Oleh: Dinantari Susilo
Masa
ini masa susah...
Kamis 8 April
2016, 00: 39.
Mesra
sekali malam ini saya bercengkrama dengan buku pokok kuliah dan antek-anteknya,
beberapa lembar catatan dan laptop pinjaman milik seorang kawan sekamar. Mata
saya terjaga. Ditanah yang asing masa ini,
koneksi internet menjadi mahal dan
lebih mudah di akses
ketika lewat tengah malam. Bagi saya yang buta apa-apa, bagi saya inilah satu
cara menjalani kehidupan perkuliahan saya yang seadanya di
asrama. Mencari beberapa sumber ilmu atau sekedar berita baru diluar sana. Lewat internet
saya mendapat banyak informasi yang saya butuhkan, terutama kabar terbaru
tentang dunia diluar sana. Membaca dan mengamati apa-apa yang telah terjadi, bagi saya menarik. Telah lama hidup dipelosok dan menemukan jendela yang
bisa melihat segalanya hanya sekali tekan, membuat saya bersemangat melihat dan
belajar hal baru. Sebagaimana anak muda, apalagi mahasiswa
yang selalu merasa penasaran, hati saya tergelitik membuka youtube.
Melihat-lihat warna-warna dunia yang bergerak lincah. Ditambah, teman-teman saya membicarakan hal-hal yang
sama sekali saya nol. Sarannya “Browsing lah di internet.”
Penampakan awal mesin pencarian waktu itu, menampilkan sebuah headline
dengan tulisan tebal diatas sebuah video.
Tertulis disana “PENYANYI DANGDUT TEWAS DIGIGIT
ULAR.” Sempat tergoda hati saya membuka gambar kotak itu, tapi saya
urungkan karena sejujurnya saya merasa tidak heran akan sebabnya dan justru
kasihan. Nampak foto di headline
itu, penyanyi dengan baju khas seorang pedangdut desa yang “harusnya” kewalahan
menutup tubuh dengan
kain seadanya berwarna ungu
mengkilap dan membentuk lekuk tubuhnya
itu. Batin saya,
orang ini pasti sangat miskin. Saya berkesimpulan,
patutlah penyanyi itu dimangsa
ular. Wajar. Ular tidak bisa disalahkan atas kasus ini. Bersyukur itu hanya
ular berbisa yang melata, bukan ular yang bisa berjalan dan makan nasi. Penyanyi itu meninggal tanpa harus menyisakan dendam pada
“ular yang makan nasi” atau keluarganya merasa tidak enak harus berurusan
dengan polisi atau kemungkinan-kemungkinan yang lain.
Pindah
pula mata saya ke kolom pencarian. Mengetik sebuah nama
band yang konon syahdu sekali suaranya. Saran seorang teman
yang halus bahasa dan bergerak aktif dalam sosialiasi dengan orang baru.
Katanya saya harus dengar, harus tahu. Saya pula percaya. Nama band itu “Banda
Neira.” Tak lama, hadir di urutan pertama sebuah video seorang wanita
yang bernyanyi disebuah ruang studio. “Yang patah
tumbuh, yang hilang berganti.” Sayapun
mengikuti saran teman saya dan memutar lagu itu.
Ah,..
semakin mesra saja malam itu mataku dengan layar ajaib ini. Liriknya membuat
saya teringat pada suau kisah teladan yang pernah sekali waktu saya dengar dari
tetua adat. Ada sebuah hikayat seorang raja meminta tukang pandai besi mengukir
cincin yang ia gunakan dengan sebuah tulisan. Namun bukan sembarang tulisan.
Raja meminta tulisan itu bersyarat. ‘apabila dibaca saat keadaan senang ia akan
menjadi sedih, namun ketika dibaca saat sedih, ia akan menjadi senang.’ Kemudian
tukang cincin itu menuliskan “waktu ini
akan berlalu.” Mungkin anak-anak
muda ini juga pernah mendengar hikayat ini lalu terinspirasi. Hebat. Meskipun
band ini tergolong band indie,
namun mereka membawa pesan yang cukup menyentuh. Tak ada yang selamanya abadi.
“ Yang patah tumbuh yang hilang berganti,
Yang
hancur lebur akan terobati.
Yang sia-sia akan jadi makna yang patah tumbuh, yang
hilang berganti.”
Kata
teman saya, kami memiliki selera musik yang sama dan sangat berbeda
dengan kebanyakan teman yang lain. Katanya pula dia
tahu sebab dari gaya bahasa saya. Entah apa maksudnya. Sedari lahir begini saja
nada suara dan pilihan kata saya. Tak ada yang ganjil. Namun beberapa orang
kadang tertawa ketika saya bicara. Namun, kawan saya yang satu itu tidak.
Hangatnya dia bicara, halus dan mudah bercengkrama dengan orang lain membuat
saya percaya, hanya kebanyakan orang saja yang tidak bisa menerima perbedaan.
Sama arti membatasi kemerdekaan seseorang.
Bagi saya dan dia mendengarkan genre
musik tertentu adalah suatu bentuk kemerdekaan. Sepakat dengan apa yang
dikatakan kawan saya. Tidak ada yang bisa
menolak apa yang tidak bisa kendalikan dan sebuah kemerdekaan menerimanya. Lalu
dari situ takdir mempertemukan telinga saya dengan suara Rara Sekar dan Ananda
Badudu. Sekali lagi saya putar lagu itu dari youtube dan kali ini ditunjukkan
liriknya.
