picture from: dakwatuna.com
Oleh:
Nur Sholikhah
“ Jika saat SMP kalian hanya sibuk
untuk sekolah, maka aku punya kesibukan lain yang berbeda“
Aku akan kembali
menyelami masa lampau yang telah lama terkubur sejak aku memutuskan untuk
mencari ilmu di kota orang. Jauh 6 tahun yang lalu, saat usiaku masih sekitar
12 tahun tepatnya saat aku duduk di bangku MTS/SMP.
Di desaku sudah
menjadi hal biasa jika banyak anak yang sekolah sambil bekerja, meskipun itu
masih tingkat SMP. Faktor ekonomi dan mahalnya biaya sekolah membuat para orang
tua harus bekerja keras demi bisa menyekolahkan anak-anaknya. Jika anak yang
dibiayai terlalu banyak, maka harus ada yang dikorbankan. Entah salah satunya
harus putus sekolah atau sekolah sambil bekerja. Dan itulah hal yang aku alami
sendiri.
Sekolah bagiku
adalah hal yang sangat penting karena di situlah aku bisa belajar berbagai
macam ilmu. Namun untuk bisa sekolah butuh perjuangan yang tidak mudah karna
saat itu biaya masih mahal menurutku. Sementara orang tuaku penghasilannya
harus dibagi untuk keperluan ini itu. ya, aku memutuskan untuk sekolah sambil
bekerja. Bekerja pada orang-orang baik yang mau menerimaku meski hanya kerja
separuh waktu.
Aku pernah menjadi
buruh di industri rumahan dan tugasku membungkus makanan ringan. Aku berangkat
setelah pulang sekolah sampai pukul 5 sore. gajiku saat itu hanya 10 ribu. Kalau
sekolah sedang libur, aku bisa bekerja sejak pukul 8 pagi. Karna aku
menikmatinya, maka bagiku itu bukan sebuah masalah. Toh aku tidak sendirian,
banyak dari teman-temanku melakukan hal yang sama denganku tapi di industri
yang berbeda.
Dengan aku
bekerja, aku bisa membantu bapak membiayai sekolahku. Ah, betapa senangnya saat
itu, bisa tetap sekolah meski disambi kerja. Di sekolah nilaiku juga lumayan,
jarang kena remedi kalau bukan mata pelajaran tertentu.
Dan saat
pengambilan rapot di akhir semester, pastilah ibuku tidak pernah datang. Bukan karena
ibuku tidak mau mengambilnya, melainkan ada persyaratan yang harus dipenuhi
untuk bisa membawa pulang lembaran kertas itu. orang tua boleh mengambil rapot
anaknya jika sudah tidak mempunyai tunggakan pembayaran alias harus sudah lunas
semua. Sedangkan aku? Jangankan semester ini lunas, semester yang lalupun aku
masih punya tunggakan. Ya meskipun sudah kusambi dengan bekerja, tapi tetep
saja belum bisa mencukupi untuk membayar sekolah. Dan itu terjadi tidak hanya
padaku saja, tapi beberapa temanku yang lain.
Alhasil, aku yang
harusnya fokus untuk belajar harus mencari cara untuk membantu melunasi
tunggakan itu sebelum lulus nanti. Karna pastinya ijazahku akan ditahan sampai
semua pembayaran benar-benar lunas. Ya mau tidak mau, aku harus bekerja setiap
hari bahkan terkadang aku memilih lembur hingga pukul 7 malam. Sedangkan bapak
berusaha mencari pinjaman uang dan ibu mengambil alih pekerjaan tetanggaku
sebagai buruh cuci pakaian keluarga pak RT.
Entah, mungkin
karna niatku sekolah adalah untuk mencari ilmu bukan hanya sekedar mendapatkan
ijazah atau karna hal lainnya. Maka tuhan memudahkan jalanku, semua pembayaran
bisa terlunasi dan aku tetap bisa melanjutkan sekolahku ke tingkat yang lebih
tinggi, MA/SMA bahkan kini bisa melanjutkan ke perguruan tinggi yang sebelumnya
tak pernah terpikirkan olehku. Dan yang lebih menggembirakan lagi, aku bisa
kuliah tanpa harus membayar sepeserpun sampai lulus nanti. Betapa indahnya
rencana tuhan bukan?
Dan sepotong kisah
ini menjadi kisah indah perjalananku menuntut ilmu. Seorang guru pernah berkata
padaku “nduk, kalau niatmu sekolah benar-benar untuk mencari ilmu. Allah itu
pasti akan beri kamu jalan, yang mengatur rizki itu Allah. Kamu jangan takut maju
hanya karna kamu nggak punya uang, serahkan semua sama Allah.” Kini perlahan-lahan
semua terbukti satu persatu. Maka masih patutkah kau berprasangka buruk
pada-Nya? Tanyaku dalam hati.
Malang, 25 Maret 2019
Pondok Pesantren Darun Nun Malang
0 komentar:
Posting Komentar