Oleh: Nurmiati Habibi
Gemuruh angin di tengah terik matahari panas membawa kesejukan
tersendiri. Perjalanan menyusuri kota yang kaya akan keindahan alam membuat
mata menjadi segar. Melupakan sejenak kehidupan kuliah dan kegiatan kampus yang
membuat jenuh. Kanan-kiri jalan disuguhkan pemandangan yang memikat hati bagi
siapapun saja yang melintasinya. Jejeran bukit tinggi berisi tanaman –tanaman
sayuran yang nampak tertanam rapih dari kejauhan. Para tani begitu telaten dengan kegiatannya di sawah
atau ladang yang ia garap, Aku bergumam dalam batinku sendiri “Sepertinya adem
tinggal di daerah seperti ini,
kesibukannya hanya bertani dan beribadah. Tanpa harus memikirkan
kehidupan kota yang penuh kemewahan” Yah itulah sedikit gumamanku saat melewati
perjalanan di daerah Cangar menuju Mojokerto.
Selasa, 22 Oktober
aku kembali lagi kesana. Perjalananku kali ini sangatlah berbeda dengan
sebelumnya. Entah mengapa mataku tertuju pada ratusan orang yang sedang
berkumpul di satu tempat yang sama. Suara anak kecil yang menangis, ibu-ibu
yang berbincang bersama, para lelaki tua yang sedang duduk melamun dengan
tatapan mata kosong seperti memikirkan beban berat dalam hidupnya, para petugas
yang sibuk membagikan makanan “Mie instan sepuluh dus, popok bayi 50 pak, ”
suara petugas bantuan yang kudengar saat itu. Aku hanya mencoba menerka keadaan
sekitar. Seraya memikirkan apa yang akan terjadi kedepan orang-orang yang ada
disini.Pikiranku terhenti ketika aku melihat anak kecil dengan lucunya sedang
berjalan ke arahku. Akupun mendekatinya dan menggendongnya seraya mengecup pipi
imut anak tersebut.
Inilah keadaan
kota dingin saat ini, Pohon tumbang dimana-mana, debu bertebaran layaknya
gulungan angin yang membuat setiap orang wajib menggunakan masker, reruntuhan
bangunan rumah pasca terjadinya bencana angin besar yang menggulung debu, asap
yang berlarian membentuk gumpalan awan akibat kebakaran Gunung Arjuno sehingga
menutupi pemandangan jalan dalam radius beberapa meter. Para petani yang
biasanya sibuk dengan kegiatannya di ladang kini telah sepi, hanya terdengar
suara ternak yang menghidupi desa ini. Nyatanya bencana bisa datang kapanpun
dan dimanapun itu. Terima kasih telah mengajarkanku untuk bersyukur dan
berdamai dengan keadaan, . Lekas
Pulih Kota Dingin
0 komentar:
Posting Komentar