Beberapa
bulan lagi Republik Indonesia akan melakukan hajat besar yang mungkin dinanti
oleh para penduduknya. Tepat pada tanggal
17 April 2019 hak suara kita akan difungsikan kembali setelah lima tahun
lamanya tertahan. Hajat besar ini disebut sebagai Pesta demokrasi dilakukan secara
serempak di Indonesia untuk memilih Presiden dan jajaran legeslatifnya. Bahkan
dari tahun sebelumnya yaitu tahun 2018 uforianya
sudah sangat kentara. Kampanye mulai dilakukan simpatisan mulai terkumpul dan
masalah mulai timbul.
Pada
saat pesta demokrasi seperti sekarang ini, Sesuatu yang disebut sebagai
penyakit social seolah – olah menjadi bara yang disiram minyak. Orang-orang
lebih mudah melihat semut di ranting paling ujung atas pohon cemara dari pada
gajah diseberang jalan desa yang
lebarnya hanya 3 meter. Dengan beralasankan fakta bahwa bangsa Indonesia merupakan negara
heterogen dengan berbagai budaya, bahasa, suku, dan agama banyak hal bisa
terjadi yang dapat mengancam stabilitas.
Penyakit sosial yang menjadi embrio
dalam diri pripadi ataupun kelompok yang
akan berkembang pesat pada situasi ini
adalah sebuh prasangka. Menurut saliyo dalam jurnal pemikiran islam IAIN Kudus salah
satu penyakait social yang rawan konflik adalah prasangka dalam
kontestasi politik. Bahkan dari dahulu tahun 1953 Pranto dan melikan menenukan
jarak sosial terbesar adalah pada kelompok kebangsaan, karena sentiment dan aktifvitas
kebangsaan kuat sekali pada tahun tersebut. Maksut dari jarak sosial disini
adalah jarak yang tercipta dari prasangka
Prasangka
sebanernya merupakan hal yang lazim, dan tentunya dimiliki manusia. Akan tetapi
dalam pergaulan sehari-hari orang seringkali mengedepankan kebenaran sendiri
dan pandangan dari satu sisi saja yang
disebut sebagai stereotip. Jika kebanyakan orang seperti itu tentunya akan
memunculkan prasangka bahwa yang lain tidak cukup baik . Hakikatnya prasangka
itu sifatnya sementara akan tetapi jika dia terpelihara maka akan
menghilangakan objektifitas seseorang atau kelompok yang ujungnya adalah
penyakit social yang labih tinggi lagi tingkatnya yaitu diskriminatif. prasangka
merupakan kecenderungan yang tidak nampak, dan sebagai tindak lanjutnya timbul
tindakan, aksi yang sifatnya realistis yaitu diskriminatif.
Prasangka
yang berlebihan dan dengan sikap kurang baik cenderung akan melahirkan andanya
konflik, kekerasan, dan diskriminasi sebaliknya prasanka tanpa berlebihan
dengan sewajarnya dan meminimalisai stereotip, kemungkinan munculnya perilaku –
perilaku negative juga akan minim. Oleh karena itu perlu stategi tertentu untuk
mengelola prasangka agar tetap pada batas sewajarnya saja.
Chek
and balance untuk menghindari stereotip yang berlebihan merepukan jawabanya.
Karena seringkali prasangka muncul karena informasi yang asimetris atau
informasi yang tidak lengkap. Sehingga kita hanya berpandangan pada satu sudut
pandang saja yang menurut kita benar dan meyakini hal tersebut dalam jangka waktu
yang lama sehingga memandang rendah orang yang tak sesuai dengan apa yang kita
pahami dan yakini.
“ Naliko olo lakone wong olo
nyanane.
Lan bener nyanane wong bener
pengadatane.”
Kata diatas artinya adalah Bila
perbuatan seseorang jelek maka akan jelek pula prasangka-prasangkanya, dan akan
dibenarkannya kebiasaan –kebiasaan dari kecurigaannya
Sewajarnya seseorang itu ada sisi
positif dan negatifnya, sumbernya adalah hati dan dan isi kepala, Setiap
manusia akan berfikir menurut apa isi kepalanya,maka bila isi kepalanya adalah hal-hal
yang baik dan hal-hal yang positif maka dia akan menghubungkan setiap hal
dengan kebaikan dan hal yang positif,dan bila isi kepalanya adalah hal-hal yang
tidak baik atau hal-hal yang negatif maka dia akan menghubungkan setiap sesuatu
dengan ketidak baikan dan hal-hal yang negatif.
Na'aN
Malang, Pada Suatu Hari.
Pondok Pesantren Darun Nun Malang
0 komentar:
Posting Komentar