Banda Neira mungkin tidak pernah ada di sepanjang jalan hidup saya. Namun rasa-rasanya musisi ini akan sukses menggeser
beberapa artis desaku yang terkenal merdu menyanyikan lagu-lagu daerah, atau
penyanyi keliling untuk acara-acara besar yang selama ini saya akrabi. Entah
pengaruh malam atau apa. Pikiran saya melayang pada pemaknaan bahwa semua
yang ada didunia ada masanya. Pasti
berganti, pasti beralih. Ada regenerasi. Bicara tentang regenerasi, berarti bicara
masa depan. Suatu keadaan yang tidak bisa saya
pun dirimu tahu kepastiannya. Hanya memprediksi.
Saya
memang tak tahu banyak tentang apa kabar dunia luas saat ini. Namun bicara masa
depan selalu ada kekhawatiran dalam benak saya yang tiba-tiba saja saya mengingatnya. Meski saya tinggal jauh dari modernitas. Dipupuk dengan
adat dan perbatasan, saya tetap satu generasi yang
tumbuh dari mereka yang perlahan-lahan akan
patah dan kelak saya pun akan hilang dan terganti. Hal
yang saya takutkan dimasa depan adalah, tak lagi banyak canda tawa anak-anak
diluar rumah, mereka lebih merasa merdeka di rumah dan lebih menikmati youtube
di rumah lalu menemukan
laman pertama internetnya
sejenis “penyanyi dangdut” tadi. Mereka tak punya banyak
kesempatan bermain diatas
tanah, karena tanah berganti rumah atau gedung-gedung menjulang. Polusi
dan industrinya
telah menjamur dimana-mana. Kekhawatiran orang tua bertambah jika anak-anak
mereka pergi keluar rumah. Jauh dari control mereka. Hingga antisipasinya
adalah orang tua akan memberikan fasilitas apa saja yang bisa diberikan demi
kepuasan sang anak bermain. Mengawal
mereka tanpa memberi kesempatan. Berlanjut pada kebosanan anak dan mereka mulai
berontak. Mereka tak payah merasa asing dengan
istilah-istilah internet dan segala aksesorisnya. Keasyikan mereka bermain di
layar computer portable itu menjanjikan
banyak hal lalu lupa pada hakikatnya anak-anak harus mengenal indahnya Tuhan lewat tanah, air, udara
yang diraba dengan indra-indranya. Mereka tetap wajib mengenal Tuhan bukan?
Cukup saya yang menyesal sebab masih rasanya mengenal Tuhan separuh-separuh.
Sekian
menit berlalu. Lagu itu berakhir, namun saya tak kunjung hafal liriknya. Saya
mau hafal agar saya bisa berdendang. Lalu saya putar sekali lagi suara
laki-laki dan perempuan syahdu itu. Kini latar lagu itu berubah dengan alam
yang indah-indah. Ah,.. ini justru membuat saya takut pada hal
dimasa depan yang lain.
Gedung-gedung kian menjulang. Mengisyaratkan berkembangnya
suatu perekonomian. Berupaya mengejar apa saja yang dirasa indah tapi lupa
moral dan tata karma. Hingga kesenjangan akan tetap terjadi. Perkembangan
budaya dimana banyak yang tak lagi sudi hidup berdampingan dengan tanah.
Tinggal dalam kotak-kotak apartemen dan sebangsanya. Langit memang masih biru tapi
semakin banyak orang mengeluh apa
didepan mata bukan yang Tuhan anugrahkan diatas kepala maupun rasa syukur saat memandang
ke bawah.
Saya takut,
kelak karena Tuhan sudah sangat terkenal “Pemaaf” dan “Penyayang” itu maka semakin jarang yang ingin mengenalnya lebih
dekat dan akhirmya menghalalkan apa saja kemudian berdalih, “Nanti saja saya taubat.” Jika
boleh jujur, menyesal dulu saya tak punya keberanian menginjakkan kaki ke
pesantren dikota
atau tempat belajar agama yang intensif. Hanya
tetua adat saja yang menjadi panutan anak-anak suku kami. Orang tua saya pernah
menawarkan, tapi tak ada seorang anakpun dari desa yang memiliki semangat yang
sama. Mereka mengajak saya tetap tinggal sebab kota konon kejam meski dalihnya
belajar agama. Saya pun takut lalu menolak tawaran orang tua namun berjanji tak
malas-malas membaca atau bertanya pada encik guru. Sekarang
menyesal tiada guna. Saya paham.
Hanya dua pilihan yang bisa saya atau
luasnya generasi kami lalukan. Yaitu
mencari solusi atau membiarkan semua tetap begini. Ah,.. masa depan terlalu
payah dibicarakan. Karena semuanya tampak samar. Namun yakin dalam hati saya seperti kata Rara Sekar dan Ananda Badudu, “yang
patah tumbuh, yang hilang berganti.” Semoga yang tumbuh dan berganti itu adalah
kebaikan dan selalu menjadi yang terbaik. Akhirnya masa ini kututup dengan
sekali lagi mendengar lagu dua paduan suara laki-laki dan perempuan itu tanpa
sadar saya terlelap sambil ditatap layar ajaib dimuka saya masih memutar lagu
yang menjadi favorit saya kemudian.
Pondok Pesantren Darun Nun Malang
0 komentar:
Posting Komentar