Oleh : Ilman Mahbubillah
Islam
sebagai agama dan budaya yang masuk ke Indonesia dengan damai dan
saluran-saluran penyebaran yang membuat ajaran Islam sangat mudah diterima oleh
masyarakat Nusantara. Perkembangan agama dan budaya Islam di Indonesia
mempunyai pengaruh sangat besar terhadap terbentuknya Indonesia, termasuk
menjadikan Indonesia memiliki identitas sebagai salah satu negara Muslim
terbesar didunia. Dengan ummat yang jumlahnya tentu lebih dari jutaan
orang tentunya memiliki pandangan yang berbeda mengenai konsep tentang
kewarganegaraan.
Kewarganegaran didasari atas 2 kata
yang mempunyai keterkaitan, yaitu warga dan negara. Mengenai konsep negara seringkali
terdapat persamaan pandangan antara “negara” dan “bangsa” seperti dalam
ungkapan “demi kehidupan berbangsa dan bernegara” atau “menjalankan rasa
tanggungjawab terhadap bangsa dan negara”. Dhakidae (2001) menyatakan dalam
pengantarnya pada buku “Imagined Communities” (2008) bahwa jika kita memahami lebih dalam lagi
terlebih kita mempunyai pandangan historis mengenai negara dan bangsa maka akan
timbul kebingungan. Kondisi ekonomi yang terguncang terlebih dengan masuknya
modal asing membuat perbincangan mengenai kewarganegaraan terutama mengenai
bangsa dan mengenai negara dianggap sangat membosankan.
Ummat Islam sebagai salah
satu bagian dari warga negara di Indonesia mengalami sedikit banyak perubahan
kesadaran tentang kewarganegaraan, diawal munculnya kerajaan-kerajaan Islam
sebagai bentuk keberlanjutan sistem birokrasi masa klasik (Hindu-Buddha) status
sebagai warga sangat dipengaruhi oleh keputusan Raja atau Sultan yang berkuasa
disetiap wilayahnya. Bumiputera, orang-orang asing (India, Arab dan Tiongkok)
utamanya golongan pedagang statusnya sebagai warga negara harus memiliki
pengakuan dari Raja atau Sultan yang berkuasa sebagai orang yang sedang berada
dalam naungannya sehingga memiliki status sebagai warga negara dari suatu
kerajaan.
Identitas sebagai warga negara
kemudian berkembang setelah masuknya pengaruh orang-orang Eropa ke Nusantara
terlebih Belanda yang sangat lama menetap dan berpengaruh terhadap perkembangan
dari Nusantara ke Indonesia termasuk perubahan status kewarganegaraan. Orang-orang
Eropa khususnya Belanda mulai menggerus legitimasi kerajaan-kerajaan Islam dan
merubah status sosial yang didasarkan atas ras, orang-orang Eropa kini menjadi
warga negara yang memiliki tujuan untuk memberadabkan masyarakat Indonesia.
Kuatnya pengaruh orang-orang Eropa menimbulkan perlawanan bagi masyarakat
terutama kuatnya pengaruh di bidang ekonomi yang membawa dampak sangat besar
termasuk ke dalam bidang politik, sosial dan budaya yang menimbulkan gejolak
dan atas dasar semangat jihad ummat Islam dan warga Indonesia lainnya mendapatkan
kemerdekaan termasuk status kewarganegaraan yang merdeka.
Perkembangan identitas ini menarik
minat penulis, terutama kajian historis tentang ummat Islam di Indonesia
sehingga penulis melakukan kajian mengenai perkembangan identitas
kewarganegaraan ummat Islam di Indonesia. Berdasarkan latarbelakang yang
telah penulis kemukakan maka penulis mengambil judul “Dinamika Identitas Ummat
Islam di Indonesia: Suatu Kajian Historis”.
Identitas Warga Negara Indonesia
Identitas warga negara terutama di
wilayah Asia Tenggara dikenal sebagai warga negara yang religius, baik sebagai
negara muslim maupun non-muslim. Beberapa negara yang kuat dengan identitasnya
sebagai negara muslim adalah Malaysia, Brunei dan Indonesia sebagai yang mempunyai
jumlah ummat terbesar. Bahkan identitas mereka sebagai warga negara yang
religius sangat nampak sebelum mendapatkan kemerdekaan (Zulkarnain, 2017:1). Identitas
warga negara di Asia Tenggara selalu mengikuti kultur yang berkembang, seperti
di Indonesia karena kuatnya pengaruh kerajaan-kerajaan Islam di Jawa membuat
corak yang berkembang adalah mencerminkan identitas Jawa.
Dalam
masyarakat Islam Indonesia mereka memiliki cita-cita mendapatkan pemimpin adil
yang disebut Ratu Adil, istilah ini adalah model akulturasi yang mengadopsi
ajaran Islam tentang seorang pemimpin keturunan Nabi Muhammad SAW yakni Imam
Mahdi. Istilah ‘adil’ bisa dikatakan Islami jika merujuk pada pengertian
harapan munculnya Imam Mahdi, istilah ini juga bisa saja utopis (tidak jelas)
karena kondisi masyarakat Islam di Indonesia saat itu masih pada tataran negara
feodal dan disisi lain kita sedang berada dalam pengaruh dan penindasan
kolonial sehingga kita sedikit banyak menyaksikan dalam sejarah terdapat
perlawanan terhadap kedua hal tersebut (Kuntowijoyo, 2017:25).
