Oleh: Nurmiati Habib
Pendahuluan
Zakat merupakan salah satu ketetapan Allah dalam penggunaan harta
Allah menjadikan harta benda sebagai sarana kehidupan umat manusia seluruhnya,
dan karena itu harus diarahkan guna kepentingan bersama. Seseorang yang telah
memenuhi syarat-syaratnya berkewajiban untuk menunaikan zakatnya. Begitu
pentingnya ibadah zakat, sehingga ditetapkan sanksi-sanksi terhadap orang yang
enggan menunaikan zakat. Zakat juga sangat penting artinya bagi peningkatan
kehidupan ekonomi umat dan kesejahteraannya. Dalam tatanan praktis, terdapat
banyak masalah yang masih diperdebatkan khususnya komoditas apa saja yang harus
dizakati. Salah satu persoalan yang dijadikan perdebatan para ulama sampai saat
ini adalah zakat atas madu. Selama ini belum ada diktum yang kongkret, apakah
madu termasuk harta yang wajib dikeluarkan zakatnya atau tidak?. Berpijak dari
latar belakang masalah tersebut sangat perlu kiranya melakukan penulisan tentang zakat madu dengan menelaah secara
komparatif antara pemikiran hukum Imam Abu Hanifah dan Imam al-Syafi’i tentang
dasar dan alasan yang dikemukakan oleh keduanya.
1.
Biografi Imam al-Syafi’i
Imam al-Syafi‟i dilahirkan
di Ghuzzah (Gazah) nama suatu kampung termasuk daerah Palestina – Syam – wilayah
Asqalan, pada bulan Rajab tahun 150 H. Bersamaan dengan wafatnya Imam Abu
Hanifah. Kemudian beliau dibawa ibunya ke Mekah dan dibesarkan disana. Imam
al-Syafi‟I wafat di Mesir pada tahun 204 H (819 M). Nama lengkap Imam
al-Syafi‟i adalah Abu Abdillah Muhammad ibn Idris ibn Abbas ibn Syafi‟i ibn
Sa‟ib ibn Ubaid ibn Yazid ibn Hasyim ibn Abd. Al-Muthallib ibn Abd al-Manaf ibn
Qushay al-Quraisyi. Adapun nasab Imam al-Syafi‟i bin Fathimah binti Abdullah
Ibn Hasan ibn Husen ibn Ali ibn Abi Thalib. Dengan demikian, maka ibu Imam
al-Syafi‟i adalah cucu dari Sayyidina Ali ibn Abi Thalib, menantu Nabi Muhammad
SAW, dan khalifah keempat yang terkenal. Ketika ayah dan ibu Imam al-Syafi’i
pergi ke Syam dalam suatu urusan, lahirlah Syafi’i di Gazah, atau Asqalan.
Ketika ayahnya meninggal, ia masih kecil. Ketika baru berusia dua tahun, Syafi’i
kecil dibawa ibunya ke Mekah. Ia dibesarkan ibunya dalam keadaan fakir. Dalam asuhan ibunya ia dibekali pendidikan,
sehingga pada umur 7 tahun sudah dapat menghafal al-Qur’an. Ia mempelajari
al-Qur’an pada Ismail ibn Qastantin, qari kota Mekah (Munawar Chalil, 1996,
h.149).
