Oleh
: Muhammad AnisFuadi
Malam yang masih semangat tergambar kandari raut muka para santri yang berkumpul di masjid
hari itu.
Ditemani semilir angin kipas pada tiap sudut masjid, sinyal ngantuk dari para
santri sama sekali tak didapati dalam duduk mereka yang menunjukkan rasa
antusias besar terhadap suatu hal. Padahal, taklim rutin di
malam itu telah usai mereka jalani.
Mereka berkumpul sebagai sarana untuk menyatukan visi dalam agenda
mereka menyambut kelahiran Sang Baginda Nabi akhir zaman.
Aku sebagai salah satu santri pondok itu,
ikut merasakan kejadian malam itu. Segarnya air dalam gelas plastik di pojok masjid,
nampak cocok bagiku untuk menemani hangat nya malam. Seteguk demi seteguk air
itu perlahan habis kuminum di masjid itu juga, menyisakan sampah gelas plastik di
tangan kananku. Kutengok kekanan kekiri tak kutemui tong
sampah untuk membuang sampah plastik itu. Kuputuskan kubawa saja gelas plastic
itu selama perkumpulan.
Tak terasa ketua pondok dengan tiba-tiba mengakhiri perkumpulan malam itu
yang sebenarnya belum menghasilkan keputusan bulat. Namun, memang tidak sepantasnya berkumpul
para santriwan-santriwati hingga larut malam di sebuah masjid.
Dengan segera kutinggalkan masjid itu dan kuraih sandalku di antara banyak sandal
yang agak berantakan di pelataran masjid.
Ada sekitar 5
santri menemaniku berjalan kembali dari masjid menuju pondok yang jaraknya tidak begitu jauh.
Namun kondisi jalanan dari masjid menuju pondok memang minim penerangan.
Gelap nya malam mempertegas karakter jalanan itu yang tiap malamnya terasa
mencekam. Ditambah lagi serumpunan bambu di ujung jalan menambah kesan misteri
jalanan. Dibawah serumpunan bambu itu, tertulis "Gang An-Nisa". Saya
berasumsi bahwa itu adalah nama jalananmisterius itu.
Sampai di tengah jalan, belum saja kutemui tempat yang cocok
untuk membuang sampah gelas yang kubawa. Aku yang berada di barisan paling
belakang dari kelima santri yang pulang, sedikit melakukan hal usil yang
menurutku masih wajar. Sampah gelas yang kubawa,kuletakkan di jalan dengan
posisi terbalik. Dilanjutkan kakiku yang menginjak keras sampah gelas terbalik
itu. Duarrrrr me..!!! Seketika itu gelas plastik yang kuinjak,meletus memecah
heningnya malam jalanan yang kanan kirinya adalah sawah yang lapang.
Sontak semua santri di depanku kaget seraya menolehkan
wajahnya ke arahku. Anehnya, tiba-tiba jatuh sekelopak bunga dari arah atas
para santri yang tak tau darimana asalnya. Padahal disitu hanya terdapat pohon
kering yang daunnya jarang-jarang. Semua kompak menyatakan bahwa tidak mungkin
jatuh bunga dari pohon tersebut. Kulihat lagi pohon itu dan memang benar tidak
ada bunga dari pohon itu.Selanjutnya, ingin hati untuk memastikan memungut
kembali sekelopak bunga yang jatuh tadi. Namun, suasana mencekam membuatku
mengurungkan niatan itu sehingga entah bunga yang jatuh itu benar-benar ada
atau menghilang begitu saja.
Tidak hanya sampai disitu, secara kompak rombongan kami
mencium bau wangi melati yang sangat tajam. Jelas-jelas tidak ada sama sekali
bunga melati di sepanjang jalan (gang) an-Nisa. Menyengatnya harum melati itu
langsung membuat kelima santri lari meninggalkanku. Rasa takut memang ada,
namun kuusahakan diriku tetap tenang dengan terus berpikir positif. Aku hanya
menganggap bau wangi menyengat tersebut mungkin saja berasal dari bau gas
tubuhku. Meskipun aku sadar bahwa diriku ini untukmandi saja jarang-jarang.
Pondok Pesantren Darun Nun Malang
0 komentar:
Posting Komentar