Rasanya baru kemarin ketika kecewa
melihat papan pengumuman di ruang BK yang tak mencantumkan namaku. Dari semua
siswa hanya diambil separuh nilai teratas dan aku bukanlah yang terpilih untuk
di ajukan ke seleksi penerimaan mahasiswa PTN jalur raport.
Padahal beberapa minggu sebelumnya
pihak BK telah berjanji untuk mengusahakan semua bisa mengikuti jalur tersebut,
namun itulah kenyataannya. Usaha menemukan Universitas yang benar-benar
kuingini, serta jurusan yang benar-benar kurasa cocok ternyata sia-sia belaka.
Semua terasa runtuh ketika aku memandangi kertas yang ditempel di papan
pengumuman itu.
Aku berusaha bangkit, banyak pihak
yang menyemangati bahwa jalan untuk masuk PTN tidak hanya itu. Ada jalur-jalur
lain yang bisa kutempuh. Mulai kucari info ke sana-sini. Berusaha menghubungi
kakak-kakak tingkat baik di sekolah maupun di pesantren. Untung saja aku
belajar di SMA sambil memupuk ilmu agama di pesantren Al-ma’ruf Lamongan, sehingga aku memiliki banyak senior
yang senang hati berbagi cerita. Hingga suatu sore kutemui dua lulusan
pesantren Al-ma’ruf yang sekarang sudah menjadi mahasiswi, Mbak Nia dan Mbak
Alin.
“Terus saja berusaha Dek Fit, yakin
deh Allah akan memberikan apa yang kita butuhkan walau terkadang bukan yang
kita inginkan” kurasakan kata-katanya pahit, walau sebenarnya tak seberapa
kufahami maknanya.
“Adek daftar ke kampus mbak aja, enak
dek di sana bisa nerusin belajar agama juga. Ada asrama setahun pula, iya kan Nia?”
Mbak Nia yang disampingnya mengangguk dengan senyuman mantab. Semakin mereka
bercerita semakin hatiku berdoa agar bisa belajar di sana suatu hari nanti.
Bulan yang berganti membuatku
semakin gelisah tak tentu arah. Aku sadar hari semakin mendekati ujian nasional
dan setelah itu seleksi PTN. Kutancapkan niat untuk bersungguh-sungguh belajar
guna mendapat hasil yang terbaik, akan kuinjak gas saat ini. Namun kenyataannya
les yang diadakan sekolah saja kukira tidak akan cukup untuk mendongkrak
kemampuanku. Teman-teman mengikuti les di lembaga belajar yang mahal. Ingin
meminta pula kesana, namun aku sadar diri bahwa ayah akan kerepotan untuk
membayarnya. Saat itu tiba-tiba saja aku teringat beberapa kakak kelas yang
mengikuti bimbingan SNMPTN gratis di ITS. Di sinilah Allah memberiku uluran
tanganNya.
Ditempatkan di Kursus Bimbel Supercamp
ITS adalah hal yang sangat istimewa. Pengajaran soal SNMPTN yang sangat
intensif, pendisiplinan ibadah dan berdoa, serta manisnya kekeluargaan
kudapatkan di sini. Semakin mengenal masyarakat
ITS, semakin tertarik pada mereka. Dengan berbekal doa dari ibu kumantapkan
diri untuk memilih ITS sebagai kapal pembelajaranku selanjutnya. Aku terus berusaha
meningkatkan kemampuan. Kelemahanku ada pada tes kemampuan IPA yang memang
bikin pusing, namun dengan bantuan tentor yang rutin dan teman-teman supercamp
yang cerdas pelan-pelan aku mulai bisa menjawab soal-soal tersebut dan ujian
SNMPTN kulalui dengan lancar.
Hari yang ditunggupun tiba,
pengumuman kelolosan tes dapat diakses sore ini juga. Aku perbanyak doa dan
berharap pada sang pencipta. Tapi tiada pernah kusangka semua harapan yang ada
kembali musnah setelah kulihat layar laptopku, ingin segera kubanting laptop
itu. Namun jangankan beranjak, hanyalah tangis yang bisa menyeruak. Ya, aku tidak
lolos di tes ini juga.
Kawan-kawanku mulai mencari tahu kabar
kelolosan tesku. Pesan singkat di ponsel mulai berdatangan.
“Alhamdulillah, aku diterima di
ITS. bagaimana denganmu?” sms singkat dari sahabat karibku. Kuucap syukur untuk
keberhasilannya. Syukur yang disertai dengan genangan air mata kecewa dan malu.
Bagaimana aku bisa membalas sms tersebut? Kata apa yang bisa kuucap?
Kembali terlihat sederet tulisan di
layar laptop yang membuat terisak. Aku tidak lolos seleksi ke perguruan
tinggi-untuk kesekian kalinya.
