(Muslim Tak Ciut, Walau Badai Mencuit)
Halimi Zuhdy
“Terhentak,
namun nyali tak ciut”. Ketika pasukan muslimin menuju Medan Mu’tah, dengan
menempuh perjalanan sejauh 1.100 km dari Madinah. Ketika tentara Muslimin
berada di daera Ma’aan (sebelum Mu’tah) pasukan dikejutkan dengan berita,
pasukan musuh jauh lebih banyak, 200.000 pasukan Adidaya Romawi bergerak. Sedangkan
pasukan muslimin hanya 3000 pasukan.
Antara
percaya dan tidak, kaum muslimin merapatkan barisan dan berdiskusi di tempat
tersebut selama dua malam. Sedangkan gelombang pasukan musuh sudah begitu
tampak bersemangat, dengan alat canggih dan persiapan yang sangat matang, serta
mendapatkan dukungan kabilah-kabilah Arab, seperti Lakham, Judzam, Bilqain, Bahram, dan Baliyy. Mereka datang
seperti gelombang besar, dari berbagai penjuru menuju Mu’tah. Sebuah padang tandus
yang tidak terdapat pepohonan, juga tidak berbukit.
Mungkin
dari beberapa tentara ada getar, dan mengusulkan untuk mengirim kabar kepada
Rasulullah bahwa pasukan musuh lebih banyak, “Kita tulis surat pada Rasulullah, lalu kita kabarkan kepada
beliau tentang jumlah musuh kita, maka Rasul akan mengirimkan bala bantuan
pasukan tambahan kepada kita atau beliau akan memerintahkan kita dengan suatu
perintah dan kita jalankan perintah tersebut”, usul beberapa sahabat. Maka Abdullah bin Rowahah tampil dan memotivasi
para pasukan muslim, “Wahai kaum sekalian, demi Allah sesungguhnya perkara yang
kalian benci tersebut itulah yang kalian keluar mencarinya, kalian mencari mati
syahid. Kita tidaklah berperang melawan musuh dengan mengandalkan jumlah, tidak
juga kekuatan, dan jumlah yang banyak, akan tetapi kita memerangi mereka dengan
agama ini yang Allah telah memuliakan kita dengannya, maka majulah kalian,
karena sesungguhnya kita akan meraih salah satu dari dua kebaikan, menang atau
mati syahid”.
Motivasi tingkat tinggi, “menang atau mati syahid”,
itulah degup hati yang sudah dipenuhi dengan iman yang kokoh. Tak ada tembok
yang tak mampu di panjat, tak ada samudera yang tak mampu dilalui, sangatlah
mudah bagi diri yang dipenuhi dengan cinta Ilahi. 1 orang muslim berbading 70
tentara musuh, sungguh diluar perkiraan mereka. Pasukan Adidaya Romawi yang
sudah berdiri ratusan tahun, dengan tentaranya yang cukup disegani dan ditakuti,
sedangkan kaum muslimin baru berdiri delapan tahun.
Perang pun berkobar, dengan Zaid bin Harisah
sebagai pimpinan perang, ia tanpa lelah memainkan pedangnya, namun syahid
menjemputnya. Sebagaimana pesan Nabi, bila bendera terjatuh dari tangan zaid
(wafat), maka dilanjutkan oleh Ja’far bin Abi Thalib. Benarlah, Ja’far pun
mengambil bendera itu dengan tangan kekarnya, ia ambil dari tangan Zaid dengan
genggapan yang sangat kuat, sedangkan ngnya. ““Demi Allah, saya seperti menyaksikan Ja’far bin Abi Tholib turun
dari kudanya yang pirang, dan membunuhnya lalu ia memerangi musuh hingga ia pun
meninggal” kata seorang sahabat dari Bani Murroh.
Pasukan yang seperti gelombang lautan itu datang
bertubi-tubi, namun Ja’far dan pasukan Muslimin tidak ciut dibuatnya, Ja’far semakin
bersemangat, ia sebagai pemimpin masukan perang, tak sedikipun ketakutan yang
tampak darinya, ketika tangan kanannya putus ditebas oleh musuh, bendera yang
dipegangnya ia genggam dengan tangan kirinya, ketika tangan kirinya putus, ia
pun tak membiarkan bendera perang muslimin itu tergeletak, ia angkat dengan dua
lengan atasnya, sungguh ia sangat gagah, namun kemudian ada yang menikamnya
bertubi-tubi, dan Malaikat menjemputnya sebagai Syahid di medan Mu’tah
Ia Syahid dengan 90 bekas luka dengan tombak dan
anak panah, kata Ibnu Umar “Aku termasuk bagian dalam pasukan perang tersebut, kami
mencari jasad Ja’far bin Abi Tholib, dan kami mendapatinya di tengah-tengah
mayat-mayat perang, dan di jasadnya terdapat 90 bekas tombak dan panah”.
Namun anehnya, dari sekian sayatan pedang dan
lemparan anak panah tak satupun yang mengenai punggung Ja’far bin Abi Thalib, ia seperti menghadang semua senjata
musuh dengan dadanya, bertembur penuh baja berani, tak gentar, dalam suatu
riwayat “Aku menghitung ada lima puluh bekas hujaman tombak dan kilatan pedang,
dan tidak ditemukan bekas lukapun berada di belakang tubuhnya”.
Dua tangan yang ditebas oleh pasukan musuh digantikan
oleh Allah dengan dua sayap indah, sehingga ia bisa terbang kemana pun di Surganya,
maka ia dijuluki Ja’far Attayyar (Ja’far yang terbang), sebagaimana Sabda Nabi, “Aku dipersaksikan Ja’far bin Abi Thalib menjadi malaikat yang terbang dengan
kedua sayapnya di surga”.
Tidak cukup At-tayyar menjadi julukannya, ia juga
diberi gelar Abu al-Masakin (Bapak orang-orang Miskin), karena senang sekali
bergumul dengan mereka yang miskin, yang tidak membeda-bedakan mana yang dan
mana yang miskin, ia sangat bersahaja dalam hidupnya.
Malang, 07 November 2019
(Seri mengenang Sahabat Nabi Agung, untuk Beliau
Sang Nabi, Allahumma shalli ala Sayyida wa habibina Muhammad)
0 komentar:
Posting Komentar