2. Pola Pemikiran Imam al-Syafi’i
Aliran Imam al-Syafi’i sama dengan Imam Madzhab
lainnya dari Imam-imam madzhab empat: Abu Hanifah, Malik bin Anas dan Ahmad ibn
Hanbal adalah termasuk golongan ahlu-Sunnah wa al-jama’ah. Ahlu Sunnah wa al
Jama’ah dalam bidang furu, terbagi kepada dua aliran, yaitu aliran ahl al-hadis
dan aliran ahl al-Ra’yi. Imam al-Syafi‟i termasuk ahl al-hadis. Imam al-Syafi’i
sebagai imam Rihal fi Thalab al-Fiqh, pernah pergi ke Hijaz untuk menuntut ilmu
kepada Imam Malik dan pergi ke Irak untuk menuntut ilmu kepada Muhammad ibn
Hasan, salah seorang murid Imam Abu Hanifah. Di samping itu, pengetahuan Imam
al-Syafi’i tentang masalah sosial kemasyarakatan sangat luas. Menurut Imam
al-Syafi’i, apabila suatu hadis sudah sahih sanadnya dan muttasil (bersambung
sanadnya) kepada Nabi SAW, maka sudah wajib diamalkan tanpa harus dikaitkan
dengan amalan ahl al-Madinah sebagaimana yang disyaratkan Imam Malik dan tidak pula perlu ditentukan
syarat terlalu banyak dalam penerimaan hadis. Karena itu, Imam al-Syafi’i
dijuluki sebagai Nasir al-Sunnah (penolong Sunnah). Imam al-Syafi’i mempunyai
dua pandangan yang terkenal dengan qaul al-qadim dan qaul al-jadid. Qaul qaim terdapat dalam
kitabnya yang bernama al-Hujjah, yang dicetuskan di Irak. Qaul jadidnya terdapat dalam kitabnya yang bernama al-Umm, yang dicetuskan di Mesir
(Huzaemah Tahido Yanggo, 1999, h.125).
Mengenai
dasar-dasar hukum yang digunakan oleh Imam
al-Syafi’i sebagai acuan pendapatnya tercantum dalam al-Risalah sebagai
berikut (M. Ali Hasan, 1996, h.212):
a.
Al-Qur’an, beliau mengambil dengan makna yang lahir kecuali jika
dijumpai alas an yang menunjukkan bukan
arti yang lahir itu, yang harus dipakai atau dituruti.
b.
Al-Sunnah, beliau mengambil Sunnah tidaklah mewajibkan yang
mutawatir saja, melainkan yang ahad pun diambil dan dipergunakan pula untuk
menjadi dalil, asal telah mencukupi syarat-syaratnya, yakni selama perawi hadis
itu orang kepercayaan, kuat ingatan dan bersambung langsung sampai kepada Nabi
SAW.
c.
Ijma’ dalam arti, bahwa para sahabat semuanya telah sepakat, di
samping itu beliau berpendapat dan meyakini, bahwa kemungkinan ijma’ dan
kesamaan paham bagi semua ulama, tidak mungiin karena tempatnya berjauhan dan
sulit bekomunikasi. Imam al-Syafi’i mendahulukan hadis ahad daripada ijma’ yang
berdasarkan ijtithad, kecuali kalau ada keterangan bahwa ijma’ itu berdasarkan
naql dan diriwayatkan dari orang banyak sehingga sampai kepada Rasulullah.
d.
Qiyas, Imam al-Syafi’i
menggunakan qiyas apabila dalam ketiga dasar hukum di atas tidak tercantum,
juga dalam keadaan memaksa. Hukum qiyas yang terpaksa dijadikan dasar hanya
mengenai keduniaan atau muamalah, karena segala sesuatu yang berhubungan dengan
urusan ibadah telah cukup sempurna dari al-Qur’an dan as-Sunnah Rasulullah. Untuk itu beliau
dengan tegas berkata: “Tidak ada qiyas dalam hukum Ibadah”. Beliau tidak
tergesah-gesah menjauhkan hukum secara qiyas sebelum lebih dalam menyelidiki
tentang dapat atau tidaknya hukum itu digunakan.
e.
Istidlal (Istishab), Imam al-Syafi’I menggunakan jalan istidlal
dengan mencari alasan atas kaidah-kaidah agama ahli kitan yang terang-terangan
tidak dihapus oleh al-Qur‟an. Beliau tidak sekali-kali menggunakan pendapat
atau buah pikiran manusia. Selanjutnya beliau tidak mengambil hukum dengan cara
Istihsan. Imam al-Syafi‟i berpendapat mengenai Istihsan sebagai berikut:‟
Barangsiapa menetapkan hukum dengan Istihsan berarti ia membuat syari’at
sendiri”.
