Oleh: Dyah Ayu Fitriana
Aku pernah bertanya pada seseorang di
seberang jalan, apakah yang dinamakan kegenapan. Ia menertawakanku, entah
karena pertanyaan yang begitu lugu atau karena dekilnya wajah dan bajuku
diterpa angin kering musim paceklik.
Ia berlalu, menaiki sebuah bendungan waduk
yang airnya telah mengering dan tanahnya telah membatu. Aku mengikutinya,
menaruh sepeda sekedarnya dan dengan susah payah meraih gundukan bangunan itu.
Wajahku diterpa angin yang menyakitkan dan aku masih saja melontarkan
pertanyaan serupa.
Ia bergeming, sesekali tetap saja tertawa. Aku meloncat turun ke tanah kering. Hatiku
mengutuki segala ketidakgenapan yang menyiksa mata dan hatiku. Tanah yang
dicampakkan hujan, langit yang diabaikan awan, bahkan jalanan berdebu yang
ditinggalkan para penduduknya.
Paceklik ini begitu panjang. Menyisaan
kerinduan yang sesak menyesak pada hujan. Rumput yang telah kehabisan napas,
ikan yang tinggal belulang, dan aku yang dilanda paceklik begitu panjang.
Aku berandai-andai, jika hujan datang saat
ini juga. Aku melihat diriku sendiri di sana, menari di tengah guyuran air
langit, kupandang lekat-lekat senyuman itu, tarian itu, mengembang setiap
tetesan air menyentuh tubuhnya. Pada waktu itu, aku menyaksikan sendiri bagaimana
kegenapan telah memeluk diriku. Dapat kudengar jelas, bagaimana lelaki tua itu
menertawakanku dan segala halusinasi yang kuciptakan sendiri.
Ah, aku tak peduli. Memang, apa salahnya
menunggu?
0 komentar:
Posting Komentar