Gagang sapu telah kembali
pada tempat semula dan marmer putih telah bersih dari noda. Merasa sedikit penat
aku mengistirahatkan diri pada sebuah kursi jati polos tak berukir disudut
ruang tamu sambil memandang langit –
langit penuh bekas rambesan air dengan nafas yang kembang kempis. Beberapa
saat terdengar suara mobil parkir di depan rumah, dari mobil pick up tersebut
keluar laki – laki paruh baya disusul
istrinya dengan balita bergelayutan manja dalam gendongannya.
“Assalamualaikum”, salam lelaki paruh
baya tersebut.
“ Wa’alaikumsalam “ aku menjawab dan mencium tangan laki–laki dan sang istri bergantian
“ ibu ada nduk ? “ Tanya sang istri
kepadaku .
“ Wonten lek “ jawab ku.
“ Kok dirumah nduk, sudah selesai
kuliahnya ?”. Tanya lelaki yang merupakan adik ipar dari ibu.
“ Belum pak lek, ini masih ngurus skripsi”, jawab ku.
“ Semester berapa sekarang ?“. Tanya pak
lek.
“ Semester delapan pak lek “ aku menjawab
“ emmm, yaudah segara diselesaikan" nasihat pak lek
“ injeh, Mohon doanya juga pak lek" jawab ku sembari mohon doa.
Percakapan berhenti dan teralihkan oleh
kedatangan ibu yang baru selesai mandi.
Kemudian ibu menginstruksikanku untuk membuatkan minuman. Dari dalam dapur terdengar
samar – samar pembicaraan mereka, tidak tahu pasti apa yang dibicarakan
sepertinya bukan perkara hal yang teramat serius. Setelah meletakan
minuman dimeja tersebut kemudian aku duduk dilantai bermarmer putih. Sambil mendengarkan percakapan antara kaka
beradik tersebut.
“ Alahamdulillah rumahnya sudah bagus
sekarang, padahal cuma buka warung kopi lo mbak tapi bisa menguliahkan anak dan
bangun rumah juga”, ucap pak lek
“ Enggih Alhamdulillah, dulu tidak
kepikiran bakal bisa bangun rumah, Bisa
nyekolahin anak sampe lulus SMA aja ketir – ketir bisa apa enggak “ . Jawab ibu.
“Yowes podo ae Mbak . Saya ini juga sudah
jatuh bangun, Pekerjaan apa saja sudah saya kerjakan , dari pedagang sayur, pedagang
kerupuk, ujungnya jatuh juga”, jawab pak lek setelah menyeruput kopi yang
aku hidangkan.
“Alhamdulillah sekarag sudah enak jadi penjual bunga, walupun perjuangan juga
iki mbak, dari bermodalkan motor kulakan bunga dari malang ke bojonegro subuh -
subuh kedinginan, sekalinya punya mobil
dicuri orang”. Tutur pak lek.
“ Halah ilang siji Mbalik telu” Jawab ibu
“ hehehe… , yo Alhamdulillah Mbak, ini
juga berkat bantuan jenengan, yang
sering bersedia di utangi”. jawab pak lek
“ Yo jenenge dulur, piye gak piye yo
kudu direwangi sak isone” jawab ibu sembari
mengendong keponakanya.
Mendengar percakapan
kakak beradik tersebut membawa lamunanku pada kenangan masa lalu dimana ekonomi
keluarga sedang susah – susahnya. Ingat sekali disaat semua tetangga kebanyakan
sudah punya motor, keluargaku hanya punya sepedah ontel. Satu sepada punya bapak “jengki” tua waran hitam, satu lagi sepadah
mini warna pink yang sebernarnya dibelikan untukku sebegai kendaraan untuk sekolah
tapi pada akhinya sering digadaikan jika keuangan mulai sangat memburuk karena
bapak tidak ada pekerjaan dan ditebus lagi kalau sudah membaik. Setiap hari
hanya sarapan tempe dua buah sebelum berangkat sekolah, berangkatnya pun
akhirnya nebeng sama temen karena jaraknya cukup jauh untuk dilalui dengan
jalan kaki. Dulu mau makan bakso saja harus nunggu sisa dari adikku. Bapak dan
ibu tentu saja tidak merasakan bakso tersebut karana hanya mampu utuk beli satu bungkus saja dengan
harga tiga ribu rupiah saja.
Saat semua teman bapak
sering kumpul diwarung kopi, bapak hanya mengurung diri di rumah karena tidak
ada uang. jika teman – temanya bisa menghabisakan beberapa bungkus rokok dalam
sehari bapak hanya mencukupkannya dengan tiga batang rokok saja dengan harga
seribu. Sedangkan ibu pernah sampai
keguguran gara – gara harus berjalan kaki dengan bawaan dagangan yang tidak
ringan setiap harinya.
Rumah masih ikut sama
Mbah Dok dari bapak. seadanya beralaskan tanah, hujan deras bocor sudah biasa, dapur
kebanjiran juga sudah biasa buat kami. musim kemarau kekeringan harus cari air sampai jauh
juga biasa bagi kami. Keluarga kami tak memiliki sawah seperti tetangga yang
lainya dan juga tidak punya hewan ternak. Walaupun dulu sebelum Mbah Nang
almarhum, keluarga punya sawah yang cukup produktif, akan tetapi dijual saat mbah sakit dan
membutuhkan pengobatan lebih. Akhirnya setelah Mbah Nang meninggal dunia, bapak
hanya bekerja sebagai Kuli bangunan dan ibu jualan dikantin sebuah TK kecil
yang ada di desa.
Tapi sungguh tak
sekalipun ada keluh kesah dihati meraka. Bahkan akupun tak pernah merasakan
kesedihan yang teramat sangat saat temanku yang lain bisa makan enak jalan –
jalan ketempat wisata, dan pakai baju bagus pun aku tak terlalu memperdulikanya.
Mungkin karena keluargaku memang diajarkan untuk “Triman” apapun yang ada ya dinikmati, ketidakadaan
pun juga harus dinikmati. Tak pernah sekeluarga merasa miskin karana merasa
cukup.
Mungkin buah dari
kesabaran dari bapak, ibu dan pak lek yang membuat meraka bisa menjadi seperti
sekarang. Bukan orang kaya juga sebenernya, masih banyak di desa yang lebih
kaya daripada kami. Tapi rasa “Triman” itulah yang membuat orang – orang
memandang kami kaya.
“ Sekarang nduk tugas kamu untuk belajar
yang pinter.”
“ jangan lupa sama orang tua dan jadi
orang yang legowo”.
Nasehat dari pak lek sesaat sebelum pamit untuk pulang membuyarkan lamunanku. Dulu aku sekeluarga
bisa menerima dengan lapang dada apapun keadaan yang ada di kelurga kami. Soal
makanan pun kami tak pernah rewel. Terus kenapa sekarang aku yang sudah besar
ini malah terkesan manja, maunya yang enak dan pasti – pasti aja. Mungkin
kedatangan pak lek sore itu sebenarnya peringatan untuk kembali pada masa
kecilku yang lebih dewasa dan Triman dengan semua pemberian Tuhan.
Na’aN
Malang, 8 mei 2019
Pondok Pesantren Darun Nun
Ujung kamar nomer 4 dengan lampu
padam
0 komentar:
Posting Komentar