Oleh Nur Sholikhah
"Nduk, Bapak tadi beli buku ini," katanya sembari
menunjukkan buku yang ia bawa.
"Buku apa, Pak?"
"25 kisah nabi dan rosul. Bapak tadi beli di kereta. Murah
lho, cuman sepuluh ribu."
"Coba aku lihat, Pak."
Buku itu sudah berpindah tangan, aku membukanya. Kertasnya buram,
aroma kertas dan tinta segera menyeruak. Buku ini masih mulus, meskipun bapak
sudah membuka lembaran-lembarannya berulang kali.
"Bapak sudah baca semua?"
"Ya belum to, Nduk. Bapak masih baca sebagian, tapi Bapak
sudah tahu semua ceritanya."
"Lha kok bisa?"
"Kisah 25 nabi dan rosul itu sudah pernah diceritakan sama
guru ngaji Bapak dulu. Sampai sekarang Bapak masih mengingatnya."
Aku heran, mengapa orang dulu ingatannya begitu kuat. Bahkan cerita
yang pernah didengar berpuluh-puluh tahun yang lalu masih diingat oleh mereka.
Bandingkan dengan anak zaman sekarang, aku misalnya. Jangankan mengingatnya
berpuluh-puluh tahun, belum ada sehari saja kadang sudah mulai lupa.
Oh ya bapak adalah pengingat yang baik menurutku. Aku pernah diajak
bermain tentang angka yang katanya permainan itu diajarkan waktu bapak masih
kecil. Aku pun sudah lupa permainannya seperti apa dan cara mainnya bagaimana.
Berbeda dengan bapak yang dulu masih bisa mengingat detail permainan tersebut.
"Nduk, sekarang kan bulan baru. Itu bulan sabitnya sudah
tampak," ucap bapak saat aku dan adikku sedang duduk di beranda rumah,
menikmati hembusan angin malam.
"Iya, Pak."
"Dulu Bapak diajari Mbah buyut buat mengucap sebuah kalimat
saat pertama kali lihat bulan sabit."
"Gimana bunyi kalimatnya, Pak?" tanyaku penasaran.
"Salamun 'alaikum salam, bulan sabit Enom tapi sek Enom aku.
Dibaca tiga kali, Nduk."
"Buat apa Pak kita baca kalimat itu?"
"Kata Mbah buyut biar kita awet muda."
Aku hanya mengangguk tanpa memberikan tanggapan. Kalimat itu terasa
biasa menurutku. Tapi bagi bapak, kalimat itu seperti sudah berhukum wajib
untuk diucapkan saat pertama kali melihat bulan sabit.
Sejak itu, adikku selalu mengingatkanku saat bulan sabit terlihat
di langit. Ia membaca seperti apa yang dibaca bapak. Sedangkan aku hanya
memandang bulan itu. Bulan sabit memang tampak mengagumkan menurutku, sinarnya
yang kemuning, bentuk sabitnya yang memiliki ujung lancip yang pas, ia
tergantung di langit yang berhiaskan gemerlap bintang.
Aku dari awal memang tidak tertarik dengan kalimat itu. Oleh
karenanya, setiap aku memandang bulan sabit pertama kalinya dalam setiap bulan,
aku tidak pernah mengucapkan kalimat apapun, kecuali kalimat pujian kepada
Tuhan.
Dan aku akan memandangnya begitu lama, hingga rasa perih jatuh
tepat di pelupuk mata. Ada energi yang menyengat, ada rasa sedih yang menguat
seiring aku memandang bulan sabit itu. Perlahan-lahan butiran yang disebut
sebagai air mata itu jatuh, menetes, membasahi mata dan pipi. Lalu aku akan
tertunduk, sesenggukan dan tangan ini menjadi gemetar.
Tidak ada yang tahu kebiasaanku ini, bahkan adikku yang juga
pengagum bulan sabit. Setiap awal bulan Hijriyah, aku selalu menanti bulan itu
tampak di langit. Aku akan mencari
tempat yang sepi, di halaman rumah misalnya, di bawah pohon belimbing, di atas bayang.
Di sana aku bisa memandang bulan sabit sepuasnya.
“Mbak, ayo masuk rumah! Dipanggil Ibu.”
