Oleh : Neng Sumiyati
Bulan
Ramadan menjadi bulan yang paling dinanti bagi para perantau, karena ada
penantian dan harapan yang sudah dinanti sejak lama, membahas tiket pulang
menjadi kebiasaan sehari-hari ketika bulan Ramadan tiba, ada cahaya binar
tersendiri ketika memeriksa tiket pulang atau ada yang tertunduk sepi dan
bertanya pada diri mengapa harus pulang.
Pulang
bukan hanya sekedar menuntaskan kerinduan, namun juga memperbarui harapan,
sering kali kita mendengar pepatah bahwa “ Sang Perantau pantang pulang sebelum
sukses”, tentu saja slogan yang sudah tidak asing lagi ditelinga kita, bukan
hanya sekedar ungkapan namun juga ada tekad didalamnya.
Menggengam tiket pulang tentu ada pengorbanan,
jika hanya melihat kawan yang menggenggam tiket bersimbol garuda itu sudah
biasa, namun ketika melihat tiket bersimbol lain atau kereta
ekonomi tentu ada alasan tersendiri mengapa memilih untuk menggenggamnya, ini
bukan hanya berbicara tentang tiket namun juga ada beribu cerita didalamnya.
Harapan
dan tekad selalu digenggam oleh para Perantau sejak melangkahkan kaki menuju
Bandara ataupun Stasiun Kereta, bukan hanya itu saja yang digenggam namun juga
sang Perantau selalu menyiapkan jawaban atas ribuan pertanyaan yang dilontarkan
oleh orang tua maupun tetangga.Terkadang sang Perantau tertunduk malu saat
ditanya bagaimana rasanya hidup di perantauan, atau hanya tersenyum saat
ditanya bagaimana kabar tentang
kewajiban, entah yang berkaitan dengan dunia maupun akhirat.
Karena
pulang bukan hanya sekedar menyudahi kerinduan, terlebih banyak kisah dalam
perjalanan, jika menggunakan pesawat tentu sang perantau harus bersabar dengan
harga yang membuat mata membesar, terkadang juga disertai dengan jadwal
keberangkatan yang terlambat.Begitu juga sebaliknya, sang perantau yang
menggunakan kereta harus mampu bertahan selama belasan jam dan hanya ditemani
dengan riuhnya suara rel ketera api, namun itu semua tidak menyurutkan tekadnya
untuk menyudahi kerinduan.
Tapi
semua perantau mempunyai kisah masing-masing dalam pengorbanan untuk menyudahi
kerinduannya, terlebih lagi bagi teman-teman yang sedang menuntut ilmu di luar
negeri, yang harus bertahan menunggu kabar pulang, ada yang bisa berlebaran
bersama keluarga.Tapi tidak dapat dipungkiri banyak dari teman-teman yang tidak
bisa berlebaran bersama keluarga karena jadwal liburan yang tidak sama dengan
Indonesia.
Resiko
itulah yang harus dihadapi sang perantau, hal ini juga berkaitan dengan alasan
mengapa ketika pulang harus ada harapan entah untuk orang tua, guru maupun
sahabat, maka dari itu sang perantau hendaknya menyadari bahwa pulang bukan hanya peluh lelah yang dibawa pergi namun
juga perubahan diri, jika pulang hanya diartikan sebagai obat kerinduan namun
tidak membawa perubahan maka itu tidak ada apa-apanya.
Tapi dibalik banyak perantau yang tidak sabar untuk pulang, ada
juga sebagian orang yang hanya menatap kosong saat melihat tanggal liburan, ada
perasaan aneh dalam hati, yang tiba-tiba saja membuat mata memerah karena dia
tidak ingin pulang untuk melihat pusara kedua orang tuanya.Ada juga yang
tertunduk lesu melihat tanggal liburan, karena bingung bagaimana caranya agar
bisa pulang.
Tapi sebenarnya bagaimanapun nantinya, sang perantau harus tetap
kembali ke asal, entah bagaimanapun caranya.Karena masih banyak orang yang
menantinya, menanti perubahannya, menanti kisah-kisahnya.Alasan tentang
keterbatasan ekonomi bukan menjadi penghalang jika diimbangi dengan usaha untuk
tetap pulang, itu akan terjadi namun ada prosesnya.
Tentang Pusara, tentu tidak mudah.Namun bagaimanapun harus
disadari bahwa pada akhirnya semua orang itu akan pergi, jangan sampai
mengedepankan ego sehingga menyesali yang memang sudah terjadi.Karena yang
pergi juga akan ada gantinya, entah kerabat atau sahabat yang masih terus menanti
kedatangan sang perantau pulang.Semoga pulang tidak hanya sekedar pulang, namun
juga membawa perubahan.
Pondok Pesantren Darun Nun Malang
0 komentar:
Posting Komentar