Oleh: Syahrul Alfitrah Miolo
A. Biografi, Riwayat Pendidikan, dan Kiprahnya dalam Dunia
Pendidikan
Farid Esack dilahirkan pada tahun 1959 di sebuah perkampungan kumuh
lagi miskin di Cape Town, Wynberg, Afrika Selatan. Esack termasuk seorang
intelektual yang mengalami masa kecil yang sulit dan pahit. Ia hidup dengan seorang
ibu yang ditinggal suaminya bersama enam orang anaknya di Wynberg. Ayahnya
meninggalkan keluarganya, yang mengharuskan Esack bersama saudara kandung dan
saudara seibu hidup terlunta-lunta di Bonteheuwel, kawasan pekerja miskin untuk
orang hitam dan kulit berwarna. Ibu Esack kemudian memerankan posisi ibu
sekaligus ayah yang harus mencari nafkah hidup bagi enam orang anak yang masih
kecil-kecil.
Penghasilan sang ibu sebagai buruh kecil tak cukup menghidupi
sebuah keluarga besar yang kemudian memaksa Esack dan saudara-saudaranya
mengais tempat-tempat sampah untuk mencari sisa-sisa makanan. Tak jarang pula,
mereka mengemis meminta belas kasihan orang. Meskipun demikian, Esack tak
menghentikan aktivitas menuntut ilmu.
Di tengah keterhimpitan hidup, Esack tetap rajin bersekolah meski
tanpa alas sepatu dan buku-buku yang memadai. Kondisi memilukan tersebut masih
harus ditambah dengan kejadian tragis dan traumatik, yang menggores luka
keluarga Esack, karena harus menyaksikan ibunya menjadi korban pemerkosaan. Di
tengah kesulitan yang mendera hebat, Esack masih sempat mengecap dan
menyelesaikan pendidikan pendidikan dasar dan menengahnya di Bonteheuwel,
Afrika Selatan. Pada waktu itu, ia memperoleh pendidikan berdasarkan pendidikan
nasional Kristen.
Dari berbagai informasi diperoleh data menarik di mana Esack sejak
usia 9 tahun telah menceburkan diri dalam aktivitas keagamaan secara intens. Ia
aktif di Jamaah Tabligh, sebuah organisasi keagamaan yang memiliki jaringan
internasional dan berpusat di Pakistan. Di dalam organisasi yang menekankan imitasi
ke masa awal Islam (salaf) inilah, Esack memahami makna persaudaraan
(brotherhood). Ia mengakui bahwa figur sang ayah yang tak ketahuan rimbanya
tergantikan dengan rekatnya hubungan persaudaraan antar-anggota Jamaah Tabligh.
Aktifitasnya di Jamaah Tabligh inilah yang membawanya menuntut ilmu
menuju Pakistan untuk meneruskan studinya di Jami‟ah Ulum al-Islamiyah. Di sini
Esack muda mendapat gelar Bachelor of Art (BA) dalam bidang hukum Islam. Kuliah
adalah peluang berharga untuk seorang anak miskin seperti Esack. Ia yang
beruntung mendapat kesempatan berharga menuntut ilmu di negeri Pakistan lantas
tak menyia-nyiakan peluang ketika ada celah untuk mendalami teologi di Jamiah
Alimiyyah al-Islamiah, Karachi. Di sinilah ia memperoleh gelar maulana yang
makin menambah gagah namanya.
Semakin lama persentuhan emosional dan teologis Esack dengan Jamaah
Tabligh makin meluntur seiring dengan makin melebarnya jurang pemisah dalam
banyak pemahaman agama. Latar belakangnya yang berasal dari keluarga muslim yang
menjadi minoritas menyadarkan Esack betapa tidak enaknya menjadi minoritas:
sering dilecehkan dan ditindas. Pada titik inilah, ia bisa merasakan kecemasan
kaum Hindhu dan Kristen yang minoritas di negeri Pakistan dan sering
mendapatkan diskriminasi sosial dan pelecehan agama. Pengalaman eksistensial sewaktu
kecil banyak berhutang budi kepada tetangga Kristen dan Yahudi, membuatnya
sadar bahwa persaudaraan universal lintas agama dapat digalang untuk
membebaskan kaum yang tertindas.
Akhirnya, jurang antara teologi konservatif yang masih melekat di
dalam dirinya dengan teologi praksis progresif semakin terang benderang. Esack
lantas menetapkan pilihan menanggalkan konservatisme. Ia makin sering mangkir
dari pertemuan-pertemuan rutin Jamaah Tabligh dan kerap mengikuti diskusi yang
diadakan Gerakan Pelajar Kristen (yang kemudian dinamai Breakthrough). Tokoh
kelompok tersebut yang paling inspirasional adalah Norman Wray yang menjadi
mitra Esack untuk memulai proyek kemanusiaan universal lintas agama. Esack mulai
mengajar studi Islam di sekolah yang dipimpin Wray. Tugas-tugas paramedis di
Penjara Pusat Karachi juga dikerjakan bersama serta terjun sebagai pengajar di
perkampungan kumuh Hindhu dan Kristen. Pengalaman eksistensial itulah yang
mengubah pandangan teologis Esack berusaha mengawinkan iman dan praksis di
Afrika Selatan.