Panggilan itu memudarkan lamunanku. Ah, belum sempat aku berbincang
dan mengeluarkan air mataku, ibu sudah memanggil.
“Sekar, ayo makan malam dulu! dari tadi kok ngelihat langit terus.
Kamu tadi katanya mau bikin mi goreng. Jadi nggak?”
Aku mengangguk, melangkah lesu menuju dapur. Dapur yang catnya
sudah tak lagi putih, banyak goresan warna coklat di sana-sini. Kunyalakan
kompor pemberian pemerintah ini, di atasnya kutaruh panci yang sudah berisi
air. Kubuka satu persatu wadah bumbu instan ini, tak lupa kuremukkan mi
terlebih dahulu sebelum dimasukkan ke dalam gejolak air yang mulai panas di
panci.
“Nduk, tolong masakin Bapak mi goreng ya!”
“Jangan lupa dikasih kuah sedikit, ditambah kecap sama garam!”
“Mau cabe berapa Pak? Satu atau dua?”
“Satu aja Nduk, dipotong kecil-kecil. Oh ya, masak minya yang
matang ya!”
Aku senang sekali jika bapak menyuruhku untuk melakukan hal yang
saat ini sedang aku lakukan. Aku sampai hafal mi kesukaannya dan bahan apa saja
yang perlu ditambahkan agar sesuai selera bapak. Kalau itu mi goreng, bapak
selalu minta diberi kuah sedikit. Sedangkan kalau mi rebus, bapak selalu minta
ditambahkan kecap, garam dan tahu putih. Keduanya harus dimasak matang dan
diberi potongan cabe kecil-kecil.
“Pak, mi-nya sudah siap.”
“Ayo makan bareng Bapak, Nduk, ambil piring sama sendok!”
Bapak selalu menawarkan mi yang hanya sepiring itu kepada aku dan
adikku. Tapi aku cukup tahu diri, mi itu kumasak untuk bapak, hanya untuk
bapak. Adikku yang biasanya mengambil nasi dan mengambil beberapa sendok mi
dari piring bapak. Aku senang melihatnya makan dengan lahap, sendok yang ia
pegang berkali-kali mengangkat kuah yang gurih itu. Dan sekali-kali mi yang
tergeletak lemas ia masukkan ke dalam mulut. Setelah dirasa cukup untuk
mengecap rasa, bapak menyisakan mi untukku. Ternyata ia hanya mengambil kuah
dan sedikit mi untuknya.
“Ini, Nduk, Bapak nggak habis. Ayo ambil nasi sana!”
Aku tersenyum dan menerima piring itu. Jika memang lapar, aku akan
berjalan ke dapur, menjatuhkan setengah centong nasi pada setumpuk mi yang
sudah dingin.
“Mbak, itu airnya sudah mendidih lho!”
“Oh iya,”
Lamunanku memudar. Apa karena malam ini aku melihat bulan sabit
untuk pertama kali? Sehingga aku terus teringat memori-memori di masa lalu? ah
bulan sabit, ternyata kau tampakkan lagi dirimu lewat genting kaca di dapur.
Kau masih bersinar, aku melihat kau tersenyum.
“Nduk, sudah selesai masak minya?”
“Sudah, bu.”
Kumatikan kompor. Kutuangkan mi itu ke dalam mangkuk bergambar
ayam. Oh ya bapakku tidak suka makan mi di mangkuk, ia selalu minta piring. Piring
berwarna putih dengan sedikit corak bunga di tepinya.
Kumakan mi itu di depan benda kotak yang bisa mengeluarkan gambar
dan suara. Kunikmati setiap cecap rasa yang tersentuh lidah. Sayup-sayup
kudengar suara dari arah kamar bapak.
“Sudah baca doa nduk?”
Aku menoleh ke arah kamar yang dekat dengan ruangan tengah ini, tepatnya
di sebelah kananku. Tak kulihat apa-apa, hanya dipan yang di atasnya bertengger
bantal-bantal. Aku kenal suara itu, suara bapak.
“40 hari meninggalnya Bapak itu tanggal berapa, Mbak?” tanya adikku
yang tiba-tiba muncul dari kamarku.
Pondok Pesantren Darun Nun Malang
Darunnun.com
0 komentar:
Posting Komentar