Siti Fathimatuz Zahro
Sudah sejak semalam masjid-masjid menggema diba’ diiringi rebana.
Membuncahkan sanubari pertanda hari sakral Sang Panutan sudah tiba didepan
pintu masih sebagai tamu. Tinggal selangkah saja ia akan singgah di singgasana
agung pun kehadirannya disanjung. Nampan-nampan terisi penuh bak makanan sehat
5 sempurna. Potongan ayam, tahu, olahan mie, orak-arik telur, kerupuk, dan tatanan
buah-buahan sebagai bentuk kue ulang tahun pada Sang Panutan.
12 Rabiul Awal dalam penanggalan hijriyah merupakan suatu tanggal
agung dimana penyandang syafa’at miyos ing dalem dunyo. Dimana
pada kalanya seluruh penghuni langit turun menyaksikan dan para bidadari
berdandan elok menyambut. Sebegitu agungnya hingga menjelang kehadirannya semua
telah menunggu.
Penanggalan Jawa di bulan Mulud, setiap rumah akan berlomba
menyajikan hidangan terbaik sebagai bentuk rasa ta’dzim akan suatu keagungan.
Peringatan akan digelar disetiap rumah dan akan bergilir dari satu rumah ke
rumah yang lain. Sajian bersusun yang didasari dengan nasi putih disusul dengan
lauk pauk komplit tanpa tempe dan disusunan teratas ada buah-buahan segar yang
diletakkan dengan alas piring atau lainnya. Sungguh komplit bukan?
Bukan tanpa makna model penyajian hidangan tersebut. Menurut mitos
Jawa hal itu disebut dengan istilah ngguwak ajang yang artinya membuang
wadah. Setibanya hitungan Jawa yang pas dengan penanggalan hijriyah 12 Rabiul
Awal, dimana setiap perabot rumah tangga khususnya yang digunakan dalam urusan
tatanan makanan dan minuman akan dicuci bersih sebagai salah satu bentuk
penyambutan datangnya bulan kelahiran Rasul. Tatanan makanan tersebut akan
dihidangkan sejumlah banyaknya tamu hajatan yang nantinya akan dibawa seusai
hajatan beserta wadahnya. Menurut mitos Jawa, peralatan yang digunakan
merupakan peralatan yang didapat dari hasil yang halal dan sebelumnya telah
dicuci bersih. Biasanya akan dicuci di mata air sungai yang terletak di
pemukiman tersebut. Pada hajatan biasanya, makanan memang akan dihidangkan
diatas piring atau wadah lainnya namun wadahnya tidak dibawa pulang. Hanya
diambil makanannya saja. Namun pada tradisi Maulid Nabi ini wadah tersebut akan
dibawa pulang. Menurut tradisi aslinya alas yang digunakan adalah cobek namun
seiring berjalannya waktu mulai tergeser dengan menggunakan piring atau alas
apapun.
Olahan kedelai seperti umumnya yakni tahu dan tempe bak sepasang
sejoli tak terpisahkan namun pada adat kali ini mereka harus dipisah. Tidak
akan disandingkan seperti biasanya. Bahkan ketiadaanya diharuskan. Mengapa?
Menurut tokoh masyarakat dengan tradisi Jawa kentalnya yang sempat
diwawancarai, menurut cerita turun temurun, dahulu kala ada seorang perempuan
dalam menyiapkan makanan pada hari kelahiran Baginda Nabi Muhammad SAW ia pergi
ke sungai guna mencuci kedelai yang nantinya akan diolah menjadi suguhan
makanan, yakni tempe. Ia mencuci kedelai tersebut menggunakan ulasan kaki dan
kebetulan perempuan tersebut sedang menstruasi. Tanpa dinyana ternyata darah
menstruasi tersebut mengalir dan mengenai kedelai tersebut dan kebetulan juga
ada seorang lelaki yang lewat dan tanpa sengaja melihat. Akhirnya sejak saat
itu lauk pauk tempe tidak akan pernah disajikan dalam hidangan memperingati
hari kelahiran Nabi SAW.
Lain ladang lain belalang. Lain lubuk lain pula ikannya.
Percaya atau tidak itu adalah sebuah mitos yang adanya diakui oleh
masyarakat sekitar. Tradisi Jawa selalu penuh tanda tanya yang terkadang sulit
dijelaskan secara nyata namun nyata adanya.
Latar cerita ini merupakan hasil suatu wawancara dengan salah satu
masyarakat sepuh Dusun Gasek, Malang yang masih menyimpan cerita turun
temurun sejak zaman kolonial Jepang-Belanda hingga sekarang secara komplit dengan
segala bentuk hitungan Jawa.
Pondok Pesantren Darun Nun Malang
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus