan maya. Kerasnya
dunia kekeluargaan, kerasnya dunia pendidikan dan kerasnya hidup yang ku rasa
semakin berat sebelah. Aku percaya jika tuhan akan senantiasa mengankat derajat
hambanya yang selalu kuat dalam mengahadapi ujian demi ujian darinya. Aku tahu
tentang itu, tapi aku tidak serta merta bisa menerima dengan mudah. Mungkin aku
percaya tapi tidak pada kadar masalah yang semakin menggunung. Ahh betapa
sayangnya Tuhan kepadaku, mungkin Tuhan ingin memberi kejutan yang tak pernah
ku sadari nanti. Kebahagiaan yang akan ku temui usai bergelut dengan perancu hati
yang bertandang silih berganti tanpa henti. Mungkin di sini titik terlemahku,
sudut yang selalu ku takuti kala datang melabuhi. Kebahagiaan. Kebahagian
mungkin banyak orang yang mengartikan dengan rasa hati yang tak akan pernah
rela berhenti mendekapnya. Aku ini memang aneh, di awal aku berujar ingin
melegah dari hinggar binggar problema. Tapi semakin kesini curahan hati tak ada
gunanya. Jika kebahagiaan tak mau ku dapati, dan masalah tak ingin ku punyai,
lantas untuk apa ku terus melangkah menapaki pedihnya bumi ??. Kawan, sekali
lagi aku menulis rangkaian kata di sini untuk meluapkan erupsi nurani di saat pemilik mata hati tak ada lagi yang
perduli. Entah dimana titik kesalahanku kepada mereka, hingga sekedar menyapa
dan menawa bersama sekali pun enggan dilakukannya. Bersamaku. Ayolah, aku butuh
kalian sebagai tempat berteduh dari hantaman derita dalam hidupku. Aku memang
egois, tapi tak seharusnya kau menjauhiku karena itu, kau boleh menegurku
sekeras toa pemilu, kau boleh menyeret paksaku ke jalan kebenaranku. Aku hanya ingin menciptakan keluarga baru di
sini, dan itu hanya kalian yang ku pikir mampu. Lantas jika satu per satu
kalian semua melebur lalu mencampakkanku, bagaimana aku bisa mencipta kedamaian
diriku ??. Mengertilah !! bahwa
keberadaanku selalu ada untuk kalian butuhi. Toh meski usai itu kau memudar
hilang menjauh. Dibilang dewasa memang aku bukan, di sini aku mengaharap
tuntunan dari tangan-tangan kalian, untuk itu, jangan kau genggam tangan kalian
untuk batu lalu kau lemparkan ke arahku. Aku butuh kalian bukan karena apa-apa,
tapi dengan kalian ku harap bisa menghapus coretan hitam yang mengotori
pikiranku. Namun jika kalian benar-benar tak ingin terusik oleh kehadiranku,
baiklah aku tak apa. Tapi aku mohon, berilah alasan atas dasar kebencianmu
kepadaku. Jangan sepintas menghilang lalu menebar ketidakbenaran dari satu
sarang ke sarang yang lain. Aku benci orang semacam itu. Kritikan dan hujatan
tak akan memancing amarahku selama itu nyata dan ada padaku. Untuk itu pergilah
!! namun tinggalkanlah surat yang berisi musababmu menjauhi diriku. Jika kau
telah jauh menyusuri duniamu dengan orang-orang baru lantas kau bosan dengan
itu, datanglah !! tapi ku mohon bersikaplah seperti tamu, agar aku tak salah
menyuguhkan madu atau empedu untuk orang yang telah melumpuri hidupku.
Kembali ke dua pilihan yang masih
mendera batinku. Sebenarnya aku tak benci dengan masalah, tapi tandangannya
yang tak tau masa dan suasana lah yang mem uagku tercekik. Toh sebenarnya
dengan adanya masalah, aku dilatih untuk selalu sigap dan cermat menuntaskan
problema lain yang juga tak sungkan memelukkiku. Justru insan yang tak pernah
didatanginya akan mudah mati kutu jika mendapati matahari tak lagi menyeduh dan
jutaan mata air membuntu. Menggigit jari dan menjerit lirih lah yang pertama
kali mereka lakui. Hahaha dasar lemah, orang-orang manja pengabdi kepuasan
keluarganya.
Selanjutnya terkait kebencianku dengan
kebahagiaan, yakni aku muak dengannya yang mendadak ada namun sekejap tiada.
Bukan hanya itu, ketiadaannya selalu membekasi penyesalan yang akan mengundang
permasalahan akibat ulah lalaiku. Aku sering kehilangan kemudi saat menunggangi
kebahagian hingga aku terperosok ke dalam lembah kekesalan. Baiklah, mungkin
kalian bingung dengan kalimatku hingga masih belum muncul pemahaman maksudku.
Jadi seperti ini, jika aku mendapat sebuah kebahagiaan semacam ketiban duren,
lantas mendadak banyak uang hingga bisa pergi sana sini dan membeli itu ini.
Nah, saat aku benar-benar kepayang dan terbuai dengan kebahagiaan itu, sering aku
melalai terhadap keadaanku usai itu. Ibarat disanjung setinggi pelangi lantas
dijatuhkan ke dasar bumi. Tapi jika ku manfaatkan kebahagiaanku dengan
perbuatan yang menuntut malaikat untuk mencatat predikat bak orang berzakat,
buatku, mengapa tidak, toh juga tak ada kerugian di dalamnya. Sudahlah, sampai
di sini aku berkoar tentang kepiluan yang selalu mencakar. Ku harap orang-orang
yang ku tujui dengan tulisan ini akan berani membuka diri dan membentangkan
sayapnya untuk melindungi dan lebih perduli terhadap umat. Terimakasih, jumpa
lagi...
Dariku,.
Untukmu
peranum senyumku,.
Pondok Pesantren Darun Nun Malang
0 komentar:
Posting Komentar