Nur Sholikhah
Mangga, aku tahu kau sangat menyukai buah ini. Setiap hari jika
musim mangga tiba, kau selalu memakan buah itu dengan begitu lahapnya. Tak
lengkap jika sebelum makan nasi kau tak makan mangga terlebih dahulu. Kau
sangat suka sekali dengan aroma khasnya. Kuingat sebelum kau mengupas
pelan-pelan kulit mangga itu, kau pasti mencium aromanya dengan hidungmu.
Sedap, satu kata yang muncul dari mulutmu.
Kau sangat menyukai mangga, tapi kau saat ini tidak sedang memiliki
pohonnya. Dulu waktu aku masih kecil,
kau pernah memilikinya. Pohon mangga itu tumbuh besar di depan rumah, menaungi
bunga-bunga. Setiap kali jika musim mangga tiba, ia berbuah sangat banyak.
Bahkan kau sampai menjual pada para tengkulak. Dan sisanya kau nikmati sendiri
bersama keluarga.
Oh iya, kuingat kau punya ciri khas saat mengupas kulit-kulitnya.
Kau bentuk seperti bunga yang sedang mekar, menyebar. Lalu kau akan
memberikannya padaku dan berkata, "Kamu bisa mengupas seperti ini
tidak?"
Aku pun tak mau kalah, maka jika aku mengupas mangga, aku melakukan
hal yang sama denganmu. Awalnya berjalan sesuai apa yang kumau, tapi di tengah-tengah
pasti gagal karena rangkaian kelopak bunga dari kulit mangga itu putus tak sepertimu
yang utuh. Dan kau tertawa melihat kegagalanku.
Oh iya, pohon yang dulu berdiri tegak di depan rumah sudah tak ada.
Pohon itu ditebang lantaran mulai tampak mengkhawatirkan, takut kalau-kalau pas
hujan yang dibersamai angin menumbangkannya tepat di atap rumah. Kau memutuskan
untuk merobohkannya dan menjual batang kerasnya pada tukang kayu. Dan mulai
saat itu, aku tak pernah lagi merasakan panen mangga bersamamu.
Meskipun begitu, kau tetap menyukai buah itu. Setiap hari selalu
saja ada mangga di dapur. Mangga itu bukan hasil kau menukarkan rupiahmu,
melainkan usahamu mencari mangga-mangga yang jatuh milik pohon tetanggamu. Dan
mereka memaklumi, kalau ada mangga yang tidak sengaja jatuh maka hukumnya halal
untuk siapa saja yang menemukannya.
Aku senang sekali caramu menikmati lembutnya daging mangga itu,
begitu lahap. Maka sejak aku mulai beranjak dewasa dan memutuskan untuk belajar
di luar kota, aku berusaha membawakanmu mangga di depan pintu. Ya, jika musim
mangga tiba, aku menyempatkan pulang untuk menjenguk rumah dan seluruh
penghuninya. Kubawakan mangga dengan berbagai macam jenisnya. Lalu kulihat kau
begitu senang melihatku menenteng kantong berisi buah kesukaanmu itu. lega,
batinku.
Namun sejak kau tidak bisa lagi menikmati manisnya mangga, aku tak
tertarik lagi dengan buah itu. Jejeran para pedagang yang menawarkannya di
pinggir jalan tak ingin lagi kudengar. Aroma khasnya yang dulu begitu
menggiurkan kini mulai berkurang. Meskipun begitu, aku masih ingin menikmati
mangga yang dulu kupuja. Caraku mengupas masih sama dengan caramu dulu, hanya
saja bunga dari kulit mangga belum pernah berhasil kutebar di tanganku.
Mangga, bunga, rasa, aroma, warna, tak akan pernah kulupa. Karena
hanya dengan cara sederhana itulah aku mencoba senantiasa membuatmu hidup dalam
rasa sepiku. Agar aku masih bisa bertahan menanggung beban tanpa rasa rapuh.
Kehadiranmu kini hanya bisa kukenang karena sejuknya tanah bumi telah
mendekapmu lebih dalam.
Selamat hari ayah!
Maaf sudah dua minggu lebih ku telat mengucap.
Pondok Pesantren Darun Nun Malang
0 komentar:
Posting Komentar