Pada masa itu ummat Islam masih
dalam tahapan mengikuti Kyai, Haji dan Sunan sebagai perwujudan dari ajaran
juga sebagai bentuk hierarki organisasi pergerakan. Kyai, Haji dan Sunan mereka
yang memobilisasi pergerakan masyarakat terutama ummat Islam di
Indonesia, ummat Islam terpecah dalam bagian-bagian kecil tingkat lokal sesuai
kekuatan pengaruh tokoh berkharisma tersebut seperti dalam Pemberontakan Petani
Banten tahun 1888 yang dipimpin oleh tokoh-tokoh agama seperti Kyai dan Haji
dengan tujuan menolak westernisasi dan sebagai bentuk dari ajaran Jihad melawan
kafir yang dikobarkan kalangan ulama dari setiap sekolah dan juga dari kalangan
penganut tarekat yang semakin gencar melakukan pergerakan dan mobilisasi
terutama kepada petani yang saat itu menjadi kekuatan dengan jumlahnya yang
begitu banyak dengan nasib yang sama, menolak westernisasi dan pengaruh
kolonial (Kartodirdjo, 1984:15).
Dalam ajaran Islam kita memang tidak
mengenal status atau stratifikasi sosial, namun realitanya dalam masyarakat
masih terdapat hal semacam ini termasuk yang melatarbelakangi pemberontakan
petani di Banten menganai status sosial atau stratifikasi sosial yang disebut “Undakan”
dalam sistem ini yang menduduki tingkat paling atas adalah Sultan sebagai Raja
namun setelah masuknya pengaruh Kolonial terutama setelah jatuhnya Kerajaan
Banten membuat stratifikasi sosial ini mengalami perubahan yang menyesuaikan
dengan sistem Eropa (Kartodirdjo, 1984:30) sehingga menyebabkan rasa tidak
senang bagi elite lokal yang tidak disukai pemerintah kolonial dan para
pengikutnya. Hal inilah yang menyulut pemberontakan kaum petani di Banten.
Hal ini dapat disimpulkan bahwa
identitas masyarakat Islam Indonesia sebagai warga negara yang religius
sebenarnya sudah ada dan sangat kuat bahkan sampai pada masa pergerakan,
kemerdekaan dan sampai era kontemporer ini. Dapat dibuktikan dengan sila
pertama sebagai sila pertama sebagai inti yang mendasari sila-sila lainnya
dalam pancasila sebagai dasar negara. Sila pertama yang berasaskan pada nilai
religi dan ketuhanan membuat semakin kuatnya identitas kewarganegaraan
Indonesia sebagai warga negara yang religius termasuk identitas ummat
Islam didalamnya.
Dinamika Identitas Warga Negara Ummat Islam
di Indonesia
Ummat Islam sebagai salah
satu bagian dari warga negara Indonesia yang menjadi idnetitas Indonesia
sebagai negara dengan basis dan jumlah ummat Islam terbesar dunia,
tentunya memiliki pandangan dan persepsi terhadap kehidupan berbangsa dan
bernegara. Sebagai masyarakat religius, ummat Islam di Indonesia memiliki
pengaruh cukup besar dalam upaya menjadikan Indonesia negara multikultural
terbesar di dunia (Zulkarnain, 2017:40).
Peranan ini sesuai dengan perjalanan
historis ummat Islam di Indonesia, di masa kerajaan-kerajaan Islam ummat
Islam di Indonesia hanya sebagai warga negara kelas bawah yang tunduk dan patuh
terhadap aturan yang dibuat pemerinah kolonial. Identitas warga yang cenderung
taat kepada pemimpin sebagai keberlanjutan dari masa Hindu-Buddha yakni raja sebagai
titisan Dewa atau dikenal dengan istilah Dewa Raja yang berubah menjadi
Khalifatullah atau juga Sultan. Identitas kewarganegaraan ummat Islam saat itu
masih bersifat patrimonialis, artinya segala sesuatu dalam pemerintahan
termasuk birokrasi dan stratifikasi sosial masyarakat bersifat sentralistik
kepada Raja/Sultan/Khalifah yang masih menganut nilai-nilai tradisional
(Kuntowijoyo, 2017:24).
Identitas ini semakin diperkuat oleh
hadirnya bangsa Eropa yang semakin menyudutkan ummat demi kepentingan bangsa-bangsa
Eropa dan elite penguasa lokal sehingga menimbulkan banyak sekali
pergolakan termasuk pemberontakan seperti pemberontakan petani banten, perang
diponegoro dan perang padri. Kemudian pada msa pergerakan sebelum kemerdekaan
ummat Islam mulai memindahkan arah gerakannya dengan membentuk
organisasi-organisasi yang mewadahi aspirasi ummat sebagai bentuk
eksistensi sebagai warga negara di Indonesia.
