Oleh : M. Ikhsan Kamaluzaman
Indonesia
dengan 217.500 sekolah, 45.357.157 murid, dan 2.719.712 guru akan tetapi negara
kita merupakan negara dengan performa pendidikan terendah. Menurut PISA (Programme
For Iternational Student Assesment) Indonesia menempati ranking 62 dari 70
negara. Sebuah angka yang sangat fantastis dan tidak berkembang secara
signifikan tiap tahunnya.
Sebuah
riset terbaru Prof. Lant Pritchet dari Harvard University School dia meneliti
anak anak Jakarta usia 15 tahun dan ternyata anak anak kita tertinggal 128
tahun dengan negara lain. Terutama di bidang sains, matematika, dan literasi.
Hal tersebut tentu sangat memilukan melihat bangsa kita sudah merdeka 73 tahun
lamanya dan 6 kali kita berganti presiden namun tak pernah ada perubahan yang
sungguh berarti.
Malu
gak sih? Kita sebagai mahasiswa ternyata kita sudah tertinggal sejauh itu. Why?
Quality Of Education. Ketika kita membicarakan masalah pendidikan
berarti kita sedang membicarakan sekolah dan sekolah berarti guru. Performa
guru di Indonesia menurut data terbaru adalah sangat kurang. Hal ini bisa
dibuktikan dengan UKG (Ujian Kompetensi Guru) Nasional hanya 53.02 dari target
pemerintah yaitu 55.
Apa
yang terjadi jika guru sebagai actor of education tidak mumpuni dalam
memberikan pendidikan itu sendiri? Ya tentunya hasil yang diharapkan pun akan
sangat jauh dari ekspektasi yang ada. Maka salah satu tugas kampus adalah
menyiapkan guru guru yang berkompeten dan handal untuk menyongsong Revolusi
Industri 4.0. Masa digital ini mengharuskan guru untuk bisa lebih cerdas dan
lebih kreatif dari digital yang ada, seperti gadget, laptop, software,
aplikasi, dsb.
Fakultas
Ilmu Tarbiyah & Keguruan atau yang dikenal dengan FITK adalah salah satu
yang paling bertanggung jawab terhadap pendidikan di Indonesia. Pendidikan
menurut teori Bloom ada 3 : Kognitif, Afektif, dan Psikomotorik. Bagaimana
seorang guru di masa milenial bisa memadukan pendidikannya agar terpenuhi 3
aspek tersebut sehingga peserta didik tidak hanya cerdas secara kognitif namun
juga cerdas secara afektif dan psikomotorik.
Memang
benar bahwasanya ada suatu adagium yang berbunyi “tidak semua lulusan atau
alumni fakultas ilmu tarbiyah menjadi guru” akan tetapi jangan hanya berhenti
disitu. Harusnya kita menambahkan dengan
“tidak semua lulusan atau alumni fakultas ilmu tarbiyah menjadi guru,
akan tetapi alumni atau lulusan fakultas ilmu tarbiyah itu harus bisa mengajar”
itulah seharusnya yang menjadi tolak ukur untuk menjadi alumni atau lulusan
fakultas ilmu tarbiyah yang baik.
Di
zaman milenial saat ini guru dituntut untuk benar benar mengikuti perkembangan
zaman tanpa membuang esensi dari pendidikan itu sendiri. Dalam istilah yang
sering digunakan warga NU adalah Al-Muhafadzatu ‘Ala Al-Qodim As-Salih wa
Al-Akhdzu Bi Al Jadidi Al Ashlah yaitu Mempertahankan tradisi dan menerima
pembaharuan. Misalnya saja guru saat ini harus bisa untuk menggunakan Edmodo
atau Google Class atau untuk mahasiswa menggunakan Mendeley untuk menghilangkan
kebiasaan plagiasi, dll.
Selain
itu, guru juga harus selalu kreatif dan inovatif terhadap info info yang
terbaru dalam masalah dunia pendidikan. Rasanya sudah bukan menjadi hal yang
sulit zaman sekarang ini untuk mencari informasi dan data. Kemudahaan mengakses
internet seharusnya bisa digunakan sebaik baiknya untuk para guru lebih belajar
dan membuka mata bahwa peserta didiknya berbeda dengan dirinya di puluhan tahun
yang lalu. Jangan sampai keluar dari mulut kita “Zaman bapak/ibi dulu seperti
ini, kalian bersyukur sekarang seperti ini”.
