Oleh: Anggun Amalia Fibriyanti
Berbagai harapan, mimpi-mimpi positif yang diinginkan oleh para orang tua ada di pundak sang anak. Oleh karenanya, besar perhatian para orang tua terhadap putra putrinya, apalagi saat sudah menginjak usia remaja. Para orang tua jungkir balik banting tulang untuk memenuhi kebutuhan hidup anaknya, mereka berusaha memberikan pendidikan terbaik untuk anak-anaknya, karena mereka punya mimpi “kelak anak ku harus bisa mempunyai kehidupan yang lebih baik dari ku”. Upaya yang dilakukan para orang tua, diantaranya ada yang menyekolahkan anaknya di sekolah favorit berbasis agama, dan sekolah umum namun diiringi dengan tinggal di pesantren modern.
Pada jaman dahulu kesungguhan para
ulama’ dalam mencari ilmu, diantaranya dengan meninggalkan segala bentuk
kenikmatan, baik tidur di waktu siang dan malam hari, maupun rasa nikmat
lainnya. Kesabaran dan penerimaan mereka terhadap kondisi perekonomian dan
sulitnya hidup, serta ketangguhan para ulama untuk menahan lapar dan dahaga
selama menuntut ilmu, hingga dalam keterasingan dan kesulitan tatkala buku
mereka hilang, dicuri, atau terbakar. Namun, di era modern ini, kita tahu bagaimana lingkungan dan kecanggihan
tekonologi saat ini sangat berpengaruh pada kepribadian seseorang. Apalagi
remaja, barang siapa yang dasar niatnya dalam mencari ilmu kurang, maka akan
mudah sekali tergiur akan kemewahan dunia dan terpengaruh pergaulan jaman modern ini. Oleh karena itu,
ketika seorang anak dibekali dengan akhlak yang baik dan ilmu pengetahuan yang
memadai, maka akan bisa mengantarkan kehidupan mereka menjadi lebih baik.
Hampir sepuluh tahun lamanya saya
berada di dunia perantauan. Perantauan dalam rangka mencari ilmu. Waktu sepuluh
tahun, bukanlah waktu yang singkat, suka cita yang telah saya alami kini menjadi
landasan hidup saya, bagaimana cara menghadapi kerikil kerikil kehidupan yang
tak jarang menyandung dikala melangkah. Saat SMA, pilihan sekolah umum dengan
mondok merupakan suatu awal yang berat bagi saya. Banyak sekali godaan dari
para teman disekolah untuk ini dan itu. Dikala banyak tugas sekolah, tidak ada Hp, ijin di
pondok pun susah, maka gejolak untuk pindah ke kos-kosan semakin mendera.
Namun, dengan “Yaa Muqollibal qulub” Duhai, Allah yang maha
membolak-balikkan hati, saya perbaiki lagi niat saya dalam mencari ilmu,
mengingat amanah orang tua dengan harapannya untuk bisa menyeimbangkan antara
ilmu dunia dan akhirat, maka rasa tak nyaman di pondok pun musnah. Sebagaimana
yang telah dikatakan oleh pahlawan besar islam“Barangsiapa
bersabar dengan kesusahan yang sebentar saja maka ia akan menikmati kesenangan
yang panjang” (Thariq bin Ziyad). Setiap muslim
diwajibkan Allah untuk menuntut ilmu, “طَلَبُ اْلعِلْمَ فَرِيْضِةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَ مُسْلِمَةٍ ”(HR. Ibnu Abdil Bari). Kemudian, saya sadari bahwa ini sudah menjadi kesempatan dan
kewajiban saya. Bersyukur mempunyai orang tua yang mendukung penuh moril dan
materiil anaknya untuk menuntut ilmu, meski dengan tertatih untuk memenuhi
kebutuhannya.
Godaan lain seorang santri yang sekolah di umum
dan juga belajar di pesantren adalah, kehidupan yang mungkin terlihat berbeda
dengan teman-temannya, tampang yang polos dan lugu karena tak banyak update
informasi dari Handphone dikala temannya bersenda gurau, sering telat masuk
kelas karena sehabis jama’ah subuh mengaji, dan lama antri mandi, bahkan saat
proses belajar ngantuk di kelas dan banyak hal aneh lainnya. Namun, perbedaan
mencoloknya yakni tawaddhu’ nya santri terhadap gurunya. Sehingga, keberkahan
pun mereka peroleh darinya. Rata-rata dengan kapasitas otak yang biasa dan
tidak secanggih para anak rumahan atau kosan, para santri mempunyai prestasi
menonjol dikelasnya, baik dalam ilmu umum maupun agama. Dalam
sebuah ayat (QS. Al-Mujadālah: 11), Allah menjanjikan derajat kemuliaan bagi orang-orang
yang beriman dan berilmu.
Di masa muda kita saat ini, marilah kita
berpuasa dahulu terhadap kenikmatan dunia yang fana ini, kita harus terus
semangat dalam menuntut ilmu. Sebagaimana kata Imam Syafi’i, “Bila kau tak
tahan lelahnya belajar, maka kau harus tahan menanggung perihnya kebodohan”
. Belajar itu tanpa batas pun tak terbatasi usia, karena kewajiban menuntut ilmu
waktunya tidak ditentukan, tetapi setiap ada kesempatan untuk menuntutnya,
maka kita harus menuntut ilmu. Pengalaman
hidup pun menjadi guru terbaik kita, untuk dapat kita ambil pelajaran disetiap
kejadian yang ada. Para civitas akademika muslim adalah para penerus tumpu perjuangan
para nabi, dan tiada derajat lebih tinggi daripada derajat pewaris para nabi.
PP. Darun Nun, Malang
0 komentar:
Posting Komentar