Oleh: @fahymaadzky
Selalu Pimpinan Pondokku dulu yang kami sebut mudir, menekankan
suatu kalimat: Al insanu ibnu 'awaidihi. Beliau menjelaskan
bahwa seseorang itu tentang kebiasaannya, karena kebiasaan sangat dekat dengan
sifat. Kalimat itu beliau lontarkan ketika melihat santri-santrinya (baca:
kami) mengantuk, bahkan banyak yang tidur disaat mata pelajaran Tauhid yang
beliau ajarkan. "Orang kalau kebiasaan tidur saat pelajaran, ya
akan selamanya begitu," beliau berbilang sambil menunjuk barisan
belakang yang kesemua santri tertidur. "Santri yang tidur di mata
pelajaran saya, lihat saja, pasti di mata pelajaran lain pun juga tidur,
mengapa? kebiasaan". Diri itu harus dipaksa, diarahkan ke kebaikan!
Kebiasaan pun tidak serta merta terbentuk dengan
sendirinya. Faktor awal terbentuknya kebiasaan adalah fikiran. yaitu tentang
bagaimana mindset/pola fikir/sudut pandang. Apapun yang ada dalam fikiran
itulah yang mempengaruhi setiap perkataan yang dilontarkan seseorang. adapun
perkataan, kita pasti telah mengetahui bahwasanya perkataan, semua yang
terucap lisan merupakan cerminan diri, ada yang mengatakan perkataan adalah
cerminan kepribadian, dan ada yang mengatakan bahwa perkataan adalah cerminan
hati.
Belum cukup sampai pada perkataan, perkataan kemudian
berlanjut pada gerak gerik yang kita ambil dan kita jadikan sebagai tindakan.
Dan setiap tindakan yang kita ambil pasti menuntut kita untuk memilih. Apa yang
akan kita kerjakan, tindakan mana yang menjadi pilihan. Manusiawi jika kita
ingin selalu menjatuhkan pilihan-pilihan pada hal-hal yang membuat kita senang,
hal-hal yang mudah, hal-hal yang mudah, hal-hal
yang mampu membuat kita terus bersantai. Akan tetapi, bila hal tersebut
berkelanjutan, apa-apa yang menjadi mimpi kita, apa-apa yang menjadi harap kita
suatu hari nanti akan hanya menjadi mimpi.
Kebiasaan, tidak secara instan terbentuk. Akan tetapi pilihan
bertindak yang membangun suatu kebiasaan. Kita, dengan apa-apa yang menjadi
kebiasaan kita. Sedangkan kebiasaan kita itulah yang menjadi sifat kita,
karakter kita. Disinilah yang kemudian menentukan rantai selanjutnya, bahkan
rantai akhir serupa takdir. Jika kebiasaan kita baik, maka tak mungkin
takdir berjalan terbalik. Jika kebiasaan kita baik, pasti takdir akan senada,
apik. Kun fayakun Tuhan memang tak bisa dibantah, tapi sebelum takdir menuntut
kita pasrah, masih banyak lagi kesempatan yang bisa kita ambil celah.
Pondok Pesantren Darun Nun Malang
0 komentar:
Posting Komentar