“Sudahlah nak, jangan ditangisi. Kamu sudah
berusaha memberi yang terbaik.” Ucapan ayah dan ibu itu semakin menyakitkan.
Karena aku tahu dibalik katanya dia menahan tangisan.
Maghrib segera menjemput. Melangkah
menuju masjid kali ini terasa alam begitu tak bersahabat seperti perasaanku.
Aku tak bisa pulang usai sholat. Kupuaskan semua kesedihan dan kekecewaan
dengan doa dan dzikir padaNya. Membaca al-qur’an yang memang menjadi pengobat
hati. Di sanalah kutemukan satu ayat yang berbunyi “Bisa jadi yang kamu lihat
baik belum tentu baik di mata Allah.” Mungkin itu ayat yang cocok untuk
menemani deras tangisku saat ini. Aku sangat jahat kepada Allah, tak membiarkan
Dia memberiku yang terbaik malah menangisi satu hal yang bisa jadi buruk bagiku.
Mulai kulapangkan dada, bersabar dan menyertainya dengan ikhtiar.
Kulecutkan kembali semangat, semua
pihak berusaha menghibur dan memberikan motivasi. Walau tanpa sahabat-sahabat
di Supercamp, aku kembali membuka buku-buku soal. Kucermati lagi tempat-tempat
yang masih mungkin membawaku pada impian. Kuikuti tes PTAIN dan juga mandiri di
Perguruan tinggi yang kuingini. Tahajjud ditambah, duha ditingkatkan, doa
dikhusyukkan. Allah dulu, Allah lagi, Allah terus. Serperti hanya itulah
peganganku saat ini. Aku berikhtiar dan berpsrah dan di hari pengumuman, tak
ada sakit hati tak ada kecewa ketika membaca bahwa aku kembali tidak diterima.
Hanya kuingat lagi, berarti bukan ini yang dimaksudkan untukku.
Siang itu kusadari bahwa masih ada
harapan. UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, kampus kakak kelasku di pesantren
dulu, masih membuka tes mandiri. Dengan berbekal keyakinan dan ridho kedua
orang tua, akupun berangkat bersama ayah. Di depan tempat tes beliau mengajakku
berdoa dengan khusyuk. Meminta pertolongan hanya padaNya.
Sebelum berangkat tes, kusempatkan
sholat duha. Tak terasa aku mulai takut kalau-kalau benar-benar diterima di
universitas ini. Bukannya apa, sebenarnya jurusannya bukan murni minatku, tapi
saran dari ayahku. Aku pun sebenarnya tak ingin kembali berkecimpung di sekolah
islam.
Namun, tiada lain yang memiliki
rencana dengan sangat elegan dan anggun selain Dia. Aku diterima di UIN. Kujalani
proses belajar dengan semangat. Walau masih belum kutemukan titik mengapa aku
ditempatkan di sini. Setelah dua tahun aku baru menyadari. Belajar di Asrama
UIN, mengabdikan diri di sana, belajar di Pondok Darun Nun, merangkul keluarga
baru di Seni Religius, Pembelajaran bisnis di Duta, dan didekatkan pada
orang-orang yang tidak hanya pandai tapi juga saleh adalah rahasiaNya mengapa
aku ditempatkan di sini. Akhirnya aku mulai merasa manisnya, bahwa Allah ingin
kuterus mendekat padanya, dan berada di samping orang-orang yang di cintainya.
Semua yang datang menghampiri kita, menimpa kita, entah kesenangan atau kesedihan adalah titik-titik yang disiapkan agar suatu hari kita menemukan diri telah menjadi pribadi yang paripurna, yang tangguh. Maka dalam menjalaninya kita memang tidak akan benar-benar tahu apa maksud dari setiap kejadian kecuali ketika kita telah berdiri di garis finish dan bergumam "Oo ternyata dulu aku di taruh di sini agar belajar ini, karena sekarang aku membutuhkan skillnya" atau gumaman yang lain. sebagai muslim tentu kekuatan yang ada pada diri kita adalah iman, meyakini suatu hal adalah yang terbaik meski kita masih belum mencapai garis akhir dan benar-benar tahu.
Kita perlu banyak berterimakasih, Tuhan mengenal kita jauh daripada diri kita yang sering terombang-ambing dengan kesuksesan orang lain, pencapaian teman yang menggiurkan. Padahal nggak begitu, kita tidak perlu menjadi orang lain untuk sukses dan bahagia. Tuhan kitalah yang menyiapkan jalannya. Menaruhku di pesantren literasi, mencintai buku, sastra dan semua kemenisan dari ilmu membuatku mengenal siapa diriku, apa yang ingin benar-benar kucapai. Pesanku, apa yang kau miliki saat ini manfaatkanlah untuk melakukan yang terbaik karena ada banyak pesan yang diselipkan Tuhan untuk kehidupan ke depan. See ya!
Pondok Pesantren Darun Nun Malang
0 komentar:
Posting Komentar