3. Zakat Madu menurut Imam al-Syafi’i
Imam
al-Syafi’i memiliki argumen yang beda dengan Imam Hanafi. Beliau berpendapat bahwa
madu adalah jenis harta yang tidak dapat dijadikan sebagai objek zakat dan ia
lebih setuju agar tidak dipungut dari zakat madu, karena mengenai barang-barang
yang dipungut zakatnya harus ada keterangan-keterangan yang kuat baik berupa
sunnah maupun atsar (Sayyid Sabiq, 1997, h.61).
Menurut
Ibn Mundzir, bahwa diwajibkannya zakat pada madu tidaklah ada berita yang jelas
dan sah, tidak pula ada ijma’, maka tidak wajib dizakati, dan ini merupakan
pendapat jumhur. Sebenarnya tentang wajib zakat madu, pada awalnya menurut Imam
al-Syafi’i dalam qaul qadimnya, bahwa mewajibkan madu untuk dikeluarkan
zakatnya yaitu sebesar 10%, karena Bani Syahabah menunaikan zakat madu kepada
Nabi Muhammad SAW sebesar 10 % dari madu yang dimilikinya. Sedang dalam qaul
jadidnya, bahwa Imam Syafi’i berpendapat sebaliknya, yaitu madu tidak wajib
dizakati, karena ia tidak termasuk makanan pokok dan madu sepadan dengan
sayur-mayur (yang tidak wajib dizakati). Dari pendapat Imam al-Syafi’i tentang
zakat madu dalam qaul qadimnya tidak sama dengan qaul jadidnya. Dalam qaul
qadimnya tentang zakat madu, maka Imam al-Syafi’i menjadikan hadis (aqrir)
sebagai argument, sedangkan dalam qaul jadidnya, Imam al-Syafi’i tidak
menjadikan hadis sebagai argument, akan tetapi beliau menggunakan ra’yu sebagai
argument.(Jaih Mubarok, h.186).
Pendapat Imam al-Syafi’i tersebut di atas
diambil dari sumber hadis Nabi SAW riwayat al-Tirmidhi:
عن نا فع قال سألنى عمر بن عبد العزيز عن صدقة العسل قال قلت: ما
عندنا عسل نتصدق منه ولكن أخبرنا المغيرة ابن حكيم أنه قفل: ليس فى
العسل صدقة. الترمذى
“Dari
Nafi‟ berkata: Umar bin Abdul Aziz telah bertanya kepadaku tentang zakat madu,
kemudian saya berkata: kami tidak mengeluarkan zakat dari madu. Bahkan Mughirah
Ibn Hakim berkata: bahwasanya Nabi SAW bersabda: Tidaklah di dalam madu itu ada
kewajiban zakat”.
4. Pemikiran Hukum Imam al-Syafi’i tentang
Zakat Madu
Memperhatikan
hadis di atas bahwasanya Imam al-Syafi‟i dalam beristinbat hukumnya menggunakan
metode qiyas, beliau menganalogikan madu dengan susu hewan, karena madu dan
susu menurut ijma‟ tidak dikenakan zakat. Selain menyerupai dengan susu, beliau
juga menyerupakan madu dengan sutra (ibrisim). Memperhatikan apa yang
disampaikan Imam al-Syafi‟i bahwa madu tidak wajib dizakati berdasarkan pada
qiyas dan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidhi (Burhanuddin Abi al-Hasan
al Rasidani, vol.1, h.8)
Penutup
Menurut
Imam al-Syafi‟i Sebenarnya tentang wajib zakat madu, pada awalnya dalam qaul qadimnya, bahwa mewajibkan madu
untuk dikeluarkan zakatnya yaitu sebesar 10% (sepersepuluh), sedangkan pada
qaul jadidnya madu tidak wajib dizakati. Selanjutnya, Imam al-Syafi‟i dalam kondisi apapun baik madu itu mengalami
masa panen atau madu itu ada di tanah Usyriyah menurut beliau mengeluarkan
zakat madu tidak wajib.
0 komentar:
Posting Komentar