Oleh Siti Rahmatillah Abu Bakar
Sang Bapak proklamator Ir. Soekarno mengatakan
dalam pidatonya “berilah aku sepuluh pemuda, maka akan aku guncangkan dunia”.
Jika kita cermati apa yang diucapkan oleh Ir.-Soekarno di hadapan para pemuda Batavia
saat itu bukanlah sesuatu yang main-main. Dapat kita pahami sejatinya pemuda
itu merupakan agent of change. Pemuda dapat dikatakan sebagai pilar
negara, seyogyanya baik buruknya suatu negara tergantung dari kiprah pemuda,
perannya sangat penting terhadap pembangunan dan peradaban suatu negara.
Menolak lupa bahwa lahirnya reformasi terhadap
kepemimpinan Pak Soeharto presiden ke dua Indonesia diawali oleh pergerakan
pemuda, peristiwa ini dikenal dengan tragedi Mei 1998. Lahirnya pergerakan
reformasi tersebut dilatar belakangi oleh beberapa hal diantarnya; krisis
politik, krisis ekonomi, krisis hukum, krisis sosial, dan krisis kepercayaan terhadap
pemerintahan.
Berbagai krisis tersebut masing-masing
mempunyai problematika tersendiri. Dari segi politik terdapat permasalahan
sistem nepotisme dan juga tidak terjadi penyelenggaraan negara secara
transparan dan aspirasi masyarakat tidak tersalurkan dengan baik, krisis
ekonomi terdapat problematika krisis moneter dan terjadi penyimpangan serta
penguasaan bidang perekonomian secara monopoli, oligopoli, korupsi, dan kolusi.
Krisis hukum terdapat penempatan hukum atau implementasi hukum yang tidak
direalisasikan sebagaiama esensi hukum itu sendiri, krisis sosial menuai
kecemburuan sosial yang di mana terdapat pembagian kasta yaitu kaum elit dan
rakyat kecil. Kaum elit itu sendiri merupakan kaum elit politik dan para
pengusaha keturunan tionghoa yang mempunyai relasi dengan pemerintahan orde
baru atau keluarga cendana sedangkan rakyat kecil itu merupakan masyarakat
biasa yang bukan bagian dari keluarga cendana. Sehingga pada puncaknya
terjadilah kurang kepercayaan oleh sebagian besar masyarakatnya. Kemudian hal
ini melahirkan gesekan secara vertikal dan masyarakat menuntut agar
pemerintah Orde Baru turun. Dan tepatnya tanggal 21 Mei 1998 Presiden NKRI yang
ke dua mengundurkan diri dari jabatannya dan digantikan oleh Pak Prof. Dr. Ing.
H. Bacharuddin Jusuf Habibie.[1]
Peristiwa tersebut merupakan salah satu realita
bahwa pemuda itu merupakan aset yang paling penting terhadap peradaban bangsa.
Kita perlu menyadari dan merenungi bahwa kekuatan akan persatuan pemuda mampu
mencentuskan pergerakan dan perubahan terhadap bangsa. [2]Sejarah
mencatat peristiwa 28 Oktober 1928 merupakan puncak persatuan dan lahirnya
sumpah pemuda. Pada saat itu para pemuda bersatu mengeluarkan ide atau gagasannya
untuk melahirkan indonesia merdeka. Ada dua gagasan yang dinarasikan pada saai
itu, diantaranya:
1. para pemuda indonesia bersatu untuk melahirkan
indonesia merdeka dari penjajahan
2. organisasi
kepemudaan di seluruh indonesia bertujuan untuk menggalang persatuan demi
meraih
cita-cita kemerdekaan.
Perjuangan mereka tidak pernah berhenti walau
satu langkah. Nyawa pun jadi taruhannya, menumpahkan darah untuk meraih
kemerdekaan dan pantang menyerah sebelum teks proklamasi di proklamatorkan dan
bendera sang saka merah putih dikibarkan. [3]Dan
tibalah peristiwa detik-detik kemerdekan, peristiwa rengasdengklok menjadi
peristiwa strategi akhir dari para pemuda yaitu mendesak Bung Karno dan Moh.
Hatta untuk mempercepat memproklamirkan teks proklamasi kemerdekaan. Hal ini
dilakukan agar Bung Karno dan Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh jepang dan
proses pembacaan teks proklamasikan tidak dilakukan melalui PPKI yang merupakan
badan pembuatan jepang dan menganggap bahwa kemerdekaan itu merupakan pemberian
dari jepang dan bukan merupakan hasil perjuangan rakyat indonesia. Peristiwa
ini berlangsung pada tanggal 16 Agustus 1945 pukul 03.00 WIB. Keesokan harinya,
tepatnya pada tanggal 17 Agustus 1945 proklamasi kemerdekaan Indonesia resmi diproklamirkan.
Namun dewasa ini banyak ditemukan bahwa penilaian terhadap pemuda hari ini lebih
cenderung ke hal negatif dan dikatakannya pasif seperti memiliki sifat
apatis,praktis,dan pesimis. Ketiga sifat tersebut merupakan tantangan bagi
pemuda masa kini. Lalu bagaimana solusi untuk mengatasinya? Caranya sederhana,
kita pahami kondisi sekitar, kita ketahui bahwa bangsa ini merupakan bangsa
yang heterogen, perlu adanya upaya untuk menanamkan sikap toleransi dan hindari
sikap entnosentrisme.
Sekarang kita berada di era revolusi industri 4.0 yang di mana sistemnya bukan lagi berbasis internet of
people dan internet of things. Dan untuk
mengahapi tantangan ini Indonesia harus lebih siap untuk memberikan asupan
terhadap generasi pemudanya. Menjadikannya sebagai generasi yang berketerampilan dan berilmu pengetahuan lewat
pendidikan, menyediakan atau mewadahi Masyarakatnya terhadap kemajuan ilmu
pengetahuan dan penggunaan sarana dan prasarana.
Berhentilah mengkritik tetapi hadirkan solusi,
berkontribusi sebagai penanda eksistensi hilangkan sifat pesimis. Sebab manusia
mempunyai potensinya masing-masing. Jika pemuda pendahulu meraih kemerdekaan
dan mencetuskan reformasi maka pemuda hari ini adalah melawan diri sendiri
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi industri melalui literasi.
“yuks generasi mari berintegrasi, tingkatkan literasi, raih prestasi,salam literasi”
0 komentar:
Posting Komentar