Pondok Pesantren Darun Nun Malang
oleh: Kamila Maryam Kotta
Mengungkap Rahasia Dibalik Kata علم “ilmu”
Ilmu
adalah kata yang sering kita dengar dalam kehidupan ini, baik dari lingkungan
keluarga, sekolah ataupun masyarakat pada umumnya. Namun apakah pendengaran
akan menjadi senjata tanpa adanya
pemahaman yang baik?. Jika kita berbicara mengenai ilmu, maka akal dan hati akan mengatakan bahwa itu
adalah pengetahuan, tetapi apakah pernah terbesit sebuah pertanyaan dalam hati,
mengapa ilmu itu harus tersusun dari tiga huruf yakni ع
ل م ?.
Kata ilmu
tersusun dari tiga huruf yakni ع ل م ,
Jika
dari segi pemaknaan huruf , ع dimaknai sebagai “illiyin” yang berarti
mempunyai kedudukan tinggi,
bahkan tidak hanya itu ilmu sendiri pun dapat memberikan efek positif bagi pemiliknya yang biasa disebut (عالم) atau orang yang berilmu.
Ada tiga hal yang menjadi tolak ukur antara orang yang berilmu dan tidak.
Seperti kata Imam Fudhail bin
Iyadh -rahimahullahu-
مَنْ عَلِمَ لَيْسَ كَمَنْ لَمْ يَعْلَمْ
“Siapa berilmu tidak seperti
orang yang belum berilmu”
1.
Orang ‘alim mempunyai pemikiran intelegtual,
yang melambangkan akan kecerdasan dirinya.
Layaknya
seorang penulis yang menghasilkan karya, pemikirannya pun menghasilkan sejarah.
2.
Tutur kata yang keluar dari mulutnya
bagaikan bait puisi, sedikit namun bermakna. Karena baginya, lebih baik sedikit
berbicara namun bermanfat daripada banyak namun sia-sia.
3.
Dan perbedaan yang paling signifikan terletak
pada tingkah laku serta akhlaknya, orang yang berilmu akan bertindak dengan
berlandaskan pengetahuan yang ia miliki. Sebelum ia melangkah, ia akan
mempertimbangkan segala kemungkinan yang akan terjadi, menurutnya hidup didunia
ini sangatlah singkat, jadi tak ada gunanya jika diisi dengan hal-hal yang tidak bermanfaat.
Seperti kata Imam Ghazali -rahimahullahu- “Dengan ilmu
pengetahuan, manusia memiliki peluang untuk mencapai derajat malaikat.
Sementara menuruti hawa nafsu akan membuat manusia berpeluang jatuh tersungkur
lebih rendah dari derajat binatang.”
Dan jika ع
kita lihat dari segi syaklun/bentuk hurufnya, maka akan terlihat
terbuka, pengucapannya pun dengan menganga, itu berarti orang yang berilmu itu
harus selalu haus akan pengetahuan, harus selalu terbuka akan segala macam
kritik dan saran yang datang menghampiri dirinya. Karena mereka diumpamakan seperti
kura-kura dan cangkangnya, laba-laba dan sarangnya, yang tak dapat dipisahkan
satu dan lainnya . Begitu juga ia
menganggap kritik adalah pelajaran baginya dan pujian adalah musibah
baginya.
Allah SWT
sangat mengistimewakan orang yang berilmu, hingga disebutkan dalam Al-Qur’an
surah Al-Mujadalah ayat 11 yang artinya : “Allah mengangkat orang-orang yang
beriman dianatara kalian semua dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat”.
Huruf
ل bermakna “luthfun” yang artinya
kelembutan. Maksudnya adalah ilmu itu bersifat lembut/halus. Ia adalah suatu
hal yang abstrak namun dapat dirasakan. Begitu juga dengan seorang yang ‘alim,
ilmu yang ia miliki tak dapat kita sentuh ataupun kita lihat namun dapat kita
rasakan lewat pemikiran, tingkah laku ataupun cara bicaranya. Orang ‘alim mempunyai sifat yang sabar. Kita lihat dari sisi dimana cara mereka
menyelesaikan masalah, bagi mereka tak ada gunanya jika api harus beradu dengan
api lagi, namun api akan sendirinya
lunak dengan air, itulah sebabnya penting bagi mereka untuk menyelesaikan
masalah dengan pikiran dingin dan hati yang sabar. Jika kita lihat dari sisi
agama, mereka cenderung patuh terhadap apa yang diperintahkan dan menjauh dari
apa yang dilarang.
Jika ل
kita lihat dari segi syaklun/bentuk hurufnya, terlihat berdiri kokoh, melambangkan
ketinggian, keagungan, dan kemuliaan sebagaimana orang yang berilmu.
Yang
terkahir adalah huruf م bermakna “malikun” yang artinya raja,
maka pantas bagi seorang ‘alim untuk menjadi pemimpin, sebab mereka yang
nanti akan mengajarkan orang-orang yang belum berilmu.
Dan
jika م ditinjau dari segi syaklun/bentuk
hurufnya yang condong kebawah, melambangkan tawaddu’ nya seorang yang
berilmu. Orang yang berilmu dalam kerendah hatinya diibaratkan seperti padi,
semakin ia berisi semakin merunduk kebawah, begitu juga dengan orang ‘alim,
semakin bertambah keilmuannya maka sifat tawaddu’ yang akan selalu ia junjung.
“ Pada intinya
seseorang dapat dikatakan sebagai ‘alim jika ia mampu hidup dengan iman,
berpikir dengan ilmu dan berperilaku dengan akhlak.” – Kamila Maryam
0 komentar:
Posting Komentar