Pondok Pesantren Darun Nun Malang
oleh: Ira Safira Haerullah
oleh: Ira Safira Haerullah
Lika - liku sang faqir ilmu
مَنْ خَرَجَ فِى طَلَبُ الْعِلْمِ فَهُوَ فِى سَبِيْلِ اللهِ
حَتَّى يَرْجِعَ
”Barang siapa yang keluar untuk mencari ilmu maka
ia berada di jalan Allah hingga ia pulang” (HR Tirmidzi)
Ujian Nasional ( UN) telah berakhir, libur mulai menghampiri,
brosur – brosur SMA unggulan mulai tersebar, para siswa sibuk mempersiapkan
diri dan saya masih tidak peduli dengan apa yang saya hadapi kedepannya. SMA
merupakan jenjang terakhir yang kata orang adalah “masa – masa paling indah”
jadi wajar saja ketika selesai UN sebagian besar teman – teman saya sibuk
belajar dan mengikuti berbagai bimbingan untuk bisa masuk ke SMA unggulan di
kota saya. Berbeda dengan mereka yang rajin dan pintarnya subhanallah,
saya sangat tidak peduli dengan pendidikan saya kedepannya sebab saya berpikir, bahwa masuk ataupun tidak di sekolah unggulan semua akan terlihat
biasa saja ketika dirimu tidak berkembang didalamanya yang terkenal sekolahnya
bukan ilmu dan adabnya, dan semua akan
terlihat sia – sia.
Ketika saya sibuk dengan liburan, ibu memberikan pilihan
untuk masuk di salah satu sekolah unggulan di kota saya. Belum diberikan waktu
untuk memilih, pilihan lain datang dari ayah saya yang mengingikan saya untuk
sekolah di luar kota. Rasa sedih, senang dan kaget menjadi satu ketika ayah
menunjukan tiket yang sudah terpampang jelas waktu dan nama saya untuk
berangkat ke luar kota. Belum juga
pengumuman kelulusan saya sudah berangkat menuju kota orang. Melangkahkan kaki ke kota orang bukanlah
sebuah hal yang mudah untuk anak seusia saya di kota saya. Saya yang awalnya
masa bodoh dengan keadaan masa depan menjadi seorang yang berpikir keras akan
kehidupan selanjutkan yang akan saya jalani di kota orang, bahkan membeli
beberapa buku tebal dan mengisi setiap pertanyaan yang rumit sebagai bentuk
persiapan saya untuk masuk sekolah di kota orang.
Malang, menjadi tempat saya menuntut ilmu dan tempat saya
bertemu dengan baru. Kota dingin ini adalah kota pertama kali saya memperoleh
julukan santri. Ketika teman – teman saya dengan bangga masuk ke sekolah
favorit, saya sendiri sibuk memikirkan kehidupan saya di kota orang, wajar saja
disaat umur saya yang baru masuk 14 tahun sudah harus hidup di kota orang
dengan wajah – wajah baru. Madrasah menjadi pilihan orang tua saya untuk saya
belajar disana dan Mahad atau pondok pesantren menjadi tempat tinggal baru yang
memaksa saya untuk hidup mandiri dan berdampingan dengan orang lain dari latar
belakang yang berbeda. Aturan demi aturan membuat saya merasa dikekang di
pondok bagaimana tidak Hp disita, makan
dijatah, tidur dijadwal, dan keluar malam dilarang. Untuk orang yang
berkepribadian ingin bebas, bermain, jalan – jalan dan selalu aktif di sosmed
tentu merasa dikekang bahkan hampir setiap hari saya ingin menangis karena rindu
bersua dengan orang tua di rumah, bermain dengan teman – teman sampai malam,
dan bercanda tawa bersama saudara saat kumpul keluarga.
Hari berganti hari terlewatkan
dengan perasaan penuh sabar dan ikhlas menjalanin kegiatan di pondok dan
aktivitas di sekolah, sampai suatu hari ketika para santri diwajibkan untuk
mengikuti kegiatan di luar pondok tepatnya upacara di lapangan yang lumayan
jauh dari pondok. Diperjalanan saya berkenalan dengan salah satu santri yang
ternyata tetangga kamar saya yang tergolong anak pendiam jadi wajar saja jika saya terbuka dengannya karena yang saya lihat dia anaknya pendiam tidak seperti santri lain
dan tidak ada raut mencurigakan darinya. Setelah upacara selesai dan perjalanan
pulang dia menitipkan sebuah hp berwarna putih kepada saya, dan saya dengan
polosnya menerima. Sampai di pondok rasa lelah dan ngantuk menjadi satu, saya
memilih untuk tidur di kamar.
