Siti Fathimatuz Zahro'
Saat ini aku
sedang menempuh pendidikan di salah satu perguruan tinggi di Kota Malang. Kota Pariwisata,
Kota Pendidikan, sekaligus Kota Ruko, saat ini. Makna Kota Dingin sudah tak sedingin
dulu. Angin memang masih bertiup namun lebih berhembus panas dan menyibak gamis
syar’i yang sekarang trendy. Jangan heran jika sebentar lagi Kota Malang
dijuluki Kota Santri menyusul Pasuruan. Kota yang dikepung oleh Gunung Arjuno
dan katanya sih, Gunung Putri Tidur yang berada disisi barat membuat siapapun
masih bisa melihat gunung dari pusat kota sekalipun.
Keseharian ku
tidak terlalu sibuk membelah jalanan kota yang semakin sesak dengan sepeda
motor satu penumpang dan sisanya mengendarai kendaraannya sendiri.
Setidaknya
kesibukkan ku sedikit berubah sejak aku semester 3 dan sosok ayah ku yang mulai
senang berkelana singgah di pulau-pulau seberang. Dimana awalnya masa trainning
3 bulan hingga satu lebaran tidak pulang. Pernah sih... tapi tidak terbiasa.
Aku anak sulung dari 2 bersaudara dan mukim di rumah bersama seorang Ibu dan
kedua orang tua ibu. Putri ibu ku yang satunya sedang menempuh pendidikan
pesantren yang juga masih di bagian Kota Pendidikan ini sehingga membuat
penghuni rumah hanya berjumlah 3 orang. Rumah dengan bagian-bagian yang kompleks
menyisakan banyak sisi kosong yang tidak disinggahi sekedar untuk duduk menaruh
kepala. Tidak perlu heran juga jika nantinya akan banyak sisi yang padam dari
pijar lampu karena tidak ada orang disana. Bapak, sebutan sejak kecil untuk
sosok kakek, beliau memiliki kursi panas yang tidak akan diduduki oleh
siapapun ketika beliau ada dan akan otomatis berpindah tempat ketika beliau
akan duduk disana. Mutlak. Dan hanya kursi itu yang diduduki oleh beliau selain
kursi makan di dapur yang itu pun juga khusus ditempati Bapak.
Sampai saat ini
aku masih mahasiswa yang meminta harta orang tua untuk bayar biaya kuliah.
Hanya mandiri secara finansial buat beli jajanan-jajanan dan baju yang nggak
sebulan sekali. Ada saja cara ku meminta harta orang tua, salah satunya adalah
aku memilih untuk tidak tinggal bersama keluarga padahal jarak rumah ku dengan
kampus hanya berkisar 7 menit dengan naik sepada bermotor.
“Aku pingin nyantri. Di rumah nggak ada temennya. Sepi”.
Aku merasa di
rumah akan kesepian dan hanya berpangku tangan. Kosong. Hingga akhirnya aku
memilih untuk tidur dan makan di sebuah tempat ngaji dengan moto ‘menulis’.
Yang pada awalnya aku berpikir, bahwa aku tidak akan nganggur karena aku
akan sibuk menulis dan menerbitkan buku. Hingga saat ini memasuki tahun ketiga
dan aku masih belum menerbitkan buku atas nama ku sendiri. Aku hargai sebuah quotes
mulia bahwa “Semua Itu Butuh Proses”.
“Kalau disini, pokoknya harus mau nulis dan nggak pacaran. Pacaran
apa mboten?”.
Kalimat itu yang
dilontarkan kepada ku dihadapan ayah ku yang saat itu mengantarkan ku untuk sowan
dengan pengasuh.
“Insya Allah enggak ini ustadz. Sudah saya wanti-wanti”. Sekalipun aku
tidak pernah cerita, ayah ku mantap menjawab pertanyaan itu.
Setelah sah aku
menjadi bagian dari gubuk menulis ini, Alhamdulillah ayah mendapat pekerjaan
melanglang buana dan meninggalkan jejak di rumah yang menjadikan bahu ku
semakin kuat, hati ku semakin kebas, dan air mata semakin deras. Dalam diam.
Usaha warung
kelontong yang selalu menghibur ibu dengan berjumpa orang yang berbeda setiap
harinya. Anak kecil dengan uang seribu rupiah namun minta beli es krim dan
diambilkan es lilin warna putih oleh ibu hingga orang dewasa yang membeli rokok
dan beralasan dompetnya tertinggal. Ada saja cerita berbeda setiap harinya dan
berdoa semoga ada uang untuk kembali belanja stok keesokan harinya.
“Oalaaah.... Belum untung sudah shodaqoh”. Begitu kata Ibu
ketika ada saja belanjaan yang tidak dibayar dengan alasan belum gajian.
Saat itu sudah
banyak orang mendengar istilah Mini Pom. Tandon bahan bakar minyak yang dijual
secara eceran yang sebelumnya dikemas oleh para penjual dengan wadah botol
berkapasitas kurang lebih 1 Liter. Dimana usaha tersebut diklaim sebagai hasil
karya anak bangsa dengan menggunakan pompa air bisa menaikkan bahan bakar
minyak dan tidak perlu mengantre panjang di Pom Bensin. Usaha itu yang
diwariskan oleh ayah 3 hari setelah bisa dioperasikan dan sebelum ayah
berangkat menuai perjalanan luar pulau. Mesin mini pom dengan kapasitas masing-masing
200 Liter terdiri diri dari 2 jenis bahan bakar minyak dan alhamdulillah selalu
habis setiap harinya namun tidak ada karyawan di rumah selain ibu.
Adik ku yang
alhamdulillah sampai saat ini masih bertahan untuk menempuh pendidikan di
pondok pesantren dan setiap 2 minggu sekali pasti ada jadwal kunjungan untuk
melepas rindu. Itulah yang akhirnya membuat ku merancang jadwal kuliah dengan kuliah
penuh dari jam 8 pagi hingga sore selama 4 hari dan mengambil jatah libur di
hari Jumat selain Sabtu dan Minggu untuk memberi jadwal khusus kunjungan pondok
pesantren. Satu hari penuh.
“Sabun dan rokok banyak yang habis. Mie instan perlu nambah varian
baru. Persediaan tepung dan gula juga menipis”. Itulah alarm
dari Ibu dimana aku harus mengunjungi toko besar untuk memenuhi stok warung dan
kembali ke rumah dengan motor yang ku naiki sendiri beserta kardus-kardus
terikat kuat berisi hiburan ibu setiap harinya.
Aku tidak akan
membuat rentetan kegiatan ku hasil ‘mix’ karena itu akan sangat singkat
dan tidak akan menjadi satu halaman penuh sekalipun itu kertas A5.
Itulah awal mula
dimana aku menjalani kehidupan sebagai santri kalong hingga aku
menemukan sebuah postingan instagram yang berisi “santri sing bolak-balik muleh
nang omah, ilmu ne bakal mabur ono ing tengah dalan”.
Wallahu A'lam Bishawab
Pondok Pesantren Darun Nun Malang
0 komentar:
Posting Komentar