oleh: Evin Isnaini
"جَرِّبْ وَلَاحِظْ تَكُنْ عَارِفًا"
Cobalah dan perhatikan, niscaya kau jadi orang yang tahu.
"جَرِّبْ وَلَاحِظْ تَكُنْ عَارِفًا"
Cobalah dan perhatikan, niscaya kau jadi orang yang tahu.
Sedari
kecil, saat aku ditanya “nanti kalo kuliah mau kemana?”, dan selalu aku jawab “Malang”,
saat jawabanku dipertanyakan oleh mereka “kenapa kok malang?” dan kujawab
kembali “karena aku ingin mengunjungi kanjuruhan untuk melihat tim sepakbola kesukaanku
bertanding”. Spontan mereka selalu tertawa akan hal itu dan sekaligus
mengaminkannya dalam hati.
Ya tempat
ini memang benar tempat yang kuinginkan sejak masa MI, entah kenapa cita-cita
itu muncul. Dan alhamdulillah benar, sekarang aku ada di sini. Tapi sebentar,
itu hanya sekilas saja. Sebenarnya banyak kisah dibaliknya. Kumulai saja, di
akhir masa Aliyah adalah masa kegalauan dimana harus pergi kemana lagi. Dengan tekad
orangtua yang selalu menginginkanku lanjut perguruan tinggi untuk meneruskan
cita-cita, dan aku ingin mewujudkan keinginan itu.
Saat
MI aku punya cita-cita konyol yaitu ingin jadi dokter, kenapa konyol? Karena aku
hanya ingin jadi dokter aja gak usah belajar dulu. Lalu saat beranjak MTs aku
sangat menyukai pelajaran fisika, mungkin sampai saat ini juga. Saat itu juga
aku ingin menjadi ahli fisika ataupun teknisi. Berlanjut saat Aliyah pun juga
begitu, aku mengambil mata pelajaran fisika untuk diujikan pada saat UN. Dan aku
satu-satunya yang memilih mapel itu. Karena ambisiku kuliah dengan jurusan
fisika. Jalur demi jalur aku tempuh, cara demi cara aku lakukan untuk bisa
mengambil jurusan itu. Ternyata jalur pertama yang aku lewati gagal. Sempat putus
harapan, tapi mereka orang sekelilingku tetap memberi harapan untuk aku bisa
menggapainya. Akhirnya aku menempuh tes tulis yang sangat rumit, aku tidak
berharap lebih lagi. Karena memang soal-soal waktu itu sangat jauh dari yang
telah kupelajari.
Aku kembali
lagi mencoba cara lain. Akhirnya satu jalur yang hanya untuk jurusan agama saja
aku lewati, dengan pemilihan jurusan yang katakanlah ‘manut bu nyai’. Sebenarnya
aku tak mengingnkan jurusan itu, dengan ambisi tetap ingin fisika ataupun yang
masih berhubungan dengan fisika. Tiba saat pengumuman itu ditiba, aku ingat
betul itu saat bulan puasa romadhon. Siang-siang aku iseng-iseng buka web
pengumuman antara berharap dan tidak. Loading pun tak terhindar karena banyak
yang mengakses mungkin. Tiba jam 2 kubuka lagi web itu, dan ternyata hasil yang
tak pernah kuduga dan terlintas selama itu. Namaku dinyatakan lolos di jurusan
agama itu. Jangan dibayangkan bagaimana perasaanku saat itu, antara sedih dan
bahagia. Bahagia karena aku sudah bisa lolos masuk perguruan tinggi, dan tentu
saja sedih sebab itu bukan jurusan yang aku inginkan. Lagi-lagi mereka tetap
menyupportku, dengan pertimbangan yang lama dan keikhlasan yang juga tidak
sepenuhnya aku terima hasil itu dan kulakukan daftar ulang.
Langsung
saja saat dimana perkuliahan itu dimulai, pertama kali aku belajar tanpa
memakai seragam dan memakai pakaian bebas. Suasana yang berbeda. Okelah teman
memang gampang dicari, tapi tidak dengan semua mata kuliah yang kupelajari. Jujur
saat awal-awal aku hanya setengah hati menjalani perkuliahan itu, tak ada yang
menarik untuk ku lalui. Sempat aku menangis dan berkata bahwa “aku tersesat. Aku
salah jurusan”. Hingga 2 semester aku melalui suasana hati yang selalu begitu,
niatku saat itu hanya buat menyenangkan orangtua saja dan selalu aku menggerutu
“opo jere gusti Allah”.
Dan aku
tersadar pada awal-awal semester 3, saat aku sudah tidak berada di asrama
kampus. Aku merindukan teman-teman sekamarku dulu selama satu tahun pertama di
kota ini, di asrama itu aku belajar mendisiplinkan dan mengatur waktu yang
begitu cepat mengejar aktifitasku. Lalu aku berfikir “iya ya, kalo aku tak
diterima saat pengumuman itu pasti aku gak bertemu sama orang-orang hebat”. Dan
perkataan ibuku yang selalu menasehati “dijaga dirinya sendiri, untung
ketrimanya di kampus Islam, nah kalo di kampus itu udah tak jamin gak tau kaya
gimana lagi, apalagi tinggal di kos pasti bebas gak ada yang ngatur”.
Iya bu
Alhamdulillah aku sudah menyadari sekarang. Jurusanku yang membawaku menerjuni
bahasa Arab lebih dalam, dulu bahasa itu memang sangat aku sukai saat MI. Namun
dia terlupakan saat aku mengenal ilmu sains yang lain. Dan di tempat ini aku
kembali menekuninya lagi dengan giat. Yaa aku sekarang menerima dan mencintai
jurusanku. Karena memang benar ketersesatan ini berada di jalan yang benar. Dan
pegangan itu akan menjadi bekal di masa depanku.
Pondok Pesantren Darun Nun Malang
0 komentar:
Posting Komentar