Oleh : Dyah Ayu Fitriana
Malam itu, berdua kita bercengkerama
tanpa kata.
Ibu menyaksikan gumaman nyanyianku
dari jauh, dan aku menelisik tawa ibu yang
membuat candu.
Selalu begitu.
Jarak memang sesekali membuat kita
menjadi sama-sama orang asing yang saling mencintai. Kadang untuk bertanya
sesuatu padaku, ibu menimbang berulang kali. Kadang untuk menjawabnya akupun
harus mengulur sekian hari.
Tapi bukankah itulah yang mesra dari
kita?
Aku masih ingat, di suatu terik yang
dihiasi oleh peluhmu. Aku menyaksikan tetesan cinta bercampur kepenatan
membasahi pelataran rumah kita. Bunga-bunga memerah dan dedaunan membiru.
Suaramu parau dan sedikit menipu,
"Wanita memang dilengkapi dengan rasa bahagia dalam setiap lelahnya."
Aku memilih untuk mendengar dan
diam. Lalu saat wajahmu terlelap aku baru saja tersadar. Barangkali
"lelah" adalah sahabat baik kita, Bu. Ia membagikan kebahagiaan yang
sama. Dan untukku ada pada teduh tidurmu setelah itu.
Lalu di setiap tanggal sebelas bulan
dua
Engkau mengulas sajak yang sama
Tentang masa kecilku yang sebagian
besar telah terlupa
Dan deretan doa-doa yang aku tau
setiap malam setia membuatmu terjaga
Betapa kejamnya ingatanku, dan
betapa tulusnya tresnamu.
Suatu kali, di ujung surat Abasa,
tetiba mataku basah. Yauma yafirrul mar'u min akhiih, wa ummihii wa abiih, wa
shohibatihii wa baniih.
Kenyataan pahit, bahwa kita
diciptakan untuk kembali lupa, dan aku takut menjadi beringas karena siksa.
Bu, Tuhan secara sengaja menjadikan
kita dua insan yang pernah tinggal dalam satu tubuh. Aku, hidup dan berkembang
di dalam rahimmu. Tidur manis, sementara engkau tak jarang kubuat menangis.
Sembilan bulan sekian hari,
Aku menjadi manusia baru
Memberi banyak senyuman diwajahmu
Namun juga menumpuk segala jenis
cucian yang harus kau bersihkan di sela tidurku
Aku hanya tergelak, menangis,
menyusu, dan meminta ini itu. Lalu ketika tumbuh kenangan itu lenyap seakan ia
tercipta hanya untuk kau nikmati dan tangisi sendiri.
Betapa tidak adilnya, dan betapa
tresnamu padaku itu jauh lebih tinggi daripada keadilan.
Di bulan delapan tanggal empat kali
ini, baru kulahirkan sajak untuk surat-suratmu yang telah menumpuk dan berdebu.
Mencintaimu adalah perihal usaha mencegah lupa dan terus menerus belajar
hakikat cinta.
Malang, 4 Agustus 2019
0 komentar:
Posting Komentar