Oleh:
Muflikhah Ulya
Seusai kegiatan ta’lim, santri Pondok Pesantren Putra Putri Darun
Nun melakukan rapat koordinasi mengenai kegiatan maulid nabi yang akan
diselenggarakan dalam beberapa hari lagi. Seperti biasa rapat itu berlangsung
sangat lama, karena memang ada beberapa hal yang harus didiskusikan, mulai dari
konsumsi, akomodasi hingga susunan acara.
Setelah banyak melakukan diskusi dengan beberapa perdebatan,
akhirnya rapat koordinasi itu selesai tepat pada pukul 23.30 WIB. Para santri
sibuk merapikan barang mereka dan bergegas kembali ke pondok pesantren. Begitu
juga aku, melangkahkan kaki dengan mata yang sudah mulai tertutup. Dan
tiba-tiba, pengihatanku mulai kabur, beberapa keringat mulai bercucuran. Aku
mulai merasa ada hal yang sedang tidak baik, seperti ada yang sedang tertusuk
pisau. Seketika aku duduk terdiam, lalu beberapa tetes air mulai jatuh
membasahi pipi. Rasa sakit yang mampu membuat lidahku keluh tak dapat bergerak
sedikitpun.
Rasa sakit itu membawaku kembali membuka memori yang tersimpan rapi
sejak beberapa tahun lalu. Dimana aku harus tinggal di sebuah kamar, dengan
sebuah jarum yang menusuk tangan, juga beberapa obat yang menjadi teman makan.
Beberapa peraturan memaksaku menjadi kembang bayang dalam beberapa bulan.
Setiap hari aku bertemu orang dengan setelan kemeja dan jas putih, juga
stetoskop yang selalu tergantung rapi di lehernya. Terkadang dia juga membawa
beberapa alat yang seringkali membuat rasa takutku tak terkendalkan. Orang itu
selalu tersenyum manis meskipun aku memarahinya, mengusirnya dan selalu
menyalahkan setiap tindakan yang dilakukannya. Menurutku orang itu terlalu
sabar menangani seorang pasien dengan perilaku yang sangat kekanak-kanakan
sepertiku,
Namun lama kelamaan, hatiku mulai luluh, aku tersentuh dengan
segala perhatian dan hangatnya sikap yang dia berikan. Perlahan aku mulai
menuruti dan melakukan semua hal yang diperintahkannya, bahkan dia sudah
kuanggap sebagai ayah kedua bagiku. Sejak saat itu, nikmat sehat muali
dikembalikan padaku. Mengucap banyak syukur adalah ibadahku kala itu.
Tiba-tiba, seseorang memanggil namaku, menyadarkanku bahwa hal itu
hanya sebuah memori yang tersimpan rapi. Lalu aku mulai bangkit, melangkahkan
kaki perlahan dengan beberapa sisa kekuatan. Menuju sebuah tempat dengan kasur
yang siap menjadi tempat tubuh direbahkan. Aku mulai menutup mata dengan rasa
sakit yang tetap terasa. Sembari kubuka kembali pelajaran yang telah tuhan
berikan.
“kesehatan memang sebuah kenikamatan yang telah diberikan tuhan.
Namun, tidak sepatutnya seseorang merasa aman dalam menjaganya.”
Aku terlelap dengan hati yang tak henti mengutuki diri sendiri
karena tak mampu menjaga suatu hal yang telah diberi.
Pondok Pesantren Darun Nun Malang
0 komentar:
Posting Komentar