Nabi
Muhammad sebagai gurunya maha guru di agama Islam, bahkan banyak agama lain
yang mengakui metode yang digunakan beliau. Salah satu hadits beliau yang
masyhur adalah ‘Allimuu Aulaadakum Fainnahum Makhluquuna Lizamanin Ghairi
Zamanikum yang artinya ajarkanlah anak kalian karena mereka akan hidup di
zaman yang berbeda dengan zaman kalian. Dari hadits tersebut menunjukan bahwa
Nabi sangat visioner melihat pendidikan sebagai sesuatu yang sangat penting.
Di
dalam kitab yang berjudul Limadza Taakkhara Al-Muslimun Wa Taqaddama
Al-Gharbiyyun? Salah satu jawabannya adalah Lianna A’malana A’maluhum wa
A’malahum A’maluna yang artinya karena karakter kita menjadi karakter
mereka dan karakter mereka menjadi karakter kita. Pada zaman Abbasiyah ilmu
sangat dihargai dan diapresiasi oleh pemerintah saat itu sampai sampai semua
riset dan terjemahan dari buku buku Yunani beratnya dihargai dengan emas. Dan
pada saat itu umat selain islam berada di masa kegelapan karena kejumudan
mereka terhadap ilmu pengetahuan.
Di
dunia islam kita mengenal Al Farobi, Al Khowarizmi, Al Jabbar, Ibnu Rusyd, Al
Ghazali, Ibnu Khaldun, Ibnu Sina, Ar Razy dan banyak lagi. Mereka mereka adalah
penemu sekaligus pencetus berbagai macam cabang ilmu yang kita kenal hari ini.
Akan tetapi orang barat sebagai negeri adidaya banyak menghapus sejarah
tersebut dan menulis ilmuwan mereka sebagai penemunya.
Semua
hal tersebut seharusnya menjadi motivasi kepada kita calon guru guru milenial
untuk mempelajari hal seperti itu sehingga bisa menjadi pecutan terhadap
peserta didik untuk belajar lebih giat dan belajar tak kenal waktu dan tempat.
Ki Hajar Dewantara bapak Pendidikan Nasional pernah berkata “Semua tempat
adalah sekolah dan semua orang adalah guru” dari perkataan itu kita bisa
menanamkan di pikiran para peserta didik bahwasanya belajar tak dapat
disempitkan maknanya sekolah dan guru sekolah saja.
Salah
satu problem kenapa para guru tak kunjung meningkat performanya adalah karena
masih banyak guru terutama di desa yang digaji sangat murah. Hal tersebut
berdampak kepada pola pikir guru untuk bisa focus mengajar menjadi terpikirkan
mencari pekerjaan lain agar terpenuhinya kebutuhan rumah tangga. Saat ini
pemerintah sudah menaikkan anggaran pendidikan menjadi 20% namun untuk
pemerataannya masih jauh dari kata maksimal. Karena sampai kapanpun jika
ekonomi para guru belum membaik maka kualitas mereka pun tak akan membaik.
Presiden
Joko Widodo pun juga sudah meggerakan program revolusi mental akan tetapi hal
tersebut belum terlihat signifikan sebagai penanaman tentang pendidikan karakter
dalam skala nasional. Rasanya pemerintah harus memerhatikan guru lebih intens
agar tercapai tujuan dari program revolusi mental. Jika guru sudah terpenuhi
ekonominya maka tujuan dari revolusi mental akan sangat mudah diwujudkan. Akan
tetapi langkah bapak presiden untuk focus terhadap infrastruktur pun jangan
dianggap remeh. Karena itu sangat berkaitan dengan ekonomi dan pada jangka
panjangnya akan berimbas terhadap baiknya ekonomi nasional dan berimbas
terhadap guru pada akhirnya.
Selain
itu semua, peran masyarakat pun menjadi yang terpenting. Masyarakat yang baik
adalah masyarakat yang mencintai tanah airnya dan salah satu dari 1001 cara
mencintai tanah air adalah dengan mendukung pemerintah. Era digital yang sangat
kuat sudah mempengaruhi berbagai macam pola pikir masyarakat untuk menolak
pemerintah bahkan memboikotnya. Hal tersebut akan berakibat juga secara tidak
langsung terhadap pendidikan. Karena pendidikan pertama seorang anak adalah
keluarganya. Maka menjadi masyarakat yang cerdas pun bagian dari tujuan UUD
1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
0 komentar:
Posting Komentar