Oleh: Dyah Ayu Fitriana
Besok mbak
athifah lomba tartil dan tadi malam kita latihan sampai larut, sampai dia
tertidur bersamaku.
"Ayo
mbak latihan tartil."
"Gimana,
gimana mbak. Ayo wes coba mbak athifah baca taawud sama basmalah dengan
tartil."
Kemudian seperti biasa mbak athifah mulai
menyenandungkan al Quran dengan suara indahnya. Tahu kan gimana ekspresinya
kalau sedang tartil gitu. Merem-merem, menggerak gerakkan suaranya demi
mengikuti goyahan lagu, dan dengan suara yang bener dienak-enakin. Duh, gemess
bener.
"Gini
loh mbak cengkoknya yang belakang itu."
Kuberitahukan nada cengkok itu semudah yang
kubisa. Terbayang diriku dulu yang sedang belajar qiroah dengan terbata. Wajah
sabar bos dila kemudian tergambar, di pojok masjid ulul albab beliau mengeja
satu satu ayunan lagu sampai akhirnya aku bisa mengayunkannya dengan cepat.
"Berapa
mbak fitri ayunannya?" pertanyaan mbak athifah
membuyarkanku.
"Empat
mbak." lalu kubuatkan contoh.
Mbak athifah mengulangi lagi nada dan gerak
geriknya itu. Sesekali aku takjub karena dia bisa membuat ayunan ayunan indah
sendiri, mungkin karena seringnya ia mendengar murottal.
"Kalau
tartil itu mbak, nadanya atas-tengah-bawah atau naik-datar-turun." kataku dan langsung menjadi mantra yang ia pegang. Kuingat ingat
lagi entah darimana aku mendapatkan teori itu hehe. Seingatku ustad taufiq
pernah ngajari itu, dan satu dua hasil belajarku via youtube.
Pelan-pelan kita
melantunkan surat surat yang mudah, sekedar untuk belajar mengingat naik
turunnya nada. Setelah itu barulah kita mencoba ayat-ayat yang lebih panjang.
Dari sini sebuah masalah mulai terlihat. Entah kenapa masalah ini banyak sekali
kutemukan pada anak anak maupun orang dewasa. Enggan berhenti ditengah dan
mengulang, mereka lebih memilih untuk lanjut saja satu ayat walaupun nafas
ditengah ayat dengan tidak beraturan. Barangkali membaca cepat, mendapat ayat
yang banyak itu terasa lebih keren daripada sedikit sedikit berhenti. Padahal
kalau ingin aman ya sebaiknya berhenti mengambil nafas kemudian mengulangi.
"Mbak
Athifah belajar pernafasan perut ya sama mbak fitri. Biar panjang nafasnya.
Perutnya dipegang, belajar nafas diarahkan ke perut." kami kemudian belajar bersama. Ah jadi ingat masa pengabdian di UKM
Seni Religius dulu. Setiap minggu pagi ada olahraga bersama. Kami lari
mengitari gedung sport center, lalu berdiri membuat lingkaran besar. Mas Angger
pelatih kami lalu menghitung dengan lantang.
"Tarik
nafas dalam hitungan satu sampai empat, kemudian tahan dalam hitungan satu
sampai lima, dan hembuskan pelan-pelan dengan hitungan satu sampai empat." sebagai anak baru tentu aku menurut saja. Puncaknya latihan itu
berlanjut dengan latihan vokal, belajar mbengok untuk mengeluarkan power suara,
belajar ayunan suara, bahkan getaran yang kamu pasti tertawa jika melihatnya,
sstt latihannya harus bersuara semacam kambing berkali-kali. Terakhir, paling
ekstrem di tengah derasnya kali Metro. Jika kuingat lagi benar benar gila. Tapi
lambat laun aku menyadari kegilaan-kegilaan itu mulai memberikan dampak baik
bagiku.
Jadilah malam
itu, aku dan mbak athifah ketawa-ketawa demi belajar pernafasan perut dan satu
dua tiga. Belajar naik panggung beserta cara khas mbak athifah memberi salam ke
juri, tangan di dada, tubuh ditundukkan dan ditutup dengan kecupan di tangan
sang guru. Benar-benar dikecup dengan bersuara! Dan tak bisa kuubah. Malam
semakin larut, kami kemudian tergeletak di atas kasur, bergelut. Mbak athifah
yang bersikeras tak mau tidur di atas kasur, maunya dilantai yang dingin, dan
aku yang sungkan jika harus tidur di atas. Akhirnya kita terpejam bersama di
lantai menikmati keletihan kami berlatih.
Entah dalam
mimpi atau sekedar terpejam. Aku menyunggingkan senyum, menyadari betapa banyak
ternyata yang sudah kupelajari selama ini. Ilmu itu memang mungkin terkadang
tidak dapat kita ukur. Kita sudah merasa bertahun-tahun belajar kok serasa
begini-begini aja. Ternyata tidak, semua itu tertanam tanpa terasa, nyatanya
kita manusia yang selalu berkembang, menyerap, dan bertumbuh. Tidak usah risau,
nikmati dan maksimalkan apa yang sekarang ada di depanmu.
Malang, diselesaikan di Probolinggo.
0 komentar:
Posting Komentar