
Oleh : Inayatul Maghfiroh
(Tidak
usah khusu’ Khusu’ yang penting tidak maksiat)
Malam yang
selalu menawarkan candu untuk menunggu kedatangan seorang guru, menjadi agenda
harian sebagai seorang santri. Sebut saja ustadz Iib, guru kami ketika menjadi
santri di pondok pesantren Alhikmah Assunniyah, seorang guru yang setiap
kalimatnya mengandung makna, yang setiap gerakannya menjadi teladan, juga setiap
ceritanya yang menjadi pelajaran. Pernah suatu hari setelah mengaji kitab beliau
menyempatkan diri untuk bercerita, berawal dari teknologi yang semakin canggih,
dan beliau menyadari bahwa media dakwah sudah sangat tersedia, sehingga beliau
beinsiatif untuk menulis dan mencetak buku. Beliau bercerita demikian “
alhamdulillah mbak saya sudah mencetak beberapa buku, ada tentang nahwu dan
lain sebagainya, bisa dibeli di SAS ( koperasi milik pondok pesantren
Assunniyyah) juga sudah ada. Tapi disini saya akan menceritakan satu hal yang saya
rasa sangat penting untuk saya ceritakan, semenjak saya mengajukan diri dalam
dunia literasi ini, saya sering sekali mbak atau bahkan setiap hari harus
berhadapan dengan laptop, mencari informasi dari web satu ke yang lainnya, nah
untuk membuka web itu kan butuh koneksi ke internet ya, wifi juga belum punya
dan biayanya juga cukup mahal, saya memutuskan untuk membeli modem sehingga
saya bisa membuka web untuk menggali informasi terkini. Hanya berjarak beberapa
hari, saya putuskan untuk membuang modem yang baru saya beli itu, bayangkan
mbak ketika saya membuka web satu ke web lainnya itu tidak luput dari iklan
iklan yang tidak pantas untuk dilihat, ( dan tidak mungkin saya sebutkan ). Disini titik permasalahnnya mbak, seketika itu
saya berfikir saya tidak pernah tahu mana kemaksiatan saya yang menjadi murka
Allah, karena sekecil apapun kemaksiatan itulah adalah bagian dari murkaNya. Saya tahu menulis akan memberikan manfaat
kepada pembaca, dan bahkan saya menyadari media sosial yang tersedia merupakan
salah satu media yang mampu menyebarkan manfaat secara luas dan cukup cepat. Tapi
saya tetap berfikir mbak, tidak kenapa-kenapa tulisan saya belum bisa tersebar
secara publik, tapi saya akan tetap menulis minimal santri-santri saya tetap
membaca, saya benar-benar khawatir bisa jadi kemaksiatan yang kita anggap kecil
atau bahkan kita remehkan menjadi salah satu penyebab murkaNya, bagaiamana
jadinya mba? Jika benar-benar demikian?”. Seketika semua terdiam, sesembari
merenungi dan mengingat apa apa yang pernah dilakukan, dari sorotan mata dan
mimik wajah teman teman semua seakan akan berikrar, mengharuskan diri agar
lebih hati-hati dan ustadz memberi salam tanda memohon diri untuk menyudahi
ngaji malam itu.
NB: melalui cerita ini, bukan berarti tidak
bioleh menyebarkan ilmu secara luas melalu media yang sudah tersedia, ini
hanyalah gambaran dari judul yang bersumber dari kejadian nyata. Setiap orang
memiliki alasan pribadi untuk memutusakan sesuatu. Namun kalimat “ ora usah
khusu’ khusu’ seng penting ora maksiat “ ini sangat bagus dijadikan prinsip
untuk melakukan apapun, sekecil apapun amal baikmu akan tetap tercatat demikian
pula amal kurang baikmu. Dan kita tidak tau mana yang akan menjadi ridhoNya
atau bahkan mana yang menjadi murkaNya. Selamat berusaha memperbaiki diri bagi
yang membaca tulisan ini hehe semoga selalu lebih baik kedepannya dan selalu
dalam limpahan rahmatNya. Amin
Pondok Pesantren Darun Nun Malang
0 komentar:
Posting Komentar