Baru satu jam tubuh terlelap seseorang dengan suara tinggi
dari luar datang menghampiri, seorang kakak kelas bertubuh besar membangunkan
saya karena saya dipanggil ustadz, dengan perasaan bingung dan wajah yang masih
terlihat berjalan tertatih ke rumah ustadz. Disana sudah ada teman yang baru
tadi pagi saya berkenalan dengan dia. Ustadz menanyakan hp yang tadi dititipkan
ke saya, untunglah sebelum sampai di pondok saya sudah mengembalikan hp itu
kepada teman saya yang tadi menitipkan hp itu. Ternyata hp itu adalah hp teman
lain yang dia curi, sontak saya pun kaget karena saya tidak tahu dan tidak
campur tangan didalamnya. Ini adalah pengalaman pertama saya disangka mencuri
hp dan bekerja sama dengan teman saya yang baru saja saya kenal pagi itu. Sakit
hati ? pasti lah, bahkan saya ingin pulang karena tak terima dipandang seperti
itu, untunglah ustadz menemukan hp curian itu berada di kamarnya temen yang
baru saya kenal tadi pagi itu dan hari itu juga dia dikeluarkan dari sekolah
maupun pondok.
Tahun pertama di pondok merupakan tahun terberat karena saya
harus menghadapi berbagai masalah mulai dari dituduh mencuri, jemuran hilang,
kehabisan jatah makan, dan tidak paham dengan apa yang diajarkan karena ustadz
memakai bahasa daerah yaitu bahasa Jawa. Berbeda dengan masalah yang saya hadapi di sekolah saya
tidak bisa berbahasa Arab apalagi Nahwu – Shorof, karena saya jurusan Agama
jadi mau tidak mau saya harus menambah jam belajar saya agar pemahaman saya
bisa setara dengan teman – teman di kelas. Dengan rasa sabar saya haru belajar
sendiri setiap buku bahasa Arab, kadang paham kadang tidak sama sekali namun
saya tidak mau menyerah begitu saja. Mempunyai guru dan ustadz – ustadz yang
harus saya syukuri karena dari beliau – beliau secara perlahan pemahaman dan
ilmu saya mulai setara dengan teman – teman di kelas saya. Teman – teman kelas
pun ramah – ramah meski tidak semuannya, dari mereka saya jadi bisa berbahasa
jawa walaupun kadang masih terbata – bata.
Tiga tahun terlalui dengan suka dan duka. Suka karena bisa
menyelesaikan pendidikan di kota orang dengan baik, dan duka harus berpisah
dengan orang yang sudah membuat nyaman dan tempat yang sudah mengubah pola
pikir dan kehidupan saya, tempat mana lagi kalo bukan tempat terromantis yang
awalnya saya anggap sebagai penjara, mana lagi kalo bukan pondok pesantren.
Di kota dingin ini, saya mengenal kata rindu, bertahan, dan
berjuang, namun begitulah seorang yang harus menuntut ilmu di luar kota harus
menangguh rindu kepada sanak saudara, bertahan hidup meski tanpa suara,
berjuang untuk bisa mendapatkan ilmu agar pulang tidak sia – sia dan sesuai
dengan harapan orang tua. Seperti inilah kehidupan seorang sang faqir ilmu,
harus banyak sabar dan ikhlas meskipun sampai hari ini saya masih belajar untuk
menjadi orang yang sabar dan ikhlas. Namun semua perjuangan dan ujian yang saya
hadapi saat ini tentunya tidak ada apa – apanya dibandingkan dengan perjuangan
dan ujian para ‘ulama islam zaman dahulu ketika mencari ilmu.
Lima tahun sampai sekarang saya masih bertahan di kota dingin
ini, dan masih berada di pondok pesantren meski berbeda dengan sebelumnya. saya hanyalah
seorang faqir ilmu dan akan selalu menjadi seorang faqir ilmu. Jenuh ? tentu
tidak, pondok selalu punya cara untuk membuat saya selalu bertahan untuk
menuntut ilmu disini. Jauh dari orang tua sudah menjadi hal biasa, melihat
teman – teman bahagia dengan dunia luar justru tidak iri lagi bahkan miris,
karena terkadang dari mereka terlalu terlena dengan kehidupan dunia sampai lupa
mempersiapkan kehidupan selanjutnya.
Maka banyaklah bersyukur wahai kalian yang saat ini hidup di
pondok atau sekolah di tanah rantau, terutama untuk diri sendiri. Karena disaat Allah
memberikan jalan untuk bisa berthalabul
ilmi. Suatu kenikmatan yang dikatakan oleh Imam Ahmad rahimahullah, "ilmu
agama tidak ada yang dapat menandinginya bagi siapa saja yang benar dan lurus
niatnya."
Masyaallah. Mantap. Ditunggu postingan selanjutnya.
BalasHapus