Pengalaman di Pakistan menunjukkan adanya titik temu pandangan
seksis dan rasialis di mana Pakistan ia sering menemui penindasan terhadap
wanita, sementara Afrika Selatan sarat dengan sistem apartheid. Esack menempuh
studi di Pakistan tatkala Pakistan berada di bawah masa pemerintahan Ayub Khan dan
Zulfikar Ali Butto (1956-1977). Pada tanggal 5 Juli 1977, Jenderal Zia ul-Haq
yang berpandangan konservatif dalam pemikiran keagamaannya melakukan kudeta tak
berdarah.
Di tengah situasi yang penuh dengan kebijakan diskriminatif ini,
Farid Esack justru merasa betah dengan iklim akademis di Pakistan, dan oleh
karenanya, ia melanjutkan pendidikannya di Jami‟ah Abi Bakar Karachi dalam
bidang ulum al-Quran. Farid Esack malah merasa mendapatkan pengalaman berharga
serta dapat menarik pelajaran tidak hanya di bangku kuliah saja, tapi juga
secara langsung dari dua negeri yang menerapkan kebijakan diskriminatif.
Hal-hal inilah yang nantinya berguna bagi pematangan konstruksi epistemologis
pemikiran Esack yang mampu menubuhkan semangat teologis dan praksis melawan
penindasan.
Sembilan tahun Esack menghabiskan waktunya belajar teologi dan ulum
al-Qur‟an di Pakistan, ia kembali ke Afrika Selatan pada tahun 1982. Bersama
tiga sahabat karibnya, „Adli Jacobs, Ebrahim Rasool dan Shamiel Manie dari
University of Western Cape, Esack membentuk organisasi The Call of Islam pada
tahun 1984. Ia menjadi koordinator nasionalnya. Organisasi ini berafiliasi
kepada Front Demokrasi Bersatu (UDF), didirikan masyarakat lintas-agama tahun
1983 untuk menentang rezim apartheid.
Perlawanan terhadap rezim apartheid mencapai puncaknya pada dekade
1980-an. Sebagai komponen inti dari UDF, The Call of Islam memainkan peran
penting dalam menggalang solidaritas interreligius dan lintas agama untuk
mendobrak status quo. Di bawah naungan UDF, kaum Yahudi, Kristen dan Islam mentahbiskan
perlawanan kaum beriman terhadap penindasan dalam bentuk apapun.
Meskipun demikian, gerakan The Call Of Islam bukannya tanpa
hambatan. Kelompok-kelompok Islam konservatif seperti al-Qibla, MYM, MSA
melalui tabloid Majlis mengumandangkan kebencian dan penentangan terhadap
mereka yang bekerja sama dengan kaum Yahudi dan Kristen atas nama pluralisme.
Atas dasar penafsiran sempit terhadap al-Quran, tabloid tersebut tak henti-hentinya
mengecam The Call of Islam yang disebutnya telah melakukan kolaborasi dengan
kaum kafir. Namun demikian, The Call of Islam terus berkiprah untuk menelurkan
ambisi mewujudkan Islam Afsel yang tidak menafikan pluralitas masyarakat serta
berdasar pada “a search for an outside model of Islam” .
Farid Esack ternyata masih menyimpan semangat untuk belajar lagi.
Di tengah kecaman kaum konservatif Islam yang menuding Esack dan The Call of
Islam sebagai kolaborator kafir, Esack seringkali bersedih mengapa mereka
selalu mendasarkan diri pada al-Quran untuk menilai dengan prasangka negatif terhadap
non-Islam. Lebih ironis lagi, mereka mengecap kafir orang yang bekerjasama
dengan Yahudi dan Nasrani meskipun untuk mencapai tujuan mulia.
Hal inilah yang mendorong Esack untuk mempelajari al-Quran dan
Injil. Ia sangat penasaran mengapa kitab suci seringkali digunakan untuk
melegitimasi penindasan dan ekslusivisme dengan adanya penafsiran-penafsiran
sempit. Pada tahun 1989, ia meninggalkan negerinya lagi untuk belajar
hermeneutika al-Qur‟an di Inggris dan hermeneutika Injil di Jerman. Di Universitas
Theologische Hochschule, Frankfrut Am Main Jerman, Esack menekuni studi Bibel
selama satu tahun. Adapun di University of Birmingham di Inggris, Esack
memperoleh geral doktoralnya dalam kajian tafsir. (Pemikiran Farid Esack Tentang
Hermeneutika Kebebasan Al-Quran, Sudarman, Al-AdYaN, 2015: 85-89)
B. Karya-Karya
« Quran Liberation and Pluralism
« The Quran A User's Guide
« On Being A Muslim
« The Quran: A Beginnar Guide
« Whose Quran? A Concise Guide to
Progressive Islam
« HIV, AIDD, & Islam: Reflections
Based on Compassion, Responsibility, & Justice
« But Musa Went to Fir-aun! A
Compilation of Questions and Answers about the Role of Muslims in the South
African Struggle for Liberation
« The Struggle
« Coran, mode d'emploi
Pondok Pesantren Darun Nun Malang
0 komentar:
Posting Komentar