Munculnya Sarekat Islam sebagai
penyempurnaan dari Sarekat Dagang Islam sebagai upaya ummat Islam mewadahi
golongan-golongan pedagang Islam untuk menyuarakan aspirasi dan melawan
dominasi pedagang Eropa dan Tionghoa pada masa itu, pada perkembangannya
Sarekat Islam kemudian terpecah dan menghasilkan salah satunya adalah PKI (saat
itu masih belum menjadi partai) yang
arah pergerakannya sangat masif bahkan sampai menjadi partai yang menyebabkan
pemerintah kolonial begitu ketatnya mengawasi pergerakan organisasi-organisasi
termasuk ummat Islam (Ingleson, 2013: 300).
Awal abad 20 identitas
kewarganegaraan ummat Islam di Indonesia berubah dengan munculnya
masyarakat kelas baru yakni kelas menengah yang terdiri atas pedagang dan
pengusaha, jika pada periode sebelumnya identitas ummat Islam adalah
sebagai kawula maka pada masa ini ummat Islam merasa dirinya sebagai wong
cilik (orang kecil). Konsep ini berbeda dengan sebelumnya, jika sebelumnya
pada konsep Kawula hubungannya dengan Gusti sedangkan konsep wong cilik lebih
merupakan konsep horizontal (Kuntowijoyo, 2017:27).
Pade periode ini kesadaran ummat
Islam mulai berubah yang sebelumnya mempunyai kepercayaan mistis dan utopis
maka pada masa ini ummat Islam mulai merumuskan konsep ideologis.
Seperti yang dijelaskan penulis pada paragraf mengenai kemunculan Sarekat Islam
sebagai perkembangan dan penyempurnaan dari Sarekat Dagang Islam, pada periode
ini ummat Islam mulai berkelompok dan membentuk identitas sebagai warga negara
yang memiliki pandangan rasional dan tidak serta merta mengikuti tokoh-tokoh
kharismatik seperti Haji, Kyai dan Sunan sebagaimana pada periode sebelumnya
(Kuntowijoyo, 2017:28). Pada periode ini ummat Islam bukan hanya menekankan
pada aksi-aksi massa dan pemberontakan tetapi lebih banyak membentuk
asosiasi-asosiai seperti Muhammadiyah, Al-Irsyad dan Nahdlatul Ulama. Namun
penyakit ummat Islam di Indonesia saat itu sampai dengan saat ini adalah
munculnya golongan-golongan seperti anggapan “modern” dan “kolot”.
Datangnya pemerintahan fasis Jepang
ke Indonesia mengubah pandangan dan identitas ummat Islam di Indonesia, dengan
hadirnya tugas-tugas baru seperti kewajiban serah beras, kewajiban militer dan
berdakwah untuk kepentingan Jepang. Disisi lain tokoh-tokoh kharismatik seperti
Kyai dan Haji mulai diikutsertakan dalam pemerintahan sebagai upaya menarik
perhatian ummat Islam agar tunduk dan patuh kepada Jepang. Hal ini sangat
berbeda dengan yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda yang meminggirkan
golongan santri. Tokoh-tokoh seperti K.H.A Wakhid Hasyim yang menjadi semacam
Menteri Agama dan beberapa tokoh lainya yang menjadi pemimpin organisasi
seperti PETA dan Hizbullah serta Sabilillah.
Pasca pendudukan negara fasisme
Jepang, ummat Islam di Indonesia kali ini benar-benar menunjukkan identitasnya
sebagai warga negara. Identitas ini merujuk pada langkah historis ummat
yang merumuskan UUD menentukan dasar negara dan ikut merumuskan dan
memperjuangkan kemerdekaan sebagai tempat bernaungnya ummat untuk
keberlangsungan kehidupan ummat juga (Kuntowijoyo, 2017:31).
\
Simpulan
Identitas warga negara di wilayah
Asia Tenggara khususnya Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang religius,
bahkan sebelum masuknya pengaruh agama dari India dan Timur Tengah identitas
kewarganegaraan masyarakat bersifat religius. Identitas ini pada akhirnya
memudahkan masuk dan berkembangnya ajaran-ajaran agama dan kebudayaan yang
menyertainya, sehingga identitas religius kewarganegaraan di wilayah Asia
Tenggara khususnya Indonesia menjadi semakin kuat.
Ummat
Islam sebagai warga negara Indonesia mempunyai proses yang panjang dalam upaya
pembentukan identitas kewarganegaraannya, ummat yang awalnya menjadi kawula
dan tunduk serta patuh kepada raja atau sultan status ini sebagai keberlanjutan
dari konsep Dewa Raja pada masa Hindu-Buddha. Periode Selanjutnya ummat
Islam berubah identitasya menjadi wong cilik dengan kehadiran masyarakat
kelas baru yakni kaum pedagang.
Pondok Pesantren Darun Nun Malang
0 komentar:
Posting Komentar