Oleh : Neng Sumiyati
Segala hal yang berkaitan dengan keindahan, memang kerap kali
diakitkan dengan perempuan, seolah menjadi takdir tersendiri dalam label
tersebut, ada keindahan yang terukur misalkan mata atau hidung.Karena label
keindahan tersebut juga, seolah menegaskan bahwa perempuan sangat menyukai
keindahan, maka tidak heran jika hal-hal yang akan membuat diri mereka indah
dan mempesona selalu menjadi sorotan utama di era ini.
Namun paradigm ini akan menjadi sebagai pelengkap saja, apabila
kita berada di sebuah Pesantren, yang mana bukan hanya ilmu pengetahuan umum
saja yang dipelajari namun ilmu agama juga demikian.Kaum perempuan yang menimba
ilmu di Pesantren disebut dengan Santriwati, yang mana mereka memiliki paradigm
yang mengatakan bahwa bukan hanya keindahan diri yang menjadi sorot utama namun
kualitas diri yang harus perlu direncana.
Bu nyai atau istri dari pimpinan Pondok Pesantren menjadi salah
satu manifestasi perempuan yang patut kita amati, seperti bu nyai Muniroh
Iskandar di Pondok Pesantren Nur Khodijah 3, Denanyar, Jombang, Jawa
Timur.Salah satu sosok yang masih saya kagumi hingga sekarang, walaupun baru
pertama kali kami bertemu.
Salah satu kepribadian beliau, yang tidak sengaja kami
menyaksikannya sendiri yaitu tentang rasa tanggung jawabnya sebagai istri dari
seorang pimpinan pesantren.Setelah shalat Isya kami memutuskan untuk sowan kepada
beliau, ketika kami mengetuk serta menunggunya di depan rumah beliau, salah
satu dari ibu-ibu yang bertugas di dapur pondok pesantren mengatakan bahwa
beliau sedang berada di asrama santri.Tiba-tiba saja kami mendengar suara tegas
dari sosok perempuan yang belum pernah saya temui tersebut, yang ternyata
beliau sedang membantu para pengurus pesantren untuk mengarahkan para santri
agar segera masuk ke kelas masing-masing untuk belajar agama di malam tersebut.
Suara dari pengeras suara yang berada di sudut asrama santri
tersebut seolah menjadi pengingat penting bagi santri, yang mana terbukti
setelah adanya pengarahan dari bu nyai mereka segera bergegas untuk pergi ke
kelas masing-masing.Tidak lama kemudian pintu rumah terbuka, dan ternyata bukan
beliau yang membukakan pintunya untuk kami, melainkan salah satu dari
santriwati senior.
Kami pun dipersilahkan masuk di ruangan yang mana ketika kami
memasukinya disambut oleh senyuman dari lukisan almarhum KH.Iskandar yang
merupakan salah satu dari menantu almarhum KH.Bisri Syansuri, yang tentu
namanya sudah tidak asing lagi.Kami menunggu beberapa menit untuk bisa bertemu
langsung dengan beliau, dalam penantian tersebut yang saya rasakan hanyalah
sebuah kebingungan dan ketakutan tentang bagaimana saya harus bersikap serta
berbicara sebaik mungkin dengan beliau, hal ini disebabkan karena posisi duduk
saya yang sangat dekat dengan beliau.
Ketika beliau datang dengan senyum ramahnya, seketika saya
merasakan suasana hangat yang sebelumnya saya rasakan hanyalah hawa ketakutan,
salah satu yang terbesit saat itu juga kekaguman saya terhadap penghormatan
beliau terhadap tamu, hal tersebut dibuktikan dengan awalan dari percakapan
kami yang dimulai dengan pengajuan beberapa pertanyaan terkait nama, asal serta
alumni dari pesantren mana, maka dari itu selama percakapan berlangsung beliau
tidak menggunakan bahasa jawa selurunya, namun dicampur dengan bahasa
Indonesia, mengingat rata-rata dari kami berasal dari luar pulau Jawa.
Ditengah wawancara yang kami lakukan, beliau melihat santriwati
yang tidak belajar serius, karena lokasi belajar mereka persis didepan kami
hanya dibatasi dengan pintu.Maka sontak beliau keluar lalu mengingatkan mereka
untuk fokus dan tidak memerhatikan kami yang sedang melakukan wawancara dengan
beliau, salah satu cermin bu nyai yang memang benar-benar berperan sebagai
perempuan yang seharusnya.
Karena beliau pernah tinggal beberapa tahun di Jakarta, dan
ternyata salah satu dari anaknya pernah belajar di Pondok Pesantren Darunnajah,
maka semakin membuat saya beserta rekan yang sama-sama menimba ilmu disana
merasa bersyukur dan bahagia.Pengetahuan yang beliau miliki cakupannya sangat
luas, bahkan bahasa yang beliau gunakan sangat terdengar enjoy dikalangan
kita, yang berarti beliau benar-benar menempatkan dirinya ketika berbicara
dengan siapapun.
Salah satu pesan bagi kita semua khususnya perempuan, yang memang
bukan hanya kecantikan yang mempresentasikan dari kita yang sebenarnya, tetapi
akhlak yang harus dijunjung sedemikian rupa.Beliau berpesan begini kepada kami “
nduk, lek ngaji sing temenan. Itu bekalmu.Belajar yang benar serta tunaikan
tanggung jawab sebaik-baiknya, mempercantik diri itu penting, tapi akhlak
apalagi, itu prioritas utama”.
0 komentar:
Posting Komentar