Oleh: Dinantari Susilo
“Sholli
Wasallimda Iman ’Alamada
Sholli
Wasallimda Iman ’Alamada
Wal Ali Wal
Asha Biman Qod Wahhada
Wal Ali Wal
Asha Biman Qod Wahhada “
Begitulah
pagi ini lantunan shalawat yang biasa terdengar di kajian Cak Nun sukses
membuat saya tertegun, takjub dan merasakan Allah menyentuh hati umat bisa dari
mana saja. Pasalnya syiir yang ramah ini dilantunkan oleh seorang perempuan
asal Amerika diiringi alat musik gambus (al’oud) yang ia mainkan sendiri. Kemudian
otomatis diikuti oleh semua orang satu ruang seminar pagi ini. Berkolaborasi
dadakan bersama grup shalawat Banjari UIN Malang membuat elegi pagi mencari
ilmu semakin membuncah. Sungguh pembukaan majelis ilmu yang tidak biasa.
Masih
pada bagian pembukaan, sudah banyak hal yang membuat saya merasa terinspirasi
dari tiga orang hebat yang tengah berdiri dihadapan para audiens hari ini.
Salah satunya adalah fakta bahwa Ustadz Yahya, begitu pembanding bedah buku
hari ini disapa, adalah asisten penelitian Bu Anne, sapaan pemateri utama,
ketika berada di Filipina. Bahkan ketika Bu Anne konser di Manila, Ustadz Yahya
adalah vokalis tunggal di konser tersebut. Oleh sebab itulah dalam bukunya Bu
Anne telah secara khusus memberikan terima kasihnya kepada Ustadz Yahya. Mengenang
masa-masa tersebut membuat mereka yang telah 13 tahun tidak bertemu kembali
bernostalgia.
Sebelum
menyampaikan materi utama, Ustadz Yahya memberikan pendapatnya tentang buku
karya Bu Anne. Beliau menyampaikan bahwa inilah contoh penelitian etnografi
yang sesungguhnya. Dibutuhkan waktu yang tidak sebentar hingga bertahun-tahun
namun sepadan dengan hasilnya yang konkret dan lengkap. Dalam hal ini, kita
sebagai civitas akademik hendaknya meniru semangat belajar orang barat dalam
hal ini yang total dalam menggali sebuah ilmu. Beliau bahkan menceritakan bahwa
Bu Anne memiliki beragam kaset dan CD musik islam. Dari Nasidariyah hingga
musik gambus Roma Irama. Jika sebagian besar kita tahu Roma Irama adalah raja
dangdut, sebenarnya Roma Irama menjajaki dunia Gambus lebih dulu. Kemudian beliau
juga sampaikan salah satu hal yang beliau dapat dari buku Bu Anne adalah, bahwa
patriarki tidak bisa kuat menetap di Indonesia sebab Indonesia memiliki Islam
yang memberikan wanita ambil porsi dalam kegiatan bermasyarakat dan
bersosialisasi. Bahkan lebih banyak kegiatan sosial dalam kehidupan
bermasyarakat yang diprakarsai oleh perempuan.
Selanjutnya Bu Anne mengambil alih
sesi bedah buku. Jauh dari prakiraan saya, yang saya sangka hari ini akan lebih
banyak mendengar Ibu Anne (sapaan Anne Rasmussen) berbicara dalam bahasa
inggris, ternyata tidak terjadi. Beliau sangat lancar berbahasa Indonesia meskipun
ada beberapa hal yang masih beliau sampaikan dengan bahasa inggris. Serta merta
itu tidak mudah. Demi penelitiannya beliau mengambil kelas belajar bahasa Indonesia
untuk beberapa waktu. Bu Anne mengisahkan perjalanan hidup dan penelitian adalah
satu kesatuan. Sudah tidak bisa dipisah katanya. Sedikit kilas balik melalui
pembukaan yang ia sampaikan, Bu Anne pertama kali datang ke Indonesia pada
tahun 1996. Saat itu suaminya mendapat tugas di kementrian lingkungan hidup di
Jakarta. Konon selama di Indonesia saat itu, beliau takjub dengan kemeriahan
Islam di Indonesia. Dimana-mana didapatinya orang membaca, melantunkan Al-qur’an,
menyanyikan syiir arab dan shalawat diberbagai kesempatan. Hal ini mungkin
dipengaruhi waktu kedatangan beliau juga bersamaan dengan nuansa ramadhan. Beliau
mendapati disekitarnya tahlilan, sholawatan, pujian setelah adzan, tilawatil qu’an
oleh qori qoriah dan banyak lagi. Semuanya dibaca dengan nada dan suara yang
berbeda. Rasa kagum sekaligus penasaran membuatnya kembali ke Amerika dan
menyusun proposal untuk mendapatkan beasiswa melakukan penelitian di Indonesia
tentang musik dan etnologinya. Kemudian barulah beliau melakukan penelitian
resminya pada tahun 1999. Sejak saat itulah beliau mulai rajin datang dan
mengikuti perkembangan lomba-lomba tilawatil qur’an, mushabaqah tilawatil qur’an,
lomba banjarian hingga dakwah-dakwah islam yang dibawakan dengan musik seperti grup
musik Cak Nun dan Kiai Kanjeng. Beberapa kali pula Bu Anne juga ikut dalam acara
shalawatan bersama Habib Syech. Demi mempelajari pola, ciri khas dan berbagai
hal menarik dari segi musik dan cara setiap pelaku seni yang terlibat
melokalikasikan budaya arab ke daerah-daerah.
Bu Anne sungguh
mengagumkan dimata saya. Bagaimana tidak, meskipun beliau bukan dari Indonesia,
bukan pula seorang muslim namun beliau belajar budaya timur tengah hingga ke
Arab dan menemukan bahwa konon musik dan Islam tidak pernah cocok. Apalagi
dibawakan oleh perempuan. Beberapa hasil perjalanan dan observasinya, beliau
menemukan data bahwa musik menurut sebagian tokoh Arab bukanlah hal yang baik
karena membawa manusia bisa lupa dan gila terhadap irama dan syair yang melenakan.
Disampaikan oleh salah satu tokoh universitas Al-Azhar yang Bu Anne tunjukkan
videonya, orang itu menambahkan pula selain musik tidak baik, perempuan tidak
diperbolehkan menggunakan suaranya untuk diperdengarkan untuk orang lain. Karena
suara adalah bagian dari aurat dan mampu melenakan pula. Meskipun wanita-wanita
di Al-Azhar diajarkan pula menghafal dan membaca Al-Qur’an namun tidak untuk
diperdengarkan kepada orang lain apalagi dipertunjukkan untuk hiburan. Bu Anne
mendapati hal ini sungguh terbalik dengan yang terjadi di Indonesia. Islam
memunculkan coraknya sendiri melalui musik.
Karena sudah tertarik dengan Indonesia, maka
mulailah beliau menelaah musik arab di Indonesia. Yang secara otomatis membuat
Bu Anne turun juga ke sejarah masuknya Islam. Sebagaimana Islam didakwahkan
Nabi ratusan tahun yang lalu di Arab namun akhirnya tiba juga di pelosok
Indonesia melalui jalur sutra. Bu Anne meneliti sejarah dan perkembangan musik
di daerah-daerah jalur sutra (jalur perdagangan samudra hindia) hingga sampailah
kepadanya kisah dakwah sembilan wali Allah di Indonesia. Wali Songo atau
Sembilan Wali (The Nine Saint) banyak sampaikan dakwah lewat tembang, dan lagu-lagu
hingga mudah diterima baik oleh orang Indonesia. Dan sangat boleh dilantunkan
oleh siapapun.
Bagi Bu Anne kehadiran Islam telah dirayakan dengan
damai melalui musik di Indonesia. Budaya arab yang dibawa oleh para wali juga
oleh orang Indonesia di-pribumi-kan dengan cara yang kreatif dan beragam.
Berbeda dari satu daerah ke daerah lain. Namun yang membuat Bu Anne kagum dan takjub
adalah bahwa tidak ada perbedaan berarti dalam musik dan permainan nada dan
irama dalam islam. Wanita Amerika itu sepakat bahwa Al-Qur’an dibaca, diubah
menjadi seni tilawatil qur’an bukanlah musik. Namun ia memiliki irama dan ciri
khas yang menarik. Al-Qur’an boleh dibaca dengan sebuah standar namun tidak
membedakan antara laki-laki dan perempuan. Bahkan juara MTQ yang beliau kenal
adalah seorang perempuan, Hj. Maria Ulfah yang kemudian mengajarkan ilmunya
kepada qori’ qoriah dengan metode serupa. Tidak ada metode yang berbeda untuk tilawahnya
laki-laki maupun perempuan. Bu Anne bahkan menunjukkan bukti dengan sebuah
video singkat bagaimana Hj. Maria Ulfah mengajarkan murid-muridnya seni
tilawatil qur’an di satu tempat yang sama. Baik laki-laki maupun perempuan.
Tidak ada diskriminasi atau pembeda dari seni baca
Al-Qur’an dan tidak seperti musik yang selama ini jika dibahas selalu
mengaitkan diri dengan gender. “Men play, women sing.” Entah mengapa pula dalam
batin Bu Anne, musik memiliki gender padahal semua orang bisa sama-sama bernyanyi
dan memainkan alat musik. Bahkan konon alat musik pun memiliki gender. Gitar,
saxophone hanya boleh dimainkan laki-laki, sementara perempuan hanya boleh
menyanyi. Bu Anne melihat Indonesia begitu ramah, terbuka terhadap seni musik.
Bu Anne merasa bersyukur pada keramahan orang
Indonesia terhadap antusiasnya mencari ilmu. Jika beberapa orang peneliti
seperti dirinya pernah di depak pulang ke negaranya karena tidak memiliki izin,
beliau tidak merasa khawatir sebab Bu Anne telah resmi dibiayai beasiswa dan
beliau sendiri pun tidak serta merta menulis apa yang ia lihat dan rasakan.
Kebiasaanya meminta dikoreksi, mengklarifikasi hingga beberapa kali kepada
banyak pihak yang memiliki ilmunya membuat Bu Anne selalu disambut hangat oleh
banyak pesantren besar di Indonesia perguruan tinggi islam, diundang ke
berbagai acara konsultan penelitiannya dan banyak lagi. Menurut beliau inilah
sebenarnya kehidupan dan penelitian yang ia tekuni bahwa tidak bisa kajian ilmu
hanya sekedar dari buku maupun internet. Kita harus terjun langsung dan ikut
bersama mereka. Orang-orang yang terkait dalam penelitiannya telah menjadi
kawan dekat bahkan saudara untuk beliau.
Begitulah acara
hari ini berlangsung sekitar dua jam ditambah sesi pertanyaan. Berlangsung
lancar dan penuh kehangatan karena Bu Anne, Ustadz Yahya dan Pak Rois adalah
orang-orang besar yang mampu membawa kekakuan akademik menjadi luwes dipahami
dan dimaknai pribadi masing-masing. Namun ada sedikit kesedihan bagi saya sebab
kesempatan saya bertanya harus tertunda. Lima kesempatan bertanya harus
direlakan milik orang lain. Namun tidak juga terlalu sedih sebab mendapat ilmu
yang sedemikian banyak tak membuat saya pulang dengan hampa hati. Mulai dari
sikap totalitas dalam mencari ilmu, merasakan toleransi, bertoleransi, berfikir
kritis dan yang terpenting menjadi rendah hati dengan berapapun ilmu yang sudah
kita dapat dan seberapa jauh dunia telah dijelajahi. Kesan yang terakhir saya
dapati dari bagaimana Bu Anne menanggapi berbagai pertanyaan yang datang dan
beliau mengapresiasi setiap pertanyaan dan memberikan harapan terbaik untuk
penanya. Sesi bedah buku harus berakhir karena pemetik dawai al’oud ini harus
naik pesawat pukul satu siang.
Pondok Pesantren Darun Nun Malang
0 komentar:
Posting Komentar