Oleh: Ilman Mahbubillah
Rumah adalah tempat bagi semua yang kembali, tempat dimana banyak
doa-doa ku bersemayam, tempat semoga-semogaku pulang dan menemukan tujuan.
Seperti hari itu, motor yang kunaiki sudah dijejali dengan beban tubuh serta
isi dari tas yang kudapatkan ketika ayah memberinya karena aku juara kelas.
Menyalipku dari belakang sekumpulan motor jantan dengan asap khas knalpotnya
yang menyeruak sesak dihidungku. Kutatap mereka satu persatu seolah seorang
saudara yang esok tak bisa lagi kutemui.
Kucoba fokus kembali, berusaha tidak peduli. Ku tutup kaca helm,
lalu mengendarai motor dengan suara rem depan yang mulai meminta pertanggung
jawaban dari sang pemilik atas apa yang sudah ia lakukan padanya. Ilusiku
menguap, detik bersiur tanpa angka, suara berdesak tanpa makna. Kuhirup sisa
udara sejuk selepas turun embun di pagi hari, lalu memprosesnya menjadi
suplemen paru-paruku yang baru saja diperkosa oleh karbon dioksida knalpot.
Beberapa klakson terdengar, karena aku berhenti kala kakek pensiunan
itu mengambil barang dagangannya yang jatuh akibat kerasnya hantaman angin lalu
memutuskan ikatan tali dari potongan ban renta dimakan oleh usianya itu
menjatuhkan puing puing yang rencananya menjadi
sumber perantara rezeki untuk istri dan anak-anaknya dirumah.
Ya benar, rumah. Tempat paling asri dan damai ketika dipandang,
tempat pulang setelah banyak kepenatan. Tempat cintaku berkembang biak dan
lestari, tempat cintaku menetap dan abadi. “Hus!” Halusinasiku kembali
mencoba membuat dejavu nya sendiri. Lalu temanku, yang baru baru ini terdesak
karena kewajibannya belum saja terealisasikan mengajakku berbincanng dengan
suaranya yang menunjukkan perutnya pagi ini belum terisi nutrisi.
“Nanti di Pom bensin berhenti dulu ya !!, Kayaknya motornya butuh
makan, hehe”. Ucapnya dengan mengilustrasikan
sedikit sindiran padaku.
Setiba di Pom bensin kuamati setiap sudut detailnya sambil
menikmati antrean panjang demi mendapat suplay subsidi yang terpaksa kuambil
karena kondisi dompet yang dilanda kekeringan akibat akhir bulan. Kemudian tiba
lah giliranku, tapi ketika petugas hendak meletakkan alatnya pada mulut tangki
bensin seketika ia batalkan sebab suara anak kecil yang berlari dengan menyebut
namanya. Kulihat kembali pelukan 10 tahun yang lalu pernah kurasa, dan
membangkitkan jua imaji ku tentang rumah.
Rasanya aku segera menarik gas motor ini agar dengan cepat melaju
dengan memotong tiap kobaran angin yang menderu dan membuat suasana jadi
syahdu. Dalam diriku aku bertanya kembali, apakah benar aku masih disiksa oleh
rindu yang seremeh ini pada usiaku yang semi dewasa tapi masih jua
kekanak-kanakan. Ah, pikirku aku tidak terlalu lemah, aku bisa menghadapi
persoalan seperti ini dengan tanpa rumus mata kuliah statistika yang menyiksa
batin teman-temanku karena hasilnya.
Haha, aku tersenyum memandang mereka dengan sesekali menoleh pada
orang-orang dan temanku dibelakang yang sumringahnya seperti anak-anak yang
mendapatkan angpau hari raya karena selepas motor ini mendapat makanannya, ia
juga dapat memanjakan perutnya dengan dalih tidak membawa dompet dan secercah
uang pun agar kucuran dana mengalir melalui jalan lain selain dari sakunya.
Anak itu kemudian kembali pada ibunya dengan suntikan semangat baru
yang akan dibawanya dan tentunya juga membagikan kebahagiaan pada kawan
sebayanya. Lanjut derai dedaunan yang sama juga membersamai tentram suara
latukan burung pada pohon lalu teblek tangan temanku menegur. Teguran
itu sontak membuatku sadar kembali dengan bapak petugas itu yang menunggu
ongkos yang harus kubayar, kulihat tangan keriputnya yang dibasahi dengan
sedikit cairan bensin yang sehari-hari sudah seperti sau tangan yang melapisi
tangannya.
Mataku sekonyong ketika kukendarai kembali motor ini dan melihat
arus jalan yang serupa dengan derasnya hujan kala lebat tak sempat menyela
apalagi menyelipkan diri diantara mereka.
“Ishh, kalau kau cuma nunggu nggak sampai-sampai kita nanti”. Desak temanku yang muali tidak sabar dengan situasi ini.
Hingga datang bunyi sirine yang seketika menjadi monolog dan
menyita mata pengendara untuk menepi memberi jalan bagi jiwa yang sedang
berjuang dalam tiap helaian nafasnya demi kembali menemui keluarganya dirumah.
Ah! Lagi-lagi kata rumah meracuni pikiranku. Adapun setelahnya, aku mengambil
kesempatan ini untuk kembali meneruskan perjalanan rinduku yang kutempuh bersama
hujaman klakson truk dan lemparan percik genangan aspal yang mewarnai keadaan
alami sekitar jalan didepan pasar.
0 komentar:
Posting Komentar