Oleh : Nety
Semilir
angin menyapaku kali ini, merangkulku begitu erat dengan hembusannya yang syahdu.
Sungai mengalir deras seolah bertasbih kepada sang ilahi, menjadikan setiap
insan jatuh hati dengan pemandangan seperti ini. Aku duduk seorang diri di
sebuah bangku berwarna putih di sebuah taman kecil dekat sungai, dikelilingi
oleh pohon-pohon yang rimbun tinggi semampai. Menilik pagar diujung sana,
kuharap dia lewat dengan gagahnya. “Ah, siapa yang peduli akan hadirnya?
Siapa aku baginya?” (gumamku).
Selagi
aku bergumam tentangnya, sehelai daun jatuh tepat di atas buku yang tersingkap.
Ada beberapa kalimat tertulis amat menyesak di dalamnya, tak lain adalah
curahan hatiku tentangnya.
Apa kau tahu?
Aku seakan dibelenggu oleh rindu,
Tiap hari merindu,
Ruang pikiranpun terisi penuh oleh dirimu,
Ntahlah? Aku malu pada rabbku,
Seringkali dadaku sesak dibuatmu,
Padahal kau jelas belum halal untukku,
Namanya juga rindu,
Ada, namun waktu enggan menjamu.
Tatkala menulis
itu, aku begitu tertekan. Jantungku berdetak amat cepat. Bisa dikatakan keadaan
jantungku sedang tidak normal. Kurasa memori otak yang ada di kepalaku penuh
dengan angan-angan agar selalu bisa bersamanya. Terngiang bagaimana setiap hari
ia menyapaku lewat kecanggihan teknologi sekarang. Tak ada habisnya pembahasan
kami lewat media itu, tak pernah membahas cinta tapi saling menaruh perhatian,
bahkan tak jarang kami berdiskusi tentang apapun yang sedang hangat
diperbincangkan.
Aneh, padahal dulu pernah sedekat matahari
dengan merkurius, tapi sekarang seperti jarak matahari dengan neptunus, tak
terjangkau lagi. “Mungkinkah ia menyukai orang lain? Atau mungkin...?” pikiran
buruk tentangnya mulai meronta-ronta. Ditambah lagi, hingar-bingar kota sangat
mempengaruhi pikiran buruk itu hingga tak dapat diredam lagi. Aku malu kepada
sang pencipta, cintaku pada manusia membuat lupa bahwa sejatinya cinta hanyalah
untuk sang maha kuasa. “Jika tidak ingin terluka, maka jangan pernah menaruh
harapan yang begitu dalam kepada seorang manusia”. Kalimat yang dikutip itu
setidaknya bisa meminimalisir piluku.
Daun
yang jatuh tadi, seolah-olah mengetahui bagaimana rasaku sekarang. Ia
menghampiriku seolah hendak memberi isyarat, semua akan terpisah. Terpisah jauh
dari apa yang kita suka. Daun rela diterpa angin, walau ia harus terhempas
pergi jauh dari sebuah pohon yang selama ini ia tumpangi. Setidaknya ia tetap
bisa memberikan manfaat untuk bumi, menguraikan daunnya lewat bantuan bakteri,
hingga akhirnya wujud daun berubah menjadi tanah subur untuk mensejahterakan
petani.
Sekarang
aku mengerti, aku boleh mengagumi seseorang, namun hati ini hanya boleh ku
serahkan untukNya. Dzat yang memahami segala isi hati. Jika aku menaruh harapan
untuk manusia, maka aku harus siap menyediakan ruang untuk sakit hati. Cinta
tak perlu diungkapkan, cukup mencintai dalam bisu dan berjuang dalam dahsyatnya
sebuah doa. Percayalah, suatu saat kita akan dipertemukan dengan seseorang yang
telah Allah takdirkan .
“wafa?” seketika ada yang menyapa.
“ah, iya ca”
“kamu ngapain sendirian disini?” herannya.
“ah, ngga kok. Cuma cari udara seger. Ayo ke fakultas,
sebentar lagi seminarnya akan dimulai” ajakku untuk mengalihkan perhatian.
_Selesai_
0 komentar:
Posting Komentar