Oleh : Thibbiatul Mirza Amalya
Siang ini matahari enggan menampakkan
kebahagiaannya kepada manusia dibumi, sehingga mendung mempunyai kesempatan
penuh untuk menampakkan diri. Sebagian orang merasa bahagia karena hari ini tak
akan merasakan panas yang menyengat kulit. Namun, ada beberapa juga yang merasa
sedih karena tak bisa menjalankan aktifitas diluar ruangan. Keadaan ini tak
membuatku harus menyesali apa yang terjadi. Bukan alasan karena aku menyukai
hujan atau kesempatan mengingat
seseorang yang banyak meninggalkan kenangan yang dapat dikenang pada setiap
tetesan air yang turun. Menurutku mempermasalahkan sesuatu yang telah terjadi
adalah hal yang sia-sia bahkan hanya bisa membuang waktu saja.
___________________________________________________________________________
Hujan
mulai turun perlahan dan semakin deras. Aku memutuskan untuk berteduh didepan
kedai yang kebetulan tutup. Ku buka layar handphone ku dan mencoba mencari
bantuan seseorang untuk menjemputku. Naasnya sebelum sempat mencari bantuan
layar handphone ku mati, mungkin karena semalaman aku lupa untuk mengisi daya
nya. Dengan terpaksa aku hanya bisa melamun dan menikmati derasnya hujan. Entah
mengapa hujan kali ini terasa berbeda, meski begitu deras namun turun begitu
lirih dan lembut. Sehingga membuatku tak mengeluh jika harus terjebak selama berjam-jam.
Tiba-tiba secara sekejap bunyi yang begitu
memekakkan telinga membuyarkan lamunanku. Setelah aku mencari-cari asal suara,
ternyata penampakan di seberang jalan perempatan mengejutkan mata sinisku. Keadaan
ini terus menarik perhatian bahkan tak bisa berpaling sedikitpun dari mataku. Seorang
laki-laki tua berdiri ditengah derasnya hujan dengan hanya memakai topi tanpa
memakai pelindung hujan sedikitpun. Tampak begitu bersemangat mengatur lalu
lintas dengan intruksi tangan lemahnya dan peluit kecil di mulutnya.
Selama ini aku sudah biasa menjumpainya di
pertigaan, perempatan dan tempat-tempat yang berpotensi mengalami kemacetan.
Mereka biasa disebut dengan polisi cepek (seseorang random yang mengatur lalu
lintas dengan imbalan uang seikhlasnya). Tapi kali ini yang membuatku
tercengang adalah usia si laki-laki yang begitu tua namun tak terlihat lemah
sedikitpun. Pasti ada alasan atau motivasi terbesar sehingga harus membuatnya
berjuang begitu keras. Rasa penasaranku terus menyerang sehingga ada keinginan
untuk sedikit mengetahui latar belakang hidupnya.
Hujan mulai mereda, kudapatinya sedang
menepi dan duduk di bawah pohon besar dengan meneguk sebotol air. Dan aku
menganggap ini kesempatanku untuk bertanya apa yang menjadi rasa penasaranku.
Aku berlari ke arahnya dan meminta izin untuk berbincang sedikit. Dengan
spontan ia tersenyum ramah (terlihat hambar akibat lelah yang ia rasakan ) dan
mempersilahkanku dengan tulus. Berbagai pertanyaan aku tanyakan tanpa terlewat
satupun.
“Dulu ini saya bekerja sebagai tukang semir
sepatu mbak, sudah sekitar 10 tahun saya bertahan. Zaman semakin maju sampai
orang-orang sudah bisa nyemir sepatu nya sendiri kapanpun dan dimanapun. Dan
akhirnya saya sepi pelanggan, sedangkan saya punya tanggungan keluarga yang
harus terus dinafkahi” ujarnya.
Menjadi polisi cepek tentu bukan
keinginannya. Ia sendiri punya cita-cita sebagai guru, selayak orang-orang
lainnya. Namun terbatas pendidikan terakhirnya yang hanya lulusan sekolah
dasar. Perjalanannya bekerja sebagai polisi cepek ini tidaklah mulus. Mulai
dari disemprot pengendara, dan pengendara lain yang menganggap keberadaannya
malah membuat jalan semakin macet, di serempet mobil atau kendaraan lainnya
juga makanan sehari-hari. Bahkan, sampai ditangkap polisi karena melanggar
peraturan hukum hingga akhirnya kini sudah bekerja sama dengan pihak kepolisian
yang mulai kewalahan dalam mengatur kemacetan.
“Sehari gak nentu dapet berapa nya mbak,
kadang ya 50 ribu kadang kurang. Tergantung rame apa nggaknya yang lewat. Saya
sih gak minta berapa, terserah yang ngasih mau ngasihnya berapa”.
Mendapat lembaran adalah kebahagiaannya dan
membuatnya bersyukur tanpa henti. Berbagai jenis uang yang ia terima dari
pengendara. Bahkan hanya seulas senyum pengendara pertanda ucapan terimakasih
yang ia dapatkan. Namun itu dijadikannya sebagai ladang ikhtiyarnya dalam
menjalani kehidupan.
Sebelum aku bertanya lebih banyak, si bapak
meminta maaf karena tak bisa berlama-lama beristirahat karena hari ini ia harus
menghasilkan uang yang lebih banyak untuk membayar biaya anaknya yang akan
mengikuti ujian sekolah. Seketika hatiku bagai terkena tamparan yang begitu
keras. Mengingatkanku sudah bersyukur kah hari ini. Mempunyai hidup yang lebih
layak dibandingkan orang-orang diluar sana.
Pondok Pesantren Darun Nun Malang
0 komentar:
Posting Komentar