Oleh: Nurmiati Habib
“Ono bu Dokter, ono bu Dokter”
Itulah kata-kata yang kudengar siang ini ketika pertama kali
menginjakkan kaki di sudut pintu rumah
keluarga yang hidup di tengah kota penuh keindahan. Rumah ini terletak
di salah satu pemukiman yang memiliki corak keindahan dan kekayaan budaya
dengan begitu kentalnya menjadikan tempat ini menjadi salah satu tempat yang
ramai untuk wisata. Menampilkan keadaan kota Malang jaman dulu yang menjadikan
keunikan para wisatawan untuk berkunjung kesana. Deretan rumah dengan ornamen
dan ukiran yang sangat menarik, paduan seni dan warna memunculkan keindahan
tersendiri. Itulah keadaan yang kulihat saat itu. Menyusuri jalan setapak yang dipenuhi rumah
di sekeliling kanan dan kiri. Aku menghela napas sejenak melihat hal keadaan
sekitar. Tertuju pada satu titik rumah dengan angka yang telah kusiapkan
sebelumnya.
Satu dua tiga rumah kuhampiri, namun tak kunjung bertemu pemiliknya. Kuberjalan
kembali karena motor terpaksa harus terhenti di satu titik tempat parkir. Memasuki
gang demi gang sempit dan bertanya kepada siapapun yang kutemui. Akhirnya
setelah beberapa saat memperhatikan rangkaian nomor yang menunjukan identitas rumah dan bertemu
wanita parubaya yang ternyata pemilik rumah yang kucari sedari tadi.
“Mau ketemu siapa mbak, rumah nomer berapa”
tanyanya
“Niki bu rumah nomer 325,” sahutku
“Oalah itu rumah saya mbak, silahkan masuk”
Setelah
berbincang sejenak di depan rumah, kuputuskan untuk masuk kedalam rumah itu
sembari menceritakan tujuanku kesana. Kuucapkan salam sebagai penanda memasuki
rumah tersebut dan kulipatkan kaki
menuju menempati alas yang sudah tertata di ruang tamu. Ruangan berukuran kecil
dan udara panas saat itu menjadi saksi nyata kehidupan keluarga ini. Memulai
pembicaraan dengan tujuan awal kesana, dan mendengarkan cerita keseharian
keluarga Ibu marwati yang harus menjual semua perabotan rumah untuk memenuhi
kebutuhannya. Aku termenung ketika melihat lembaran kertas yang berisi tagihan
utang dengan begitu banyaknya. Dan lemari yang seharusnya berisi pakaianpun
hanya terlihat beberapa helai saja. Dapur yang seharusnya berisi makanan nampak
tak terlihat sedikitpun dan hanya berisi kompor gas yang tiada elpiji karena
sudah di gadaikan untuk menyambung biaya hidup. Aku terdiam melihat keadaan ini
semua seraya bergumam dalam hati “Ya Allah, kuatkan keluarga ini dalam
menjalani hidup, tanamkan senyum dipipi mereka, ringankan bebannya dan maafkan
aku yang selama ini kurang bersyukur atas nikmat-Mu”
Pikiranku saat itu tersentak ketika mendengar jeritan orang dari dalam
kamar, mengigau tak karuan berbicara sendiri kesana kemari. Menghampiri kami
dan menatapku seraya berkata “Loo ono bu Dokter, Aku wes sehat Bu”. Senyum
kecil ku menanggapinya. Diapun kembali ke kamar. Ooo ternyata ini suara yang
kudengar tadi ketika pertama kali memasuki rumah ini.
Lelaki
dewasa yang menderita gangguan jiwa karena kehilangan kedua orang tuanya disaat
belum mapan baik secara fisik maupun mental. Sudah pernah dirawat dirumah sakit
jiwa namun tak kunjung menunjukan perubahan dan karena kekurangan biaya
akhirnya dibawa kembali ke rumah. Setiap harinya hanya ingin mengkonsumsi
kepala ayam tanpa dimasak dan masih
terlihat darahnya, tanpa nasi ataupun yang lainnya. Jika tidak dituruti akan
membuat onar di rumah maupun lingkungan sekitar yang mereka tempati. Masyarakat
lingkungan tersebutpun sudah tidak asing lagi dengan keadaan yang ada.
Alhamdulillahnya ada warga yang berinisiatif untuk memeriksakannya baik di
rumah sakit atau lainnya.
Yaah inilah sekelumit kisah yang kutemui hari ini. Banyak banget
pelajaran yang bisa kuambil dari keluarga tersebut. Mencari celah untuk tetap
kuat di setiap keadaan yang ada dan bersyukur atas nikmat yang Allah berikan.
Berbagi kisah ke sesama dengan tujuan yang mulia. Mugi Barokah dan bermanfaat.
Pondok Pesantren Darunnun Malang
0 komentar